Showing posts with label bbm. Show all posts
Showing posts with label bbm. Show all posts

Monday, January 11, 2016

Mengapa Ketika Harga BBM Turun, Harga Sembako dan Tarif Angkutan Umum Tak Turun



Beberapa hari belakangan ini rakyat Indonesia seakan diberi hadiah tahun baru 2016 oleh pemerintah. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) turun untuk semua jenis baik Premium, Solar, Pertamax dan Pertalite. Salah satu yang menarik adalah turunnya harga premium dari Rp.7.300/liter menjadi Rp.6.950/liter. Harga premium menjadi salah satu patokan bagi publik karena masih menjadi primadona yang dikonsumsi paling banyak oleh masyarakat dibanding Pertamax maupun Pertalite. Sedangkan BBM jenis solar, biasanya digunakan untuk kendaraan jenis truk, beberapa kendaraan pribadi bermesin diesel atau untuk Industri.

Fenomena yang terjadi di lapangan, ketika harga BBM turun baik Premium dan Solar (Pertamax dan Pertalite tidak begitu diperhitungkan karena pemakaiannya masih sangat sedikit), namun harga-harga barang dan jasa tidak turun. Harga BBM turun tapi tarif angkutan umum tidak turun, padahal komponen biaya bahan bakar merupakan yang paling dominan dalam penentuan tarif angkutan umum, yaitu sekitar 20-30% dari total biaya transportasi (angkutan umum dan barang). Karena itu bila harga BBM turun, maka seharusnya ongkos operasional angkutan umum turun. Namun kenyataannya tidak.

Penjelasan yang paling rasional untuk menjelaskan price rigidity (kekakuan harga) angkutan umum ini adalah disparitas kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Perlu diketahui bahwa penentuan tarif angkutan umum dilakukan oleh pemerintah daerah dan Organda, sedangkan kebijakan naik turunnya harga BBM dilakukan pemerintah pusat. Tidak sinkronnya antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan kerugian masyarakat, karena masyarakat tidak menikmati penurunan tarif angkutan umum yang seharusnya mereka terima dengan turunnya harga BBM. Namun sebaliknya, saat harga BBM dinaikan, pengusaha angkutan umum bisa langsung menaikan tarif  angkutan dengan alasan biaya operasional meningkat.

Wednesday, December 24, 2014

REKOMENDASI TIM REFORMASI MIGAS BELUM MENYENTUH AKAR PERMASALAHAN

Hari minggu lalu (21/12/2014), Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (RTKM) akhirnya mengeluarkan rekomendasi terkait Kebijakan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia khususnya untuk BBM Bersubsdi. Setidaknya ada 6 rekomendasi untuk penyelesaian karut marut permasalahan minyak dan gas bumi, yaitu penghentian impor RON 88, peningkatan kualitas produksi minyak solar oleh kilang dalam negeri, pengalihan produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi RON 92, penerapan subsidi tetap untuk BBM jenis RON 92 sebagai pengganti RON 88, memperhatikan kebutuhan minyak solar untuk transportasi publik dan angkutan barang, serta pembaruan kilang domestik lewat fasilitas Pemerintah.

Bila dilihat selintas 6 rekomendasi tersebut, memang sangat menarik. Namun bila diamati lebih dalam, maka tidak ada hal baru yang dihasilkan Tim yang dipimpin Faisal Basri ini. Sorry to say, keseluruhan rekomendasi itu sudah sering mengemuka di media, tapi hanya jadi “pemanis bibir rakyat” saja. Diucapkan, diungkapkan, diangkat ke permukaan, namun realisasinya tidak seindah aslinya. Masalah pembaruan kilang, subsidi tetap BBM bersubsidi, penghapusan BBM jenis premium, semuanya sudah pernah dibahas dan ditelaah oleh banyak pengamat dan akademisi, bahkan sudah sering masuk dalam pembahasan di Rapat Komisi VII DPR-RI.

Disamping tidak ada hal baru, 6 rekomendasi tersebut bahkan tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Bila bicara tata kelola, tentu substansi yang paling utama untuk dibenahi adalah masalah kebijakan, dalam hal ini adalah merevisi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam rekomendasi Tim RTKM. Bila bicara subsidi tetap pada BBM bersubsidi (sebagaimana rekomendasi Tim RTKM), masih ada kontroversi karena dengan pemberlakuan subsidi tetap (misalnya Rp.500/liter) yang berarti harga BBM bersubsidi mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, maka skema ini dapat menyebabkan harga BBM bersubsidi mengikuti mekanisme pasar. Tentu kita masih ingat bahwa salah satu pasal dalam UU no.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang mencantumkan penyerahan harga BBM bersubsidi pada mekanisme pasar, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga merekomendasikan point ini dapat mengakibatkan pekerjaan yang sama berulang-ulang dan berpotensi jatuh pada lubang yang sama pula.

Atau bicara tentang penghapusan BBM jenis premium RON 88 dan mengalihkannya menjadi BBM jenis Mogas RON 92. Penghapusan BBM jenis premium memang akan mempersempit ruang gerak mafia migas yang sekarang ini sering mempermainkan harga pasar. Pengalihan ke BBM RON 92 (berarti BBM selevel Pertamax RON 92 yang akan disubsidi nantinya), juga memberi manfaat yang cukup besar, yaitu membangun kedaulatan energi. Misalnya dengan subsidi Rp.2.000/liter untuk RON 92, berarti harga Pertamax bisa turun. Kalau dihitung saat ini berarti harga Pertamax bisa mencapai Rp.7.950/liter untuk Jabodetabek. Tentu ini akan jadi mimpi buruk bagi SPBU asing karena disaat yang sama masih menjual RON 92 (Shell ataupun Total) dengan harga sekitar Rp.10.000/liter.

Tetapi kajiannya tentu tidak berhenti disitu. Untuk mengalihkan BBM RON 88 menjadi BBM RON 92 dibutuhkan effort yang tidak murah. Set-up proses pengolahan minyak bumi di Indonesia yang saat ini berjumlah 9 unit kilang, zat additive yang perlu ditambahkan dalam proses produksi (Methyl Tertiary Butyl Ether atau MTBE, senyawa Naphthalena, Octane Buster atau senyawa-senyawa aromatic lainnya), hingga cost production yang tentunya bertambah akibat pengalihan produksi, tentu perlu menjadi pertimbangan khusus. Apalagi realita saat ini dimana kilang minyak dalam negeri sering kesulitan untuk memenuhi kebutuhan BBM RON diatas 90 seperti Pertamax.

Point yang diharapkan dan ditunggu-tunggu justru tidak tercantum dalam rekomendasi tim RTKM, yaitu pembenahan dari sisi kebijakan Minyak dan Gas Bumi, dengan merevisi UU no.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Padahal sebagaimana diketahui, produksi lifting minyak Indonesia anjlok dalam 10 tahun terakhir, akibat Realisasi Investasi/Pemboran Explorasi terus menurun sejak 1999. Bahkan sejak tahun 2000 nyaris tidak ditemukan lagi cadangan minyak di Blok baru, hampir seluruh pemboran eksplorasi terjadi di Blok yang sudah berproduksi, sehingga produksi hanya mengandalkan lapangan-lapangan tua yang sudah matured. Ini semua diakibatkan oleh UU no.22 tahun 2001 tersebut.

Pemberlakuan UU No.22/2001 ini mengakibatkan kondisi Industri Migas di Indonesia menjadi salah satu yang terburuk di Dunia. Dari 133 Negara/Wilayah yang disurvey, Indonesia berada di urutan 111. Sedangkan untuk Kawasan Oceania, posisi Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste. Dilihat dari kondisi Investasi Migas, Indonesia lebih buruk dari Papua Nugini, Malaysia, Philipina, Vietnam, Camboja, Thailand, Brunei, Australia, China, India dan Pakistan. (Global Petroleum Survey 2010 halaman 56).

Kalau permasalahan-permasalahan yang tampak di permukaan dibenahi tanpa memperbaiki substansi permasalahan yang sesungguhnya, ini seperti mengatasi penyakit kronis dengan menggunakan obat analgesik. Gejala dan keluhan penyakitnya berkurang bahkan jadi tidak terasa sama sekali akibat “obat penahan rasa sakit” itu, namun sumber penyebab penyakitnya tidak disentuh sama sekali.#

Friday, December 12, 2014

Menghitung Biaya Pokok Premium Saat ini


Bila mencermati perkembangan harga minyak dunia belakangan ini, satu kebijakan pemerintah yang sangat menarik untuk ditelisik adalah kebijakan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi disaat harga minyak dunia dan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price atau ICP) mengalami penurunan yang sangat drastis.  Selama bulan Oktober 2014 lalu ICP turun hingga 12%. Dan terus menurun selama bulan November 2014 kemarin hingga dibawah 80 US$/barrel.

Dengan harga ICP yang sedemikian rendah, bahkan diprediksi hingga di kisaran 60 US$/barrel pada bulan Desember 2014 ini, berarti ICP real sangat jauh lebih rendah dibanding asumsi makro dalam APBN yang ada di angka 105 US$/barrel. Artinya, besaran subsidi BBM akan lebih rendah, meskipun nilai tukar rupiah terhadap US Dollar melemah, tapi pelemahan rupiah tidak terlalu signifikan dibanding penurunan harga minyak Indonesia atau ICP.

Dari kondisi seperti ini, hal menarik yang perlu dibuka ke publik adalah berapa sesungguhnya biaya pokok BBM bersubsidi dibanding harga BBM bersubsidi saat ini (Premium seharga Rp.8.500/liter, dan Solar Rp.7500/liter), sehingga publik bisa mengetahui dan menilai seberapa besar sebenarnya subsidi yang diberikan pemerintah untuk 1 liter bensin atau BBM bersubsidi. Untuk menghitung biaya pokok BBM bersubsidi, berbagai metode telah diungkapkan oleh beberapa pakar, yang paling sulit adalah menentukan faktor-faktor seperti cost recovery, minyak prorata, dan minyak inkind ke dalam perhitungan, sehingga angkanya tidak eksak. Namun 2 model perhitungan yang pernah diungkap, model pertama adalah dari Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Kepala Bappenas kabinet Gotong Royong Kwik Kian Gie, dan satu model lagi yaitu menggunakan perhitungan berdasarkan MOPS (Mean of Platts Singapore) yang merupakan patokan harga yang dikeluarkan oleh badan publikasi bernama Platts yang berbasis di Singapore. Model yang dikeluarkan Kwik ada 2 cara, yaitu perhitungan dengan tidak memasukan biaya bahan baku (minyak bumi) dalam hal ini adalah angka harga minyak Internasional, dengan argumentasi bahwa minyak bumi yang keluar dari perut bumi Indonesia adalah hak rakyat Indonesia yang tidak diperjualbelikan, sehingga minyak bumi sebagai bahan baku dari pembuatan BBM tidak menjadi faktor biaya, karena sudah tersedia di tanah Indonesia. Cara Kwik yang kedua adalah dengan memasukan angka harga minyak Internasional sebagai faktor biaya.

Untuk model yang pertama (perhitungan Kwik Kian Gie) dengan cara pertama, Kwik dalam artikelnya di Kompas, Kamis, 3 Februari 2005 yang berjudul Menaikan Harga Bensin Premium, menyebutkan bahwa Minyak mentah yang ada dibawah permukaan bumi disedot sampai atas permukaan bumi ada biayanya, yaitu Rp.X per liter. Minyak mentah yang sudah ada diatas permukaan bumi diproses sampai menjadi bensin, biayanya Rp.Y per liter. Bensin itu harus diangkut ke pompa-pompa bensin (SPBU), biayanya Rp.Z per liter. Maka, Kwik menyebutkan bahwa biaya Rp.X + Rp.Y + Rp.Z = Rp.10 US$ per barrel (Biaya LRD) untuk BBM jenis premium (1 barrel = 159 liter). Kalau nilai tukar rupiah sama dengan Rp.8.600 (tahun 2005), maka keseluruhan biaya untuk 1 liter (10 x Rp.8.600) : 159 = Rp.540,88, dibulatkan menjadi Rp.540 per liter. (Ini model Kwik untuk cara pertama).

Untuk cara kedua, Kwik memperhitungkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang saat itu sebesar 50 US$ per barrel. Dengan kurs yang sama, yaitu Rp.8.600 per US$, maka ICP adalah 50 x Rp.8.600 = Rp.430.000. Untuk mendapatkan dalam satuan liter maka dibagi 159, didapatkan Rp.2.704,4 per liter (ini harga minyak mentah Indonesia). Kalau dijadikan bensin jenis premium, maka ditambahkan tiga biaya tadi yaitu biaya penyedotan (Lifting atau biaya L), biaya pengilangan (Refining atau Biaya R) dan biaya transportasi (Distribusi atau Biaya D), yang keseluruhannya berjumlah Rp.540 per liter. Maka harga BBM jenis premium adalah Rp.2.704 + Rp.540 = Rp.3.244 per liter   (inilah yang disebut biaya pokok BBM jenis premium). Harga bensin premium saat itu adalah Rp.1.810, sehingga subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia saat itu (tahun 2005) adalah biaya pokok BBM dikurangi harga BBM (jenis premium), yaitu Rp.3.244 – Rp.1.810 = Rp.1.434 per liter.

Dengan model perhitungan Kwik ini, bila dihitung di tahun 2014 sekarang, maka dengan cara yang sama akan didapatkan :
Biaya Lifting, Refining dan Distribusi (LRD) = 18,2 US$ per barrel (dengan memperhitungkan inflasi selama 2005 – 2014 yang sebesar 6-9%).
Dengan kurs 1 US$ = Rp.12.300 (November 2014), maka Biaya LRD = (18,2 x 12.300) : 159 = Rp.1.407,92 / liter.
Dengan harga minyak Indonesia (ICP) = 75,39 US$ per barel (data kementerian ESDM RI, dari www.esdm.go.id pada hari selasa, 2 Desember 2014), maka bila dikonversi ke rupiah menjadi Rp.927.297 / barrel. Atau menjadi Rp.5.832,06 / liter.
Dari hasil itu didapatkan biaya pokok BBM adalah biaya bahan baku minyak tambah biaya penyedotan (lifting), biaya pengilangan (refining) dan biaya distribusi, yang disebut biaya LRD diatas. Maka didapatkan Rp.1.407,92 + Rp.5.832,06 = Rp.7.239,98, bila dibulatkan maka biaya pokok untuk memproduksi BBM jenis premium hingga ke pompa bensin adalah Rp.7.240 / liter. Bila ditambah Pajak Penjualan 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%, maka Biaya Pokok Premium = Rp.8.326/Liter. 

Untuk model yang kedua, yaitu dengan menggunakan MOPS, maka perhitungannya adalah sebagai berikut.
·         MOPS = 10 - 15 dollar lebih besar dari Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP).
·         Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) =  75,39 US$ Per Barrel 
       (Rata-rata ICP November 2014). 
       Dari Rata-rata ICP ini, Maka MOPS = 85,39 US$.
·         Faktor Adjustment / Alpha= 9,5 %.
·         Kurs 1 US$ = Rp.12.300 (Kisaran kurs di bulan November 2014)
Dengan asumsi bahwa biaya pokok BBM diproksi dengan harga MOPS ditambah  faktor terhadap Freight, pajak dan margin corporate profit, serta angka alpha untuk Premium, Kerosene dan Solar adalah sama.
Maka didapatkan :
Harga Dasar BBM Premium   = MOPS + Alpha
= 85,39 + (9,5% x 85,39) = 93,5 US$ (Per Barrel)
Atau 0,5880 US$ (Per Liter)
Ket : 1 Barrel (oil) = 158.98729493 liter = 159 liter
Dari sini dihitung harga dasar Premium = 0,5880 x Rp.12.300 = Rp.7.233 / Liter
Bila ditambah Pajak Penjualan 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%, maka Biaya Pokok Premium = Rp.8.318/Liter. (Perhitungan ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan yang dibuat Kwik Kian Gie).
Catatan :
Harga dasar BBM diambil dari patokan harga jual rata-rata produk BBM yang dijual disekitar Asia ditambah Alpha.

Tabel Perhitungan Biaya Pokok BBM Bersubsidi Jenis Premium
Waktu
Kurs (Rupiah/US$)
ICP (US$/Barrel)
Biaya Pokok BBM Jenis Premium (Rp/Liter)
Harga Premium Saat ini (Rp/Liter)
Model Perhitungan Kwik Kian Gie
Model Perhitungan MOPS
November 2014
12.300
75,39
8.326
8.318
8.500

Dari perhitungan ini, maka didapatkan biaya pokok BBM jenis premium ada dikisaran Rp.8.300/liter s.d Rp.8.330/liter (dengan ICP = 75,39 US$ dan kurs 1 US$ = Rp.12.300). Baik model perhitungan Kwik Kian Gie maupun model perhitungan MOPS menghasilkan angka yang sama. Dengan demikian, saat ini (sejak bulan November 2014 hingga pertengahan Desember 204 ini) pemerintah telah “menenggak” keuntungan dari rakyatnya sendiri atas jual beli bensin premium yang dijual seharga Rp.8.500/liter. Kalau dihitung, berarti keuntungan pemerintah dari rakyatnya adalah Rp.170/liter s.d Rp.200/liter.

Memang, perhitungan ini bisa benar dan bisa juga salah. Namun kalaupun perhitungan ini salah, bukan model perhitungannya yang dipermasalahkan, justru harusnya pemerintah yang mengklarifikasi dan menjelaskan berapa sesungguhnya biaya pokok BBM bersubsidi itu. Hingga saat ini tidak ada transparansi dari pemerintah tentang model perhitungan dalam menentukan biaya pokok BBM bersubsidi sehingga publik bisa mengetahui berapa sesungguhnya subsidi yang diberikan pemerintah. Hanya ada pernyataan dari Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro saja yang menyebutkan bahwa biaya pokok BBM saat ini adalah Rp.10.000-an per liter (dengan kurs sekitar Rp.12.300 dan ICP disekitar 70 US$/barrel). Tapi pernyataan ini tanpa disertai bagaimana cara dan model menghitungnya.

Kondisi ini mengingatkan kita pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa pemerintahan yang melakukan jual beli dengan rakyatnya adalah haram, dan haram baginya Surga. Dari Abu Ja’la (Ma’qil) bin Jasar r.a berkata, Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang yang diamanati oleh Allah SWT memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah SWT mengharamkan baginya Surga.” (HR.Bukhari dan Muslim)

*Penulis sekarang bekerja sebagai Tenaga Ahli Komisi VII DPR-RI yang membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral, pernah mengenyam pendidikan di Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dan Magister Perencanaan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Thursday, December 04, 2014

Ternyata, Pertamina Tak Beli Minyak Langsung dari Pasar

Tim Reformasi Tata Kelola Migas menemukan jika PT Pertamina (persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Trading Limited (Petral), tidak secara langsung membeli minyak untuk kebutuhan di dalam negeri dari perusahaan produsen minyak mentah.

Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri mengungkapkan ada satu perusahaan trader yang dominan yang menjembatani anak perusahaan Pertamina‎, PT Pertamina Trading Limited (Petral).

"Itu trader, ada trader ternyata yang merealisasikan kontrak-kontrak itu, jadi bukan nasional company-nya langsung seperti yang diklaim Pertamina dan Petral selama ini," kata Faisal saat ditemui di gedung Bank Indonesia, Kamis (4/12/2014).

Adapun satu perusahaan trader yang dominan yang menjembatani Petral selama ini dikatakan Faisal adalah Hin Leong Trading Ltd.

Faisal menghimbau kepada Pertamina untuk ke depan lebih transparan dalam menyelenggarakan jual beli minyak dengan pasar internasional.

"Pengadaan minyak lewat trader itu sebenarnya tidak tercela juga, cuma kan tolong lebih baik kalau kasih statemen itu yang jujur," katanya.

Tidak hanya itu, Tim yang dipimpin oleh Faisal berjanji akan menyelesaikan tugas audit mengenai Petral lebih cepat dari yang ditargetkan selama tiga bulan.

Selain itu, Faisal juga mengungkap ada 97 perusahaan refiner yang selama ini bekerja bersama Pertamina dan 32 perusahaan national company ysang menjadi pemasok minyak ke Indonesia. (Yas/Nrm)

https://id.berita.yahoo.com/terkuak,-pertamina-tak-beli-minyak-100003944.html

Thursday, November 20, 2014

Empat Akibat Kenaikan Harga BBM Bersubsidi


1. Meningkatkan Beban Hidup Rakyat
Penaikan harga BBM Bersubsidi untuk seluruh segmen masyarakat apalagi dengan angka yang relatif cukup tinggi akan meningkatkan beban hidup sehari-hari rakyat secara signifikan. Dampak inflasi secara keseluruhan, baik pada ekspektasi inflasi yang terbentuk, inflasi first round saat kebijakan diambil maupun second round pasca kebijakan.

2. Mendorong inflasi
Penaikan harga BBM bersubsidi Rp.2.000 akan mendorong kenaikan harga-harga pangan (volatile food inflation) dikisaran 15% sebagaimana yang terjadi tahun 2013 lalu,meski inflasi secara keseluruhan dikisaran 8-10%.

3. Memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menambah pengangguran
Penaikan harga BBM Bersubsidi juga akan merusak prospek ekonomi yang sudah mengalami perlambatan serius. Penaikan harga BBM bersubsidi akan memperburuk pertumbuhan ekonomi yang sudah melambat dikisaran 5,1-5,3% dan akan meningkatkan jumlah pengangguran karena pukulan terhadap dunia usaha yang menghadapi tekanan dan tidak mampu berekspansi.

4. Meningkatkan jumlah rakyat miskin
Penaikan harga BBM Bersubsidi akan meningkatkan jumlah rakyat miskin. Rakyat miskin tetap akan bertambah signifikan meski program kompensasi diberikan mengingat besarnya jumlah rakyat yang mendekati miskin (near poor) yang berpotensi tidak seluruhnya tercakup dalam program kompensasi.#

Tuesday, November 18, 2014

Empat Jawaban Atas Argumentasi Pemerintah Menaikan Harga BBM


1. Pemerintah bilang, "subsidi BBM terlalu besar sehingga memberatkan APBN" Baiklah kalau begitu kita bandingkan dengan subsidi BBM di Malaysia yang sebesar Rp.75 Trilyun pada tahun 2014 (subsidi BBM di Indonesia Rp.246 Triliun). Memang subsidi BBM di Indonesia jauh lebih besar, namun perlu di ingat bahwa penduduk Malaysia hanya 25 juta orang, sedangkan Indonesia 237 juta orang (tahun 2014), kalau dihitung berarti Malaysia mensubsidi rakyatnya rata-rata 3 juta per orang per tahun, sedangkan Indonesia mensubsidi rakyatnya cuma 1,04 juta per orang per tahun. Padahal, rakyat Malaysia jauh lebih kaya dibanding Indonesia, lihatlah perbandingan pendapatan per kapita nya : GNP Malaysia US$ 13.740 atau sekitar 165 Juta, sedangkan GNP Indonesia US$ 3.830 atau sekitar Rp.46 Juta. 

2. Pemerintah bilang, "harga BBM di Indonesia terlalu murah, sehingga marak penyelundupan ke luar negeri" Oke-lah kalau harga premium Rp.6.500/liter jauh lebih murah dibanding di Singapore Rp.16.300/liter sehingga disinyalir BBM diselundupkan ke Singapore. Tapi pertanyaannya, apakah rakyat Singapore mau membeli yang barang berkualitas rendah, oplosan dan selundupan, kalaupun iya, ada seberapa besar. Perlu diingat, Pendapatan Per Kapita Singapore 13 kali lebih tinggi dibanding Indonesia (Singapore US$ 48.595, Indonesia US# 3.830). Lalu, kita perlu bandingkan lagi dengan Malaysia yang menjual BBM dengan harga Rp.8.700/liter. Jadi, kalau Mr.Jokowi menaikan harga premium jadi Rp.8.500/liter yang artinya hampir setara dengan harga di Malaysia. Sekarang kita perlu lihat spesifikasinya. Premium itu BBM berkualitas rendah (RON 88) sedangkan BBM Petronas Malaysia berkualitas tinggi (RON 95). Hampir tidak ada lagi Negara di dunia ini yang memproduksi BBM dengan RON rendah seperti Premium ini. Bagaimana mereka mau menyelundupkan RON rendah untuk dijual seharga RON tinggi? Dan mengapa oknum Malaysia tidak menyelundupkan juga BBM ke Singapore yang padahal kualitasnya jauh lebih tinggi? Kalaupun memang ada penyelundupan, harusnya penyelundup itu yang dikejar dan ditangkap, bukan memberatkan rakyat dengan segala dalih-dalihnya.

3. Pemerintah bilang, "subsidi BBM salah sasaran" Jadi, kalau harga BBM dinaikan, maka subsidi BBM jadi tepat sasaran gitu? Ow..ow...ow.... Kenapa bukan skema penyalurannya yang diperbaiki. Kalau dilihat data kementerian ESDM, maka pemerintah sepertinya gamang menentukan alokasi BBM bersubsidi berdasarkan jumlah orang miskin di tiap provinsi. Ini bisa dilihat dari rata-rata volume BBM bersubsidi per kapita penduduk miskin di Jatim yang mengkonsumsi BBM bersubsidi 1.240 liter/kapita penduduk miskin/tahun, sementara untuk DKI Jakarta 8.280 liter/kapita penduduk miskin/tahun. Ini tidak equal, apa karena pemerintah takut kehabisan stok BBM di Ibukota yang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi politik, atau memang karena tidak memahami penyebaran penduduk miskin? Bila harga BBM dinaikan jutsru rakyat miskin juga yang akan terkena dampak kenaikannya, malah orang kaya yang akan mampu menghindarinya. Kenapa? Karena orang-orang kaya yang pengusaha-pengusaha itu pasti akan menaikan harga barang-barang produksinya. Pengusaha transportasi akan menaikan tarif, pengusaha makanan akan menaikan harga produknya, bahkan seringkali usaha-usaha yang tidak ada sangkut-paut dengan harga BBM akan berlomba-lomba menaikan harga barangnya (efek psikologis). Lalu, rakyat miskinlah sebagai pengguna terakhir yang akan merasakan semua dampak kenaikan harga itu. Mereka tidak punya produk karena bekerja sebagai kuli, mereka hanya mengandalkan tenaganya secara informal (seperti buruh tani) untuk menyambung hidup, dan tidak mungkin mereka menaikan tarif tenaganya karena bisa tidak ada lagi yang mau pakai.

4. Pemerintah bilang, “subsidi BBM akan dialihkan ke sektor produktif seperti irigasi dan jembatan pedesaan” Ini berarti rakyat miskin yang tidak mendapatkan pengalihan dana kompensasi akibat kenaikan harga BBM, juga tidak akan mendapatkan bahan bakar alternatif untuk kendaraannya. Mengapa tidak mengalihkan subsidi BBM ke pengembangan BBG misalnya, atau mendorong perkembangan transportasi publik supaya rakyat punya pilihan selain mengkonsumsi BBM, dan mau beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Kasihan rakyat miskin yang tidak mendapatkan kompensasi akibat kenaikan harga BBM karena irigasi dan jembatannya bukan di lokasi tempat tinggalnya (misalnya rakyat miskin kota), ini artinya memindahkan rakyat yang miskin jadi “setengah miskin” tapi rakyat yang hampir miskin jadi benar-benar miskin. Padahal waktu pemerintah dulu mengurangi subsidi minyak tanah, rakyat kecil dikasih alternatif menggunakan gas (LPG), bahkan dengan kompornya. Sekarang, tak ada tanda-tanda BBG akan dikembangkan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) justru berkurang, pasokan gas terus dilarikan keluar negeri. Mobil dan motor terus diimpor dan diproduksi dengan sistem bahan bakar minyak. #