Friday, December 12, 2014

Menghitung Biaya Pokok Premium Saat ini


Bila mencermati perkembangan harga minyak dunia belakangan ini, satu kebijakan pemerintah yang sangat menarik untuk ditelisik adalah kebijakan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi disaat harga minyak dunia dan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price atau ICP) mengalami penurunan yang sangat drastis.  Selama bulan Oktober 2014 lalu ICP turun hingga 12%. Dan terus menurun selama bulan November 2014 kemarin hingga dibawah 80 US$/barrel.

Dengan harga ICP yang sedemikian rendah, bahkan diprediksi hingga di kisaran 60 US$/barrel pada bulan Desember 2014 ini, berarti ICP real sangat jauh lebih rendah dibanding asumsi makro dalam APBN yang ada di angka 105 US$/barrel. Artinya, besaran subsidi BBM akan lebih rendah, meskipun nilai tukar rupiah terhadap US Dollar melemah, tapi pelemahan rupiah tidak terlalu signifikan dibanding penurunan harga minyak Indonesia atau ICP.

Dari kondisi seperti ini, hal menarik yang perlu dibuka ke publik adalah berapa sesungguhnya biaya pokok BBM bersubsidi dibanding harga BBM bersubsidi saat ini (Premium seharga Rp.8.500/liter, dan Solar Rp.7500/liter), sehingga publik bisa mengetahui dan menilai seberapa besar sebenarnya subsidi yang diberikan pemerintah untuk 1 liter bensin atau BBM bersubsidi. Untuk menghitung biaya pokok BBM bersubsidi, berbagai metode telah diungkapkan oleh beberapa pakar, yang paling sulit adalah menentukan faktor-faktor seperti cost recovery, minyak prorata, dan minyak inkind ke dalam perhitungan, sehingga angkanya tidak eksak. Namun 2 model perhitungan yang pernah diungkap, model pertama adalah dari Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Kepala Bappenas kabinet Gotong Royong Kwik Kian Gie, dan satu model lagi yaitu menggunakan perhitungan berdasarkan MOPS (Mean of Platts Singapore) yang merupakan patokan harga yang dikeluarkan oleh badan publikasi bernama Platts yang berbasis di Singapore. Model yang dikeluarkan Kwik ada 2 cara, yaitu perhitungan dengan tidak memasukan biaya bahan baku (minyak bumi) dalam hal ini adalah angka harga minyak Internasional, dengan argumentasi bahwa minyak bumi yang keluar dari perut bumi Indonesia adalah hak rakyat Indonesia yang tidak diperjualbelikan, sehingga minyak bumi sebagai bahan baku dari pembuatan BBM tidak menjadi faktor biaya, karena sudah tersedia di tanah Indonesia. Cara Kwik yang kedua adalah dengan memasukan angka harga minyak Internasional sebagai faktor biaya.

Untuk model yang pertama (perhitungan Kwik Kian Gie) dengan cara pertama, Kwik dalam artikelnya di Kompas, Kamis, 3 Februari 2005 yang berjudul Menaikan Harga Bensin Premium, menyebutkan bahwa Minyak mentah yang ada dibawah permukaan bumi disedot sampai atas permukaan bumi ada biayanya, yaitu Rp.X per liter. Minyak mentah yang sudah ada diatas permukaan bumi diproses sampai menjadi bensin, biayanya Rp.Y per liter. Bensin itu harus diangkut ke pompa-pompa bensin (SPBU), biayanya Rp.Z per liter. Maka, Kwik menyebutkan bahwa biaya Rp.X + Rp.Y + Rp.Z = Rp.10 US$ per barrel (Biaya LRD) untuk BBM jenis premium (1 barrel = 159 liter). Kalau nilai tukar rupiah sama dengan Rp.8.600 (tahun 2005), maka keseluruhan biaya untuk 1 liter (10 x Rp.8.600) : 159 = Rp.540,88, dibulatkan menjadi Rp.540 per liter. (Ini model Kwik untuk cara pertama).

Untuk cara kedua, Kwik memperhitungkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang saat itu sebesar 50 US$ per barrel. Dengan kurs yang sama, yaitu Rp.8.600 per US$, maka ICP adalah 50 x Rp.8.600 = Rp.430.000. Untuk mendapatkan dalam satuan liter maka dibagi 159, didapatkan Rp.2.704,4 per liter (ini harga minyak mentah Indonesia). Kalau dijadikan bensin jenis premium, maka ditambahkan tiga biaya tadi yaitu biaya penyedotan (Lifting atau biaya L), biaya pengilangan (Refining atau Biaya R) dan biaya transportasi (Distribusi atau Biaya D), yang keseluruhannya berjumlah Rp.540 per liter. Maka harga BBM jenis premium adalah Rp.2.704 + Rp.540 = Rp.3.244 per liter   (inilah yang disebut biaya pokok BBM jenis premium). Harga bensin premium saat itu adalah Rp.1.810, sehingga subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia saat itu (tahun 2005) adalah biaya pokok BBM dikurangi harga BBM (jenis premium), yaitu Rp.3.244 – Rp.1.810 = Rp.1.434 per liter.

Dengan model perhitungan Kwik ini, bila dihitung di tahun 2014 sekarang, maka dengan cara yang sama akan didapatkan :
Biaya Lifting, Refining dan Distribusi (LRD) = 18,2 US$ per barrel (dengan memperhitungkan inflasi selama 2005 – 2014 yang sebesar 6-9%).
Dengan kurs 1 US$ = Rp.12.300 (November 2014), maka Biaya LRD = (18,2 x 12.300) : 159 = Rp.1.407,92 / liter.
Dengan harga minyak Indonesia (ICP) = 75,39 US$ per barel (data kementerian ESDM RI, dari www.esdm.go.id pada hari selasa, 2 Desember 2014), maka bila dikonversi ke rupiah menjadi Rp.927.297 / barrel. Atau menjadi Rp.5.832,06 / liter.
Dari hasil itu didapatkan biaya pokok BBM adalah biaya bahan baku minyak tambah biaya penyedotan (lifting), biaya pengilangan (refining) dan biaya distribusi, yang disebut biaya LRD diatas. Maka didapatkan Rp.1.407,92 + Rp.5.832,06 = Rp.7.239,98, bila dibulatkan maka biaya pokok untuk memproduksi BBM jenis premium hingga ke pompa bensin adalah Rp.7.240 / liter. Bila ditambah Pajak Penjualan 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%, maka Biaya Pokok Premium = Rp.8.326/Liter. 

Untuk model yang kedua, yaitu dengan menggunakan MOPS, maka perhitungannya adalah sebagai berikut.
·         MOPS = 10 - 15 dollar lebih besar dari Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP).
·         Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) =  75,39 US$ Per Barrel 
       (Rata-rata ICP November 2014). 
       Dari Rata-rata ICP ini, Maka MOPS = 85,39 US$.
·         Faktor Adjustment / Alpha= 9,5 %.
·         Kurs 1 US$ = Rp.12.300 (Kisaran kurs di bulan November 2014)
Dengan asumsi bahwa biaya pokok BBM diproksi dengan harga MOPS ditambah  faktor terhadap Freight, pajak dan margin corporate profit, serta angka alpha untuk Premium, Kerosene dan Solar adalah sama.
Maka didapatkan :
Harga Dasar BBM Premium   = MOPS + Alpha
= 85,39 + (9,5% x 85,39) = 93,5 US$ (Per Barrel)
Atau 0,5880 US$ (Per Liter)
Ket : 1 Barrel (oil) = 158.98729493 liter = 159 liter
Dari sini dihitung harga dasar Premium = 0,5880 x Rp.12.300 = Rp.7.233 / Liter
Bila ditambah Pajak Penjualan 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%, maka Biaya Pokok Premium = Rp.8.318/Liter. (Perhitungan ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan yang dibuat Kwik Kian Gie).
Catatan :
Harga dasar BBM diambil dari patokan harga jual rata-rata produk BBM yang dijual disekitar Asia ditambah Alpha.

Tabel Perhitungan Biaya Pokok BBM Bersubsidi Jenis Premium
Waktu
Kurs (Rupiah/US$)
ICP (US$/Barrel)
Biaya Pokok BBM Jenis Premium (Rp/Liter)
Harga Premium Saat ini (Rp/Liter)
Model Perhitungan Kwik Kian Gie
Model Perhitungan MOPS
November 2014
12.300
75,39
8.326
8.318
8.500

Dari perhitungan ini, maka didapatkan biaya pokok BBM jenis premium ada dikisaran Rp.8.300/liter s.d Rp.8.330/liter (dengan ICP = 75,39 US$ dan kurs 1 US$ = Rp.12.300). Baik model perhitungan Kwik Kian Gie maupun model perhitungan MOPS menghasilkan angka yang sama. Dengan demikian, saat ini (sejak bulan November 2014 hingga pertengahan Desember 204 ini) pemerintah telah “menenggak” keuntungan dari rakyatnya sendiri atas jual beli bensin premium yang dijual seharga Rp.8.500/liter. Kalau dihitung, berarti keuntungan pemerintah dari rakyatnya adalah Rp.170/liter s.d Rp.200/liter.

Memang, perhitungan ini bisa benar dan bisa juga salah. Namun kalaupun perhitungan ini salah, bukan model perhitungannya yang dipermasalahkan, justru harusnya pemerintah yang mengklarifikasi dan menjelaskan berapa sesungguhnya biaya pokok BBM bersubsidi itu. Hingga saat ini tidak ada transparansi dari pemerintah tentang model perhitungan dalam menentukan biaya pokok BBM bersubsidi sehingga publik bisa mengetahui berapa sesungguhnya subsidi yang diberikan pemerintah. Hanya ada pernyataan dari Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro saja yang menyebutkan bahwa biaya pokok BBM saat ini adalah Rp.10.000-an per liter (dengan kurs sekitar Rp.12.300 dan ICP disekitar 70 US$/barrel). Tapi pernyataan ini tanpa disertai bagaimana cara dan model menghitungnya.

Kondisi ini mengingatkan kita pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa pemerintahan yang melakukan jual beli dengan rakyatnya adalah haram, dan haram baginya Surga. Dari Abu Ja’la (Ma’qil) bin Jasar r.a berkata, Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang yang diamanati oleh Allah SWT memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah SWT mengharamkan baginya Surga.” (HR.Bukhari dan Muslim)

*Penulis sekarang bekerja sebagai Tenaga Ahli Komisi VII DPR-RI yang membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral, pernah mengenyam pendidikan di Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dan Magister Perencanaan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

No comments: