Hari minggu lalu (21/12/2014), Tim
Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (RTKM) akhirnya mengeluarkan
rekomendasi terkait Kebijakan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia khususnya
untuk BBM Bersubsdi. Setidaknya ada 6 rekomendasi untuk penyelesaian karut
marut permasalahan minyak dan gas bumi, yaitu penghentian impor RON 88,
peningkatan kualitas produksi minyak solar oleh kilang dalam negeri, pengalihan
produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi RON 92, penerapan subsidi
tetap untuk BBM jenis RON 92 sebagai pengganti RON 88, memperhatikan kebutuhan
minyak solar untuk transportasi publik dan angkutan barang, serta pembaruan
kilang domestik lewat fasilitas Pemerintah.
Bila
dilihat selintas 6 rekomendasi tersebut, memang sangat menarik. Namun bila
diamati lebih dalam, maka tidak ada hal baru yang dihasilkan Tim yang dipimpin
Faisal Basri ini. Sorry to say,
keseluruhan rekomendasi itu sudah sering mengemuka di media, tapi hanya jadi
“pemanis bibir rakyat” saja. Diucapkan, diungkapkan, diangkat ke permukaan,
namun realisasinya tidak seindah aslinya. Masalah pembaruan kilang, subsidi
tetap BBM bersubsidi, penghapusan BBM jenis premium, semuanya sudah pernah
dibahas dan ditelaah oleh banyak pengamat dan akademisi, bahkan sudah sering
masuk dalam pembahasan di Rapat Komisi VII DPR-RI.
Disamping
tidak ada hal baru, 6 rekomendasi tersebut bahkan tidak menyentuh akar
permasalahan yang sesungguhnya. Bila bicara tata kelola, tentu substansi yang
paling utama untuk dibenahi adalah masalah kebijakan, dalam hal ini adalah
merevisi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan
dalam rekomendasi Tim RTKM. Bila bicara subsidi tetap pada BBM bersubsidi
(sebagaimana rekomendasi Tim RTKM), masih ada kontroversi karena dengan
pemberlakuan subsidi tetap (misalnya Rp.500/liter) yang berarti harga BBM
bersubsidi mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, maka skema ini dapat
menyebabkan harga BBM bersubsidi mengikuti mekanisme pasar. Tentu kita masih
ingat bahwa salah satu pasal dalam UU no.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi yang mencantumkan penyerahan harga BBM bersubsidi pada mekanisme pasar,
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga merekomendasikan point ini
dapat mengakibatkan pekerjaan yang sama berulang-ulang dan berpotensi jatuh
pada lubang yang sama pula.
Atau
bicara tentang penghapusan BBM jenis premium RON 88 dan mengalihkannya menjadi
BBM jenis Mogas RON 92. Penghapusan BBM jenis premium memang akan mempersempit
ruang gerak mafia migas yang sekarang ini sering mempermainkan harga pasar.
Pengalihan ke BBM RON 92 (berarti BBM selevel Pertamax RON 92 yang akan
disubsidi nantinya), juga memberi manfaat yang cukup besar, yaitu membangun
kedaulatan energi. Misalnya dengan subsidi Rp.2.000/liter untuk RON 92, berarti
harga Pertamax bisa turun. Kalau dihitung saat ini berarti harga Pertamax bisa
mencapai Rp.7.950/liter untuk Jabodetabek. Tentu ini akan jadi mimpi buruk bagi
SPBU asing karena disaat yang sama masih menjual RON 92 (Shell ataupun Total)
dengan harga sekitar Rp.10.000/liter.
Tetapi
kajiannya tentu tidak berhenti disitu. Untuk mengalihkan BBM RON 88 menjadi BBM
RON 92 dibutuhkan effort yang tidak
murah. Set-up proses pengolahan minyak bumi di Indonesia yang saat ini
berjumlah 9 unit kilang, zat additive yang perlu ditambahkan dalam proses
produksi (Methyl
Tertiary Butyl Ether atau MTBE, senyawa Naphthalena, Octane Buster atau
senyawa-senyawa aromatic lainnya), hingga cost production yang tentunya
bertambah akibat pengalihan produksi, tentu perlu menjadi pertimbangan khusus.
Apalagi realita saat ini dimana kilang minyak dalam negeri sering kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan BBM RON diatas 90 seperti Pertamax.
Point
yang diharapkan dan ditunggu-tunggu justru tidak tercantum dalam rekomendasi
tim RTKM, yaitu pembenahan dari sisi kebijakan Minyak dan Gas Bumi, dengan
merevisi UU no.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Padahal sebagaimana
diketahui, produksi lifting minyak Indonesia anjlok dalam 10 tahun terakhir,
akibat Realisasi
Investasi/Pemboran Explorasi terus menurun sejak 1999. Bahkan sejak
tahun 2000 nyaris tidak ditemukan lagi cadangan minyak di Blok baru, hampir seluruh pemboran eksplorasi terjadi di Blok yang
sudah berproduksi, sehingga produksi hanya mengandalkan
lapangan-lapangan tua yang sudah matured.
Ini semua diakibatkan oleh UU no.22 tahun 2001 tersebut.
Pemberlakuan UU No.22/2001 ini mengakibatkan kondisi Industri Migas di Indonesia menjadi salah satu yang terburuk di Dunia. Dari 133 Negara/Wilayah yang disurvey, Indonesia berada di urutan 111. Sedangkan untuk Kawasan Oceania, posisi Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste. Dilihat dari kondisi Investasi Migas, Indonesia lebih buruk dari Papua Nugini, Malaysia, Philipina, Vietnam, Camboja, Thailand, Brunei, Australia, China, India dan Pakistan. (Global Petroleum Survey 2010 halaman 56).
Kalau
permasalahan-permasalahan yang tampak di permukaan dibenahi tanpa memperbaiki
substansi permasalahan yang sesungguhnya, ini seperti mengatasi penyakit kronis
dengan menggunakan obat analgesik. Gejala dan keluhan penyakitnya
berkurang bahkan jadi tidak terasa sama sekali akibat “obat penahan rasa sakit”
itu, namun sumber penyebab penyakitnya tidak disentuh sama sekali.#
No comments:
Post a Comment