Bila
mencermati perkembangan harga minyak dunia belakangan ini, satu kebijakan
pemerintah yang sangat menarik untuk ditelisik adalah kebijakan menaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) bersubsidi disaat harga minyak dunia dan harga minyak
Indonesia (Indonesian Crude Price atau ICP) mengalami penurunan yang sangat
drastis. Selama bulan Oktober 2014 lalu
ICP turun hingga 12%. Dan terus menurun selama bulan November 2014 kemarin
hingga dibawah 80 US$/barrel.
Dengan
harga ICP yang sedemikian rendah, bahkan diprediksi hingga di kisaran 60
US$/barrel pada bulan Desember 2014 ini, berarti ICP real sangat jauh lebih
rendah dibanding asumsi makro dalam APBN yang ada di angka 105 US$/barrel.
Artinya, besaran subsidi BBM akan lebih rendah, meskipun nilai tukar rupiah
terhadap US Dollar melemah, tapi pelemahan rupiah tidak terlalu signifikan
dibanding penurunan harga minyak Indonesia atau ICP.
Dari
kondisi seperti ini, hal menarik yang perlu dibuka ke publik adalah berapa
sesungguhnya biaya pokok BBM bersubsidi dibanding harga BBM bersubsidi saat ini
(Premium seharga Rp.8.500/liter, dan Solar Rp.7500/liter), sehingga publik bisa
mengetahui dan menilai seberapa besar sebenarnya subsidi yang diberikan
pemerintah untuk 1 liter bensin atau BBM bersubsidi. Untuk menghitung biaya
pokok BBM bersubsidi, berbagai metode telah diungkapkan oleh beberapa pakar,
yang paling sulit adalah menentukan faktor-faktor seperti cost recovery, minyak
prorata, dan minyak inkind ke dalam perhitungan, sehingga angkanya tidak eksak.
Namun 2 model perhitungan yang pernah diungkap, model pertama adalah dari
Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Kepala
Bappenas kabinet Gotong Royong Kwik Kian Gie, dan satu model lagi yaitu
menggunakan perhitungan berdasarkan MOPS (Mean of Platts Singapore) yang
merupakan patokan harga yang dikeluarkan oleh badan
publikasi bernama Platts yang berbasis di Singapore. Model yang dikeluarkan
Kwik ada 2 cara, yaitu perhitungan dengan tidak memasukan biaya bahan baku (minyak
bumi) dalam hal ini adalah angka harga minyak Internasional, dengan argumentasi
bahwa minyak bumi yang keluar dari perut bumi Indonesia adalah hak rakyat
Indonesia yang tidak diperjualbelikan, sehingga minyak bumi sebagai bahan baku
dari pembuatan BBM tidak menjadi faktor biaya, karena sudah tersedia di tanah
Indonesia. Cara Kwik yang kedua adalah dengan memasukan angka harga minyak
Internasional sebagai faktor biaya.
Untuk model yang pertama (perhitungan Kwik Kian Gie)
dengan cara pertama, Kwik dalam artikelnya di Kompas, Kamis, 3 Februari 2005
yang berjudul Menaikan Harga Bensin Premium, menyebutkan bahwa Minyak mentah
yang ada dibawah permukaan bumi disedot sampai atas permukaan bumi ada
biayanya, yaitu Rp.X per liter. Minyak mentah yang sudah ada diatas permukaan
bumi diproses sampai menjadi bensin, biayanya Rp.Y per liter. Bensin itu harus
diangkut ke pompa-pompa bensin (SPBU), biayanya Rp.Z per liter. Maka, Kwik
menyebutkan bahwa biaya Rp.X + Rp.Y + Rp.Z = Rp.10 US$ per barrel (Biaya LRD) untuk
BBM jenis premium (1 barrel = 159 liter). Kalau nilai tukar rupiah sama dengan
Rp.8.600 (tahun 2005), maka keseluruhan biaya untuk 1 liter (10 x Rp.8.600) :
159 = Rp.540,88, dibulatkan menjadi Rp.540 per liter. (Ini model Kwik untuk
cara pertama).
Untuk cara kedua, Kwik memperhitungkan harga minyak
mentah Indonesia (ICP) yang saat itu sebesar 50 US$ per barrel. Dengan kurs
yang sama, yaitu Rp.8.600 per US$, maka ICP adalah 50 x Rp.8.600 = Rp.430.000.
Untuk mendapatkan dalam satuan liter maka dibagi 159, didapatkan Rp.2.704,4 per
liter (ini harga minyak mentah Indonesia). Kalau dijadikan bensin jenis
premium, maka ditambahkan tiga biaya tadi yaitu biaya penyedotan (Lifting atau
biaya L), biaya pengilangan (Refining atau Biaya R) dan biaya transportasi
(Distribusi atau Biaya D), yang keseluruhannya berjumlah Rp.540 per liter. Maka
harga BBM jenis premium adalah Rp.2.704 + Rp.540 = Rp.3.244 per liter (inilah
yang disebut biaya pokok BBM jenis premium). Harga bensin premium saat itu
adalah Rp.1.810, sehingga subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia saat itu
(tahun 2005) adalah biaya pokok BBM dikurangi harga BBM (jenis premium), yaitu
Rp.3.244 – Rp.1.810 = Rp.1.434 per liter.
Dengan model perhitungan Kwik ini, bila dihitung di
tahun 2014 sekarang, maka dengan cara yang sama akan didapatkan :
Biaya Lifting, Refining dan Distribusi (LRD) = 18,2
US$ per barrel (dengan memperhitungkan inflasi selama 2005 – 2014 yang sebesar
6-9%).
Dengan kurs 1 US$ = Rp.12.300 (November 2014), maka
Biaya LRD = (18,2 x 12.300) : 159 = Rp.1.407,92 / liter.
Dengan harga minyak Indonesia (ICP) = 75,39 US$ per
barel (data kementerian ESDM RI, dari www.esdm.go.id
pada hari selasa, 2 Desember 2014), maka bila dikonversi ke rupiah menjadi
Rp.927.297 / barrel. Atau menjadi Rp.5.832,06 / liter.
Dari hasil itu didapatkan biaya pokok BBM adalah biaya
bahan baku minyak tambah biaya penyedotan (lifting), biaya pengilangan
(refining) dan biaya distribusi, yang disebut biaya LRD diatas. Maka didapatkan
Rp.1.407,92 + Rp.5.832,06 = Rp.7.239,98, bila dibulatkan maka biaya pokok untuk
memproduksi BBM jenis premium hingga ke pompa bensin adalah Rp.7.240 / liter. Bila
ditambah Pajak Penjualan 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%, maka Biaya Pokok Premium = Rp.8.326/Liter.
Untuk model yang kedua, yaitu dengan menggunakan MOPS,
maka perhitungannya adalah sebagai berikut.
·
MOPS = 10 -
15 dollar lebih besar dari Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP).
·
Harga
Minyak Mentah Indonesia (ICP) = 75,39 US$ Per Barrel
(Rata-rata ICP November 2014).
Dari Rata-rata ICP ini, Maka MOPS = 85,39 US$.
(Rata-rata ICP November 2014).
Dari Rata-rata ICP ini, Maka MOPS = 85,39 US$.
·
Faktor
Adjustment / Alpha= 9,5 %.
·
Kurs 1 US$
= Rp.12.300 (Kisaran kurs di bulan November 2014)
Dengan asumsi bahwa biaya pokok BBM diproksi dengan
harga MOPS ditambah faktor terhadap Freight, pajak dan margin corporate
profit, serta angka alpha untuk Premium, Kerosene dan Solar adalah sama.
Maka didapatkan :
Harga Dasar BBM Premium = MOPS + Alpha
= 85,39 + (9,5% x 85,39) = 93,5 US$ (Per
Barrel)
Atau 0,5880 US$ (Per Liter)
Ket : 1 Barrel (oil) = 158.98729493 liter
= 159 liter
Dari sini dihitung harga dasar Premium = 0,5880 x
Rp.12.300 = Rp.7.233 / Liter
Bila ditambah Pajak Penjualan 10% dan Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor 5%, maka Biaya
Pokok Premium = Rp.8.318/Liter. (Perhitungan ini tidak jauh berbeda dengan
perhitungan yang dibuat Kwik Kian Gie).
Catatan :
Harga dasar BBM diambil dari patokan harga jual
rata-rata produk BBM yang dijual disekitar Asia ditambah Alpha.
Tabel
Perhitungan Biaya Pokok BBM Bersubsidi Jenis Premium
Waktu
|
Kurs (Rupiah/US$)
|
ICP (US$/Barrel)
|
Biaya Pokok BBM Jenis Premium (Rp/Liter)
|
Harga Premium Saat ini (Rp/Liter)
|
|
Model Perhitungan Kwik Kian Gie
|
Model Perhitungan MOPS
|
||||
November 2014
|
12.300
|
75,39
|
8.326
|
8.318
|
8.500
|
Dari perhitungan ini, maka didapatkan biaya pokok BBM
jenis premium ada dikisaran Rp.8.300/liter s.d Rp.8.330/liter (dengan ICP =
75,39 US$ dan kurs 1 US$ = Rp.12.300). Baik model perhitungan Kwik Kian Gie
maupun model perhitungan MOPS menghasilkan angka yang sama. Dengan demikian,
saat ini (sejak bulan November 2014 hingga pertengahan Desember 204 ini) pemerintah
telah “menenggak” keuntungan dari rakyatnya sendiri atas jual beli bensin
premium yang dijual seharga Rp.8.500/liter. Kalau dihitung, berarti keuntungan
pemerintah dari rakyatnya adalah Rp.170/liter s.d Rp.200/liter.
Memang, perhitungan ini bisa benar dan bisa juga
salah. Namun kalaupun perhitungan ini salah, bukan model perhitungannya yang
dipermasalahkan, justru harusnya pemerintah yang mengklarifikasi dan
menjelaskan berapa sesungguhnya biaya pokok BBM bersubsidi itu. Hingga saat ini
tidak ada transparansi dari pemerintah tentang model perhitungan dalam
menentukan biaya pokok BBM bersubsidi sehingga publik bisa mengetahui berapa
sesungguhnya subsidi yang diberikan pemerintah. Hanya ada pernyataan dari
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro saja yang menyebutkan bahwa biaya pokok
BBM saat ini adalah Rp.10.000-an per liter (dengan kurs sekitar Rp.12.300 dan
ICP disekitar 70 US$/barrel). Tapi pernyataan ini tanpa disertai bagaimana cara
dan model menghitungnya.
Kondisi ini mengingatkan kita pada hadits Rasulullah
SAW yang menyatakan bahwa pemerintahan yang melakukan jual beli dengan
rakyatnya adalah haram, dan haram baginya Surga. Dari Abu
Ja’la (Ma’qil) bin Jasar r.a berkata, Saya telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “Tiada seorang yang diamanati oleh Allah SWT memimpin rakyat kemudian
ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah SWT
mengharamkan baginya Surga.” (HR.Bukhari dan Muslim)
*Penulis
sekarang bekerja sebagai Tenaga Ahli Komisi VII DPR-RI yang membidangi Energi
dan Sumber Daya Mineral, pernah mengenyam pendidikan di Teknik Gas dan
Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dan Magister Perencanaan
Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
No comments:
Post a Comment