Sunday, December 04, 2016

Soal Reklamasi, Aparat Hukum juga Harus Seret Ahok ke Pengadilan

Carut marut penegakan hukum di Indonesia nampaknya sedikit terobati dengan ketegasan Kepolisian RI menetapkan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama. Meski belum terbukti apakah penegak hukum akan konsisten dalam proses penyidikan hingga pengadilan, namun langkah-langkah berani Bareskrim Polri patut diapresiasi. Proses penegakan hukum yang sangat berliku dalam kasus penistaan agama ini menyisakan tanda tanya besar, apakah selama ini pengawalan undang-undang sudah ditegakkan secara serius oleh aparat penegak hukum atau haruskah menunggu desakan publik yang massif dan mengancam sebagaimana kronologi yang terjadi dalam kasus penistaan agama ini.

Kasus reklamasi Teluk Jakarta, sudah jauh-jauh hari mencuat dalam perbincangan publik. Bila dirunut lebih detail, dugaan pelanggaran undang-undang juga mudah dilacak oleh aparat penegak hukum. Tak jauh berbeda caranya dengan menelisik dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Ahok dalam kasus penistaan agama.

Yang sedikit berbeda hanyalah aspirasi yang datang dari masyarakat memang tidak seluas aksi massa yang dilakukan dalam kasus penistaan agama. Seharusnya kerisauan masyarakat yang berlawanan dengan kebijakan reklamasi Gubernur DKI Jakarta non aktif tersebut, perlu diakomodir, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan penegakan hukum dan perundang-undangan yang obyektif seperti yang didengung-dengungkan oleh Kapolri dalam berbagai forum. Apalagi dalam kasus proyek reklamasi ini, PTUN telah mengeluarkan putusannya pada Mei 2016, no.193/G/LH/2015 yang memenangkan gugatan para nelayan untuk menghentikan reklamasi, khususnya Pulau G.

Dalam konteks hukum, keluarnya putusan PTUN tersebut membuat proyek reklamasi yang izinnya diterbitkan oleh Ahok menjadi cacat hukum. Ada 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Ahok ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pertama, Kepgub DKI No.2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Kedua, Kepgub DKI No.2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo. Ketiga, Kepgub DKI No.2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci. Dan keempat, Kepgub No.2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.

Empat izin tersebut menekankan pada substansi bahwa Ahok telah memberikan izin pelaksanaan bagi pulau-pulau di Teluk Jakarta seluas 700 hektar untuk melakukan reklamasi, yaitu pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir dengan mengubah garis pantai dan kontur kedalaman perairan.

Keluarnya izin pelaksanaan reklamasi ini telah menabrak aturan-aturan hukum yang ada di tanah air. Yang pertama adalah UU no.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan Ibukota DKI Jakarta adalah Kawasan Strategis Nasional (KSN), termasuk yang berada di Teluk Jakarta. Konsekuensinya, kewenangan atas tanah di Teluk Jakarta adalah milik pemerintah pusat. Termasuk didalamnya adalah kewenangan DPR-RI melalui keputusan Komisi IV DPR-RI dalam rapat dengan pemerintah pusat pada bulan April 2016, yang memutuskan moratorium (penundaan) proyek reklamasi Teluk Jakarta.

UU no.1 tahun 2014 juga mengamanahkan bahwa pelaksanaan reklamasi mensyaratkan adanya Izin Pengusahaan Pengelolaan Pesisir (IP3) dan Rencana Zonasi. Apa yang dilakukan oleh Ahok adalah mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi tanpa persetujuan rencana Zonasi. Bahkan penerbitan izin pelaksanaan reklamasi pulau G kepada PT.Muara Wisesa Samudra dilakukan Ahok sebelum Pemprov DKI Jakarta mengajukan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. (Izin reklamasi pulau G pada tanggal 23 Desember 2014, sedangkan Pemprov DKI Jakarta mengajukan Raperda Rencana Zonasi pada 2 Maret 2015).

Demikian juga dengan penerbitan izin reklamasi pulau F, I dan K. Ahok mengeluarkan izin reklamasi pulau F dan I pada 22 Oktober 2015, dan izin reklamasi pulau K pada 17 November 2015, dimana semua izin tersebut, diterbitkan sebelum Raperda Rencana Zonasi disahkan dalam rapat paripurna DPRD DKI Jakarta.

Aturan undang-undang yang juga ditabrak Ahok adalah UU no.32 tahun 2009, yang menyebutkan penerbitan izin reklamasi harus melalui tahapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat 2, UU No. 32 Tahun 2009, KLHS wajib dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak atau resiko lingkungan hidup. Izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Ahok mengabaikan penyusunan KLHS ini.

Peraturan Pemerintah (PP) no. 27 Tahun 2007 juga dilanggar. dimana perizinan lingkungan hidup harus menyertakan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan, dan dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Serta Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup no. 05 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa jika luas lahan reklamasi lebih dari 25 hektar maka harus dilakukan AMDAL terpadu, yaitu mencakup daerah di sekitar Teluk Jakarta, termasuk di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Namun Ahok hanya melakukan kajian AMDAL parsial (per pulau) bukan regional (kawasan), padahal luas proyek reklamasi pulau-pulau di Teluk Jakarta ini diperkirakan mencapai 700 hektar.

Akibat persyaratan AMDAL ini tidak sesuai ketentuan, maka aturan hukum lainnya pun dilanggar, yaitu Peraturan Menteri PU No. 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL, dimana dalam peraturan ini, disebutkan bahwa reklamasi pantai yang memiliki skala besar atau yang mengalami perubahan bentang alam secara signifikan, wajib menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan.

Penyusunan RDTR kawasan tersebut dapat dilakukan jika sudah memenuhi persyaratan administratif, yaitu studi AMDAL sebagaimana Permen Lingkungan Hidup yang mensyaratkan AMDAL terpadu, bukan AMDAL parsial.

Berbagai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam kasus penerbitan izin reklamasi Teluk Jakarta, seharusnya membuat aparat penegak hukum baik Kejaksaan Agung, KPK ataupun Polri tertantang untuk membuktikan peran dan fungsinya. Tidak perlu menunggu desakan aksi massa besar-besaran lagi untuk memaksa aparat hukum bekerja maksimal, karena tentu resiko dan biaya yang ditanggung akan sangat besar. #

No comments: