Carut marut
penegakan hukum di Indonesia nampaknya sedikit terobati dengan ketegasan
Kepolisian RI menetapkan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai tersangka
kasus penistaan agama. Meski belum terbukti apakah penegak hukum akan konsisten
dalam proses penyidikan hingga pengadilan, namun langkah-langkah berani
Bareskrim Polri patut diapresiasi. Proses penegakan hukum yang sangat berliku
dalam kasus penistaan agama ini menyisakan tanda tanya besar, apakah selama ini
pengawalan undang-undang sudah ditegakkan secara serius oleh aparat penegak
hukum atau haruskah menunggu desakan publik yang massif dan mengancam
sebagaimana kronologi yang terjadi dalam kasus penistaan agama ini.
Kasus reklamasi
Teluk Jakarta, sudah jauh-jauh hari mencuat dalam perbincangan publik. Bila
dirunut lebih detail, dugaan pelanggaran undang-undang juga mudah dilacak oleh aparat
penegak hukum. Tak jauh berbeda caranya dengan menelisik dugaan pelanggaran
pidana yang dilakukan Ahok dalam kasus penistaan agama.
Yang sedikit
berbeda hanyalah aspirasi yang datang dari masyarakat memang tidak seluas aksi
massa yang dilakukan dalam kasus penistaan agama. Seharusnya kerisauan
masyarakat yang berlawanan dengan kebijakan reklamasi Gubernur DKI Jakarta non
aktif tersebut, perlu diakomodir, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan
penegakan hukum dan perundang-undangan yang obyektif seperti yang
didengung-dengungkan oleh Kapolri dalam berbagai forum. Apalagi dalam kasus proyek
reklamasi ini, PTUN telah mengeluarkan putusannya pada Mei 2016, no.193/G/LH/2015
yang memenangkan gugatan para nelayan untuk menghentikan reklamasi, khususnya
Pulau G.
Dalam konteks
hukum, keluarnya putusan PTUN tersebut membuat proyek reklamasi yang izinnya
diterbitkan oleh Ahok menjadi cacat hukum. Ada 4 (empat) izin pelaksanaan
reklamasi yang dikeluarkan Ahok ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pertama,
Kepgub DKI No.2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi
Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Kedua, Kepgub DKI No.2268 Tahun 2015
tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta
Propertindo. Ketiga, Kepgub DKI No.2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin
Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci. Dan keempat,
Kepgub No.2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K
Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.
Empat izin
tersebut menekankan pada substansi bahwa Ahok telah memberikan izin pelaksanaan
bagi pulau-pulau di Teluk Jakarta seluas 700 hektar untuk melakukan reklamasi,
yaitu pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir dengan mengubah garis pantai
dan kontur kedalaman perairan.
Keluarnya izin
pelaksanaan reklamasi ini telah menabrak aturan-aturan hukum yang ada di tanah
air. Yang pertama adalah UU no.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan Ibukota DKI Jakarta adalah Kawasan
Strategis Nasional (KSN), termasuk yang berada di Teluk Jakarta.
Konsekuensinya, kewenangan atas tanah di Teluk Jakarta adalah milik pemerintah
pusat. Termasuk didalamnya adalah kewenangan DPR-RI melalui keputusan Komisi IV
DPR-RI dalam rapat dengan pemerintah pusat pada bulan April 2016, yang
memutuskan moratorium (penundaan) proyek reklamasi Teluk Jakarta.
UU no.1 tahun
2014 juga mengamanahkan bahwa pelaksanaan reklamasi mensyaratkan adanya Izin
Pengusahaan Pengelolaan Pesisir (IP3) dan Rencana Zonasi. Apa yang dilakukan
oleh Ahok adalah mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi tanpa persetujuan
rencana Zonasi. Bahkan penerbitan izin pelaksanaan reklamasi pulau G kepada
PT.Muara Wisesa Samudra dilakukan Ahok sebelum Pemprov DKI Jakarta mengajukan
Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. (Izin reklamasi
pulau G pada tanggal 23 Desember 2014, sedangkan Pemprov DKI Jakarta mengajukan
Raperda Rencana Zonasi pada 2 Maret 2015).
Demikian juga
dengan penerbitan izin reklamasi pulau F, I dan K. Ahok mengeluarkan izin
reklamasi pulau F dan I pada 22 Oktober 2015, dan izin reklamasi pulau K pada
17 November 2015, dimana semua izin tersebut, diterbitkan sebelum Raperda
Rencana Zonasi disahkan dalam rapat paripurna DPRD DKI Jakarta.
Aturan
undang-undang yang juga ditabrak Ahok adalah UU no.32 tahun 2009, yang
menyebutkan penerbitan izin reklamasi harus melalui tahapan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat 2, UU No. 32 Tahun 2009, KLHS
wajib dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau
program yang berpotensi menimbulkan dampak atau resiko lingkungan hidup. Izin
pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Ahok mengabaikan penyusunan KLHS ini.
Peraturan
Pemerintah (PP) no. 27 Tahun 2007 juga dilanggar. dimana perizinan lingkungan
hidup harus menyertakan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin
Lingkungan, dan dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Serta
Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup no. 05 Tahun 2012, yang menyatakan
bahwa jika luas lahan reklamasi lebih dari 25 hektar maka harus dilakukan AMDAL
terpadu, yaitu mencakup daerah di sekitar Teluk Jakarta, termasuk di Provinsi
Banten dan Jawa Barat. Namun Ahok hanya melakukan kajian AMDAL parsial (per
pulau) bukan regional (kawasan), padahal luas proyek reklamasi pulau-pulau di
Teluk Jakarta ini diperkirakan mencapai 700 hektar.
Akibat
persyaratan AMDAL ini tidak sesuai ketentuan, maka aturan hukum lainnya pun
dilanggar, yaitu Peraturan Menteri PU No. 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai, serta Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan Kegiatan yang
Wajib Memiliki AMDAL, dimana dalam peraturan ini, disebutkan bahwa reklamasi
pantai yang memiliki skala besar atau yang mengalami perubahan bentang alam
secara signifikan, wajib menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan.
Penyusunan RDTR
kawasan tersebut dapat dilakukan jika sudah memenuhi persyaratan administratif,
yaitu studi AMDAL sebagaimana Permen Lingkungan Hidup yang mensyaratkan AMDAL
terpadu, bukan AMDAL parsial.
Berbagai dugaan
pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam kasus penerbitan izin reklamasi
Teluk Jakarta, seharusnya membuat aparat penegak hukum baik Kejaksaan Agung,
KPK ataupun Polri tertantang untuk membuktikan peran dan fungsinya. Tidak perlu
menunggu desakan aksi massa besar-besaran lagi untuk memaksa aparat hukum
bekerja maksimal, karena tentu resiko dan biaya yang ditanggung akan sangat
besar. #
No comments:
Post a Comment