Beberapa
hari belakangan ini rakyat Indonesia seakan diberi hadiah tahun baru 2016 oleh
pemerintah. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) turun untuk semua jenis baik
Premium, Solar, Pertamax dan Pertalite. Salah satu yang menarik adalah turunnya
harga premium dari Rp.7.300/liter menjadi Rp.6.950/liter. Harga premium menjadi
salah satu patokan bagi publik karena masih menjadi primadona yang dikonsumsi
paling banyak oleh masyarakat dibanding Pertamax maupun Pertalite. Sedangkan
BBM jenis solar, biasanya digunakan untuk kendaraan jenis truk, beberapa
kendaraan pribadi bermesin diesel atau untuk Industri.
Fenomena
yang terjadi di lapangan, ketika harga BBM turun baik Premium dan Solar
(Pertamax dan Pertalite tidak begitu diperhitungkan karena pemakaiannya masih
sangat sedikit), namun harga-harga barang dan jasa tidak turun. Harga BBM turun
tapi tarif angkutan umum tidak turun, padahal komponen biaya bahan bakar
merupakan yang paling dominan dalam penentuan tarif angkutan umum, yaitu
sekitar 20-30% dari total biaya transportasi (angkutan umum dan barang). Karena
itu bila harga BBM turun, maka seharusnya ongkos operasional angkutan umum
turun. Namun kenyataannya tidak.
Penjelasan
yang paling rasional untuk menjelaskan price rigidity (kekakuan harga) angkutan
umum ini adalah disparitas kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Perlu
diketahui bahwa penentuan tarif angkutan umum dilakukan oleh pemerintah daerah
dan Organda, sedangkan kebijakan naik turunnya harga BBM dilakukan pemerintah
pusat. Tidak sinkronnya antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan kerugian
masyarakat, karena masyarakat tidak menikmati penurunan tarif angkutan umum
yang seharusnya mereka terima dengan turunnya harga BBM. Namun sebaliknya, saat
harga BBM dinaikan, pengusaha angkutan umum bisa langsung menaikan tarif angkutan dengan alasan biaya operasional
meningkat.
Penaikan
tarif bahkan bisa dilakukan oleh supir angkutan baik bus, metromini, mikrolet
dan lain sebagainya, tanpa perlu menunggu instruksi organda ataupun Pemda
setempat. Saat meminta tarif angkutan naik akibat kenaikan BBM, Organda
menyebutkan komponen biaya BBM sangatlah besar. Namun saat harga BBM turun,
Organda pun menurunkan komponen biaya BBM tersebut dalam total biaya
transportasi. Lagi-lagi, rakyat sebagai konsumen di tingkat akhir yang
dirugikan.
Salah
satu fenomena yang juga menarik terjadi pada pergerakan harga sembako (baik
telur, beras, daging ayam, daging sapi, minyak goreng, gula dan lain
sebagainya). Dimana saat harga BBM naik, harga-harga sembako tersebut langsung
naik bahkan seringkali lebih besar dari proporsi yang seharusnya, namun saat
harga BBM turun maka harga-harga sembako itu tidak ikut turun. Kalaupun turun,
tapi terjadi time lag atau rentang waktu penyesuaian harga yang cukup lama
untuk menyesuaikan dengan besaran turunnya harga BBM. Atau presentase turunnya
harga sembako tidak sebesar presentase turunnya harga BBM.
Kebijakan menaikan dan menurunkan harga
BBM sudah dilakukan pemerintahan Jokowi-JK sejak 18 November 2014. Pada tanggal
tersebut terjadi kenaikan harga BBM secara ekstrem. Lalu pada tanggal 31
Desember 2014, dimana Presiden RI mengeluarkan Peraturan Presiden No.191 tahun
2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Perpres
tersebut memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga dasar
dan harga jual eceran BBM (Pasal 14 ayat 1). Perpres ini ditindaklanjuti dengan
Peraturan Menteri (Permen) ESDM no.39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual
BBM, dan pada 16 Januari 2015 dikeluarkan Permen ESDM no.4 tahun 2015 tentang
Perubahan atas Permen no.39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual BBM.
Permen ESDM no.4 Tahun 2015 inilah yang menjadi patokan perubahan harga BBM,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2, “Harga jual eceran BBM dapat
diubah setiap satu bulan (naik atau turun), bahkan apabila dianggap perlu
Menteri dapat menetapkan lebih dari 1 (satu) kali dalam setiap bulan.”
Akibatnya, pergerakan harga BBM sejak saat itu sangat dinamis, berbeda dengan
sebelum ada kebijakan subsidi tetap untuk harga BBM.
Dalam salah satu penelitian di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia yang meneliti tentang hubungan antara transmisi
harga BBM vs harga sembako dengan metode Asymmetric
Vertical Transmission Price dengan Error
Correction Model (ECM), didapatkan bahwa fenomena asymmetric price transmission terjadi pada harga telur, beras dan
daging ayam terhadap harga BBM. Yaitu ketika harga BBM naik maka harga sembako
langsung naik, namun ketika harga BBM turun harga sembako tidak langsung turun,
perlu waktu penyesuaian untuk merespon penurunan harga BBM tersebut hingga 4
bulan. Respon penyesuaian untuk telur
selama 2 bulan, beras selama 3 bulan dan daging ayam selama 4 bulan.
Salah satu penyebab yang dapat
menjelaskan terjadinya transmisi harga tidak simetris adalah dugaan adanya
perilaku spekulan atau penyalahgunaan kekuatan pasar yang dilakukan pedagang
perantara dalam satu supply chain
sembako. Menurut Prastowo et al. (2008), struktur pasar sangat berpengaruh
terhadap jumlah margin keuntungan yang ditetapkan oleh para pelaku usaha dalam
satu rantai pemasaran. Pada struktur pasar persaingan sempurna, atau pasar yang
memiliki tingkat kompetisi yang tinggi, perusahaan atau pelaku usaha hanya
berperan sebagai price taker, yaitu tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
harga produk di pasar. Margin yang akan diperoleh dalam struktur pasar seperti
ini akan sangat kecil. Berbeda dengan pasar monopoli atau oligopoli,
dimana perusahaan tunggal
atau beberapa perusahaan dominan akan berperilaku sebagai price maker, yang
memiliki keleluasaan dalam menetapkan harga dan menentukan margin seoptimal
mungkin.
Dalam pasar sembako, oligopoli
terjadi dalam rantai supply dari pedagang besar ke pengecer beras, atau dari pedagang
besar ke agen telur, atau dari pedagang besar ke pasar pengecer ayam, dimana
pengecer beras, agen telur dan pasar pengecer ayam jumlahnya jauh lebih banyak
dibanding dengan jumlah pedagang besar. Sedangkan dalam rantai supply
sebelumnya, yaitu dari petani ke tengkulak lalu ke penggilingan, struktur
pasarnya adalah oligopsoni, dimana jumlah petani lebih banyak dibanding
tengkulak, dan jumlah tengkulak/pengumpul lebih banyak dibanding penggilingan.
Demikian juga dengan struktur pasar telur dan daging ayam, dari peternak ke
pengumpul atau pemotongan adalah struktur oligopsoni. Di rantai akhir, yaitu
dari pengecer ke konsumen, struktur pasarnya adalah monopolistik, karena jumlah
pedagang pengecer relatif sama banyak dengan jumlah konsumen.
Dampak dari rantai pasar seperti itu dapat
mengakibatkan petani dan peternak, serta agen dan warung pengecer berada dalam
posisi tawar yang lemah. Sebaliknya, supplier dan pedagang besar memiliki bargaining yang kuat khususnya dalam
penentuan harga. Ditambah dengan minimnya modal yang dimiliki baik oleh agen
maupun warung pengecer, serta sistem pembelian dan pembayaran yang tidak
menguntungkan bagi agen dan warung pengecer tersebut. Posisi supplier dan
pedagang besar tersebut juga semakin kuat karena barrier to entry (hambatan masuk) yang tinggi dan terjadi secara
alamiah bagi pelaku-pelaku usaha yang ingin masuk ke pasar tersebut, seperti
modal, teknologi, dan jaringan pemasaran yang telah dikuasai pedagang yang ada.
Karena sembako jenis telur, beras dan daging ayam, memiliki elastisitas
permintaan yang inelastik, dimana jika harga dinaikan maka penurunan permintaan
tidak akan signifikan, maka posisi ini membuat supplier dan pedagang besar
tersebut semakin dominan berperan sebagai price
maker (penentu harga) sehingga dengan mudah mengatur harga beras, telur dan
daging ayam. Akibatnya, ketika harga BBM diturunkan, pedagang-pedagang besar
ini dapat menahan harga sembako karena bersifat price maker, tentunya ingin mengambil keuntungan berlebih dari
turunnya harga BBM ini. Proses transmisi harga BBM terhadap harga sembako pun
akan melambat dan membutuhkan time lag penyesuaian harga.
Kebijakan menaikan dan menurunkan harga
BBM ini tanpa disertai perbaikan struktur pasar dalam rantai supply chain sembako, maka tidak akan bermanfaat
luas bagi masyarakat, karena mereka tidak menikmati penurunan harga beras,
telur, daging sapi, daging ayam dan lain sebagainya akibat turunnya harga BBM.
Perbaikan struktur pasar ini perlu dilakukan dengan memangkas jalur distribusi
sembako, pemodalan bagi usaha kecil untuk masuk ke dalam pasar yang barrier to entry-nya besar, atau
pengembangan program Depo Bapok Kita yang pernah digagas oleh Kementerian
Perdagangan. Tanpa perbaikan struktur pasar, maka kalangan yang menikmati
penurunan harga BBM ini lagi-lagi justru adalah pedagang besar dan kartel yang
memiliki kekuatan sebagai price maker,
bukan rakyat kecil sebagaimana yang ditargetkan. #
No comments:
Post a Comment