1. Pemerintah bilang, "subsidi BBM terlalu
besar sehingga memberatkan APBN" Baiklah kalau begitu kita bandingkan
dengan subsidi BBM di Malaysia yang sebesar Rp.75 Trilyun pada tahun 2014 (subsidi BBM di
Indonesia Rp.246 Triliun). Memang subsidi BBM di Indonesia jauh
lebih besar, namun perlu di ingat bahwa penduduk Malaysia hanya 25 juta orang,
sedangkan Indonesia 237 juta orang (tahun 2014), kalau dihitung berarti
Malaysia mensubsidi rakyatnya rata-rata 3 juta per orang per tahun, sedangkan Indonesia
mensubsidi rakyatnya cuma 1,04 juta per orang per tahun. Padahal, rakyat Malaysia jauh
lebih kaya dibanding Indonesia, lihatlah perbandingan pendapatan per kapita nya
: GNP Malaysia US$ 13.740 atau sekitar 165 Juta, sedangkan GNP Indonesia US$
3.830 atau sekitar Rp.46 Juta.
2. Pemerintah bilang, "harga BBM di Indonesia
terlalu murah, sehingga marak penyelundupan ke luar negeri" Oke-lah kalau
harga premium Rp.6.500/liter jauh lebih murah dibanding di Singapore
Rp.16.300/liter sehingga disinyalir BBM diselundupkan ke Singapore. Tapi pertanyaannya, apakah rakyat Singapore mau membeli yang barang berkualitas rendah, oplosan dan selundupan, kalaupun iya, ada seberapa besar. Perlu diingat,
Pendapatan Per Kapita Singapore 13 kali lebih tinggi dibanding Indonesia
(Singapore US$ 48.595, Indonesia US# 3.830). Lalu, kita perlu bandingkan lagi
dengan Malaysia yang menjual BBM dengan harga Rp.8.700/liter. Jadi, kalau
Mr.Jokowi menaikan harga premium jadi Rp.8.500/liter yang artinya hampir setara
dengan harga di Malaysia. Sekarang kita perlu lihat spesifikasinya. Premium itu
BBM berkualitas rendah (RON 88) sedangkan BBM Petronas Malaysia berkualitas
tinggi (RON 95). Hampir tidak ada lagi Negara di dunia ini yang memproduksi BBM dengan RON rendah seperti Premium ini. Bagaimana mereka mau menyelundupkan RON rendah untuk dijual
seharga RON tinggi? Dan mengapa oknum Malaysia tidak menyelundupkan juga BBM ke Singapore yang padahal
kualitasnya jauh lebih tinggi? Kalaupun memang ada penyelundupan, harusnya penyelundup
itu yang dikejar dan ditangkap, bukan memberatkan rakyat dengan segala
dalih-dalihnya.
3. Pemerintah bilang, "subsidi BBM salah
sasaran" Jadi, kalau harga BBM dinaikan, maka subsidi BBM jadi tepat
sasaran gitu? Ow..ow...ow.... Kenapa bukan skema penyalurannya yang diperbaiki.
Kalau dilihat data kementerian ESDM, maka pemerintah sepertinya gamang
menentukan alokasi BBM bersubsidi berdasarkan jumlah orang miskin di tiap
provinsi. Ini bisa dilihat dari rata-rata volume BBM bersubsidi per kapita penduduk
miskin di Jatim yang mengkonsumsi BBM bersubsidi 1.240 liter/kapita penduduk
miskin/tahun, sementara untuk DKI Jakarta 8.280 liter/kapita penduduk
miskin/tahun. Ini tidak equal, apa karena pemerintah takut kehabisan stok BBM di
Ibukota yang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi politik, atau memang
karena tidak memahami penyebaran penduduk miskin? Bila harga BBM dinaikan
jutsru rakyat miskin juga yang akan terkena dampak kenaikannya, malah orang kaya
yang akan mampu menghindarinya. Kenapa? Karena orang-orang kaya yang
pengusaha-pengusaha itu pasti akan menaikan harga barang-barang produksinya. Pengusaha
transportasi akan menaikan tarif, pengusaha makanan akan menaikan harga
produknya, bahkan seringkali usaha-usaha yang tidak ada sangkut-paut dengan
harga BBM akan berlomba-lomba menaikan harga barangnya (efek psikologis). Lalu,
rakyat miskinlah sebagai pengguna terakhir yang akan merasakan semua
dampak kenaikan harga itu. Mereka tidak punya produk karena bekerja sebagai
kuli, mereka hanya mengandalkan tenaganya secara informal (seperti buruh tani)
untuk menyambung hidup, dan tidak mungkin mereka menaikan tarif tenaganya
karena bisa tidak ada lagi yang mau pakai.
4. Pemerintah bilang,
“subsidi BBM akan dialihkan ke sektor produktif seperti irigasi dan jembatan
pedesaan” Ini berarti rakyat miskin yang tidak mendapatkan pengalihan dana kompensasi akibat kenaikan harga BBM, juga tidak akan mendapatkan bahan bakar alternatif untuk kendaraannya. Mengapa tidak
mengalihkan subsidi BBM ke pengembangan BBG misalnya, atau mendorong
perkembangan transportasi publik supaya rakyat punya pilihan selain
mengkonsumsi BBM, dan mau beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Kasihan rakyat miskin
yang tidak mendapatkan kompensasi akibat kenaikan harga BBM karena irigasi dan jembatannya bukan di lokasi tempat tinggalnya (misalnya rakyat miskin kota), ini artinya memindahkan rakyat
yang miskin jadi “setengah miskin” tapi rakyat yang hampir miskin jadi
benar-benar miskin. Padahal waktu
pemerintah dulu mengurangi subsidi minyak tanah, rakyat kecil dikasih
alternatif menggunakan gas (LPG), bahkan dengan kompornya. Sekarang, tak ada
tanda-tanda BBG akan dikembangkan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG)
justru berkurang, pasokan gas terus dilarikan keluar negeri. Mobil dan motor
terus diimpor dan diproduksi dengan sistem bahan bakar minyak. #
No comments:
Post a Comment