Wednesday, December 24, 2014

REKOMENDASI TIM REFORMASI MIGAS BELUM MENYENTUH AKAR PERMASALAHAN

Hari minggu lalu (21/12/2014), Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (RTKM) akhirnya mengeluarkan rekomendasi terkait Kebijakan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia khususnya untuk BBM Bersubsdi. Setidaknya ada 6 rekomendasi untuk penyelesaian karut marut permasalahan minyak dan gas bumi, yaitu penghentian impor RON 88, peningkatan kualitas produksi minyak solar oleh kilang dalam negeri, pengalihan produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi RON 92, penerapan subsidi tetap untuk BBM jenis RON 92 sebagai pengganti RON 88, memperhatikan kebutuhan minyak solar untuk transportasi publik dan angkutan barang, serta pembaruan kilang domestik lewat fasilitas Pemerintah.

Bila dilihat selintas 6 rekomendasi tersebut, memang sangat menarik. Namun bila diamati lebih dalam, maka tidak ada hal baru yang dihasilkan Tim yang dipimpin Faisal Basri ini. Sorry to say, keseluruhan rekomendasi itu sudah sering mengemuka di media, tapi hanya jadi “pemanis bibir rakyat” saja. Diucapkan, diungkapkan, diangkat ke permukaan, namun realisasinya tidak seindah aslinya. Masalah pembaruan kilang, subsidi tetap BBM bersubsidi, penghapusan BBM jenis premium, semuanya sudah pernah dibahas dan ditelaah oleh banyak pengamat dan akademisi, bahkan sudah sering masuk dalam pembahasan di Rapat Komisi VII DPR-RI.

Disamping tidak ada hal baru, 6 rekomendasi tersebut bahkan tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Bila bicara tata kelola, tentu substansi yang paling utama untuk dibenahi adalah masalah kebijakan, dalam hal ini adalah merevisi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam rekomendasi Tim RTKM. Bila bicara subsidi tetap pada BBM bersubsidi (sebagaimana rekomendasi Tim RTKM), masih ada kontroversi karena dengan pemberlakuan subsidi tetap (misalnya Rp.500/liter) yang berarti harga BBM bersubsidi mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, maka skema ini dapat menyebabkan harga BBM bersubsidi mengikuti mekanisme pasar. Tentu kita masih ingat bahwa salah satu pasal dalam UU no.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang mencantumkan penyerahan harga BBM bersubsidi pada mekanisme pasar, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga merekomendasikan point ini dapat mengakibatkan pekerjaan yang sama berulang-ulang dan berpotensi jatuh pada lubang yang sama pula.

Atau bicara tentang penghapusan BBM jenis premium RON 88 dan mengalihkannya menjadi BBM jenis Mogas RON 92. Penghapusan BBM jenis premium memang akan mempersempit ruang gerak mafia migas yang sekarang ini sering mempermainkan harga pasar. Pengalihan ke BBM RON 92 (berarti BBM selevel Pertamax RON 92 yang akan disubsidi nantinya), juga memberi manfaat yang cukup besar, yaitu membangun kedaulatan energi. Misalnya dengan subsidi Rp.2.000/liter untuk RON 92, berarti harga Pertamax bisa turun. Kalau dihitung saat ini berarti harga Pertamax bisa mencapai Rp.7.950/liter untuk Jabodetabek. Tentu ini akan jadi mimpi buruk bagi SPBU asing karena disaat yang sama masih menjual RON 92 (Shell ataupun Total) dengan harga sekitar Rp.10.000/liter.

Tetapi kajiannya tentu tidak berhenti disitu. Untuk mengalihkan BBM RON 88 menjadi BBM RON 92 dibutuhkan effort yang tidak murah. Set-up proses pengolahan minyak bumi di Indonesia yang saat ini berjumlah 9 unit kilang, zat additive yang perlu ditambahkan dalam proses produksi (Methyl Tertiary Butyl Ether atau MTBE, senyawa Naphthalena, Octane Buster atau senyawa-senyawa aromatic lainnya), hingga cost production yang tentunya bertambah akibat pengalihan produksi, tentu perlu menjadi pertimbangan khusus. Apalagi realita saat ini dimana kilang minyak dalam negeri sering kesulitan untuk memenuhi kebutuhan BBM RON diatas 90 seperti Pertamax.

Point yang diharapkan dan ditunggu-tunggu justru tidak tercantum dalam rekomendasi tim RTKM, yaitu pembenahan dari sisi kebijakan Minyak dan Gas Bumi, dengan merevisi UU no.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Padahal sebagaimana diketahui, produksi lifting minyak Indonesia anjlok dalam 10 tahun terakhir, akibat Realisasi Investasi/Pemboran Explorasi terus menurun sejak 1999. Bahkan sejak tahun 2000 nyaris tidak ditemukan lagi cadangan minyak di Blok baru, hampir seluruh pemboran eksplorasi terjadi di Blok yang sudah berproduksi, sehingga produksi hanya mengandalkan lapangan-lapangan tua yang sudah matured. Ini semua diakibatkan oleh UU no.22 tahun 2001 tersebut.

Pemberlakuan UU No.22/2001 ini mengakibatkan kondisi Industri Migas di Indonesia menjadi salah satu yang terburuk di Dunia. Dari 133 Negara/Wilayah yang disurvey, Indonesia berada di urutan 111. Sedangkan untuk Kawasan Oceania, posisi Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste. Dilihat dari kondisi Investasi Migas, Indonesia lebih buruk dari Papua Nugini, Malaysia, Philipina, Vietnam, Camboja, Thailand, Brunei, Australia, China, India dan Pakistan. (Global Petroleum Survey 2010 halaman 56).

Kalau permasalahan-permasalahan yang tampak di permukaan dibenahi tanpa memperbaiki substansi permasalahan yang sesungguhnya, ini seperti mengatasi penyakit kronis dengan menggunakan obat analgesik. Gejala dan keluhan penyakitnya berkurang bahkan jadi tidak terasa sama sekali akibat “obat penahan rasa sakit” itu, namun sumber penyebab penyakitnya tidak disentuh sama sekali.#

No comments: