Wednesday, November 16, 2016

Dana Desa, Akankah Mengatasi Kesenjangan atau Membuka Pintu Baru Korupsi ?


Pengalokasian dana desa 1 miliar per desa yang dijadikan slogan kampanye Presiden Joko Widodo, perlahan-lahan mulai dikucurkan. Dana yang bersumber dari APBN itu telah memiliki aturan hukum yang lengkap mulai dari Undang-undang hingga Peraturan Menteri. UU no.6 tahun 2014 tentang Desa telah menetapkan arah pembangunan desa, diantaranya penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar serta pembangunan sarana dan prasarana desa.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no.247 tahun 2015 pasal 2 sampai 10 telah mengalokasikan dana desa yang bersumber dari APBN 2015 adalah sebesar Rp.565,6 juta per desa. Meski belum sesuai dengan besaran janji kampanye Rp.1 miliar per desa, beberapa catatan terkait pergerakan indikator perekonomian Indonesia menarik untuk dikaji. 

Berdasarkan data Kemendagri, 2015, jumlah desa saat ini mencapai 74.754 desa, dan diperkirakan jumlah itu akan terus bertambah sejalan dengan aspirasi masyarakat desa (sudah ada permintaan dari daerah sebanyak 1800 yang belum disetujui Kementerian Keuangan). Dari sejumlah desa tersebut, ada beberapa desa yang disebut tertinggal. Pulau Papua memiliki jumlah terbanyak untuk kategori desa tertinggal, dari 5.204 desa ada 4.049 desa tertinggal (77,81%), Maluku dari 1.958 desa ada 833 desa tertinggal (42,54%), Sumatera dari 22.056 desa ada 8.241 desa tertinggal (37,36%), Kalimantan dari 6.382 desa ada 1.702 desa tertinggal (26,67%), Sulawesi dari 8.233 desa ada 1.213 desa tertinggal (14,73%), Nusa Tenggara dan Bali dari 3.599 desa ada 424 desa tertinggal (11,78%), sedangkan di Jawa dari 22.458 desa masih ada 806 desa tertinggal (3,59%).

Menghadapi permasalahan desa tertinggal ini, Kementerian Desa telah menggulirkan 9 program prioritas, yaitu.
1. Peluncuran gerakan desa mandiri di 3.500 desa.
2. Pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur 3.500 pada desa
3. Pembentukan dan pengembangan 5.000 BUMDES (Badan Usaha Milik Desa)
4. Melakukan revitalisasi pasar desa di 5.000 desa atau kawasan pedesaan.
5. Pembangunan infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 3.500 desa mandiri.
6. Penyiapan implementasi penyaluran dana desa Rp.1,4 miliar per desa secara bertahap.
7. Penyaluran modal bagi koperasi atau UMKM di 5.000 desa.
8. Pilot project sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di 3.500 desa.
9. Desa perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar dan terpencil menjadi prioritas kementerian PDT dan Transmigrasi.

Program-program itu diharapkan dapat mengatasi kesenjangan ekonomi yang beberapa tahun terakhir semakin melebar, yang diukur dari indeks gini atau gini ratio. Kesenjangan yang dimaksud disini adalah ketimpangan distribusi pendapatan nasional, atau dengan bahasa yang lebih sederhana, jurang perbedaan antara si kaya dengan si miskin. 

Rasio gini sepanjang tahun 2009 - 2013 (sebelum alokasi dana desa sebagaimana UU no.6 tahun 2014) terus mengalami peningkatan, dari 0,37 hingga 0,41. Rasio gini yang semakin tinggi menunjukan jurang perbedaan si kaya dengan si miskin semakin lebar, distribusi pendapatan semakin timpang. Rentang gini ratio adalah nol (merata sempurna) hingga 1 (timpang sempurna). Program dan Kebijakan yang digulirkan saat itu (masa pemerintahan SBY) belum menyentuh akar permasalahan untuk mengatasi ketimpangan. Padahal sepanjang tahun 2009 - 2013 tersebut anggaran kesehatan, perumahan rakyat dan perlindungan sosial terus meningkat. Anggaran pendidikan bahkan dipatok 20% dari belanja APBN. Untuk membentengi masyarakat miskin ada dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun kenyataannya ketimpangan justru membesar.

Sebuah penelitian di Universitas Indonesia (UI) menyebutkan bahwa belanja pendidikan dan perlindungan sosial justru berkorelasi positif atau searah dengan ketimpangan distribusi pendapatan. Artinya kenaikan belanja pendidikan dan perlindungan sosial justru meningkatkan indeks gini. Hal ini diduga penyebabnya adalah sebagian besar anggarannya habis digunakan untuk keperluan belanja administrasi dan birokrasi, dengan kata lain belanja pegawai dan barang. Sedangkan anggaran kesehatan meski dapat mengurangi ketimpangan, namun tidak signifikan. Hanya anggaran perumahan yang menunjukan signifikansi perubahan ketimpangan ke arah yang lebih baik  Kenaikan anggaran perumahan dapat mengurangi indeks gini. (Nopiyantoro, UI, 2014).

Penelitian tersebut juga menunjukan meningkatnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) jutsru mendorong peningkatan indeks gini. Ini menegaskan adanya trade-off (imbang korban) antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan. Bila pertumbuhan ekonomi meningkat, sangat dimungkinkan peningkatan itu hanya dinikmati segelintir elit saja (hanya dinikmati kelompok menengah keatas). Akibatnya si miskin semakin melarat, yang ditandai meningkatnya indeks gini. Pertumbuhan ekonomi penting ditingkatkan, tapi indeks gini juga penting diturunkan, seolah-olah Presiden harus memilih mana yang lebih prioritas.

Realitas menarik terjadi setelah dana desa mulai dikucurkan sejak tahun 2015. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2015, dana desa yang dialokasikan di Anggaran Pemerintah Belanja Negara Perubahan (APBN-P 2015) sebesar Rp 20,7 triliun yang dibagikan dalam 3 tahap, yaitu pada bulan April 2015, Agustus 2015, dan Oktober 2015. Setiap desa menerima dana desa sebesar Rp.270 juta. Sedangkan di tahun 2016 ini dialokasikan Rp.46,9 triliun, atau Rp.565,6 juta per desa. Setelah pencairan dana desa ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data indeks gini pada Maret 2016 turun menjadi 0,39 (turun dibanding tahun 2013, yaitu 0,41). Penurunan gini ratio menjadi di bawah 0,4 membuat tingkat kesenjangan di Indonesia kembali dalam kategori rendah.

            Memang masih terlalu prematur untuk menyebutkan keberhasilan program dana desa, namun tanda-tanda perbaikan kesenjangan semakin terlihat dengan melihat indikator perkonomian yang lain. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan terus menurun. Bila sesuai dengan kaidah adanya trade-off antara indeks gini dengan pertumbuhan (sebagaimana hasil penelitian diatas), maka arah kebijakan pembangunan desa melalui program dana desa ini dapat diandalkan. Dengan tetap menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui instrument kebijakan lain.

Pengucuran dana desa ternyata tidak begitu mulus. Banyak kendala yang dihadapi. Kendala yang paling mencuat terkait kecakapan dan pemahaman kepala desa termasuk perangkat desa dalam mengelola keuangan sesuai aturan perundang-undangan. Ditambah lagi dengan lambatnya penerbitan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa, serta potensi tumpang tindih kewenangan Kementerian Desa dengan Direktorat Jenderal Bina Pemerintah Desa Kementerian Dalam Negeri. Dengan tingkat pendidikan dan daya tangkap Kepala Desa yang berbeda-beda, penyimpangan sangat mungkin terjadi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan telah memberikan warning akan terbukanya celah terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana desa. Peringatan ini terkait dengan sejumlah persoalan yang perlu segera dijawab. Apakah APBDesa yang disusun sudah menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa dengan satuan harga baku barang atau jasa yang mengacu pada aturan penyusunan APBDesa. Apakah laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa sudah mengikuti standar dan tidak rawan dimanipulasi. Bagaimana efektifitas pengawasan inspektorat daerah terhadap pengelolaan keuangan desa, termasuk mekanisme saluran pengaduan masyarakat.

Ketika solusi yang diambil adalah mengirim tenaga pendamping dana desa, disini justru muncul persoalan baru. Tenaga pendamping dana desa dapat berpotensi melakukan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya aparat desa. Sejumlah kebijakan untuk mengatasi persoalan ini dapat kita lihat efektifitasnya dalam beberapa tahun mendatang, apakah dana desa ini benar-benar dapat diandalkan untuk mengatasi kesenjangan, atau justru memindahkan pintu korupsi dari pejabat elit nasional kepada kepala desa dan aparat desa. #

No comments: