Pengalokasian dana desa 1 miliar
per desa yang dijadikan slogan kampanye Presiden Joko Widodo, perlahan-lahan
mulai dikucurkan. Dana yang bersumber dari APBN itu telah memiliki aturan hukum
yang lengkap mulai dari Undang-undang hingga Peraturan Menteri. UU no.6 tahun
2014 tentang Desa telah menetapkan arah pembangunan desa, diantaranya penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar serta pembangunan sarana dan
prasarana desa.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
no.247 tahun 2015 pasal 2 sampai 10 telah mengalokasikan dana desa yang
bersumber dari APBN 2015 adalah sebesar Rp.565,6 juta per desa. Meski belum
sesuai dengan besaran janji kampanye Rp.1 miliar per desa, beberapa catatan
terkait pergerakan indikator perekonomian Indonesia menarik untuk dikaji.
Berdasarkan
data Kemendagri, 2015, jumlah desa saat ini mencapai 74.754 desa, dan
diperkirakan jumlah itu akan terus bertambah sejalan dengan aspirasi masyarakat
desa (sudah ada permintaan dari daerah sebanyak 1800 yang belum disetujui
Kementerian Keuangan). Dari sejumlah desa tersebut, ada beberapa desa yang
disebut tertinggal. Pulau Papua memiliki jumlah terbanyak untuk kategori desa
tertinggal, dari 5.204 desa ada 4.049 desa tertinggal (77,81%), Maluku dari
1.958 desa ada 833 desa tertinggal (42,54%), Sumatera dari 22.056 desa ada
8.241 desa tertinggal (37,36%), Kalimantan dari 6.382 desa ada 1.702 desa
tertinggal (26,67%), Sulawesi dari 8.233 desa ada 1.213 desa tertinggal
(14,73%), Nusa Tenggara dan Bali dari 3.599 desa ada 424 desa tertinggal
(11,78%), sedangkan di Jawa dari 22.458 desa masih ada 806 desa tertinggal
(3,59%).
Menghadapi
permasalahan desa tertinggal ini, Kementerian Desa telah menggulirkan 9 program
prioritas, yaitu.
1. Peluncuran
gerakan desa mandiri di 3.500 desa.
2. Pendampingan dan
penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur 3.500 pada desa
3. Pembentukan dan
pengembangan 5.000 BUMDES (Badan Usaha Milik Desa)
4. Melakukan
revitalisasi pasar desa di 5.000 desa atau kawasan pedesaan.
5. Pembangunan
infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 3.500 desa
mandiri.
6. Penyiapan
implementasi penyaluran dana desa Rp.1,4 miliar per desa secara bertahap.
7. Penyaluran modal
bagi koperasi atau UMKM di 5.000 desa.
8. Pilot project
sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di 3.500 desa.
9. Desa perbatasan
dan pulau-pulau terdepan, terluar dan terpencil menjadi prioritas kementerian
PDT dan Transmigrasi.
Program-program
itu diharapkan dapat mengatasi kesenjangan ekonomi yang beberapa tahun terakhir
semakin melebar, yang diukur dari indeks gini atau gini ratio. Kesenjangan yang
dimaksud disini adalah ketimpangan distribusi pendapatan nasional, atau dengan
bahasa yang lebih sederhana, jurang perbedaan antara si kaya dengan si miskin.
Rasio
gini sepanjang tahun 2009 - 2013 (sebelum alokasi dana desa sebagaimana UU no.6
tahun 2014) terus mengalami peningkatan, dari 0,37 hingga 0,41. Rasio gini yang
semakin tinggi menunjukan jurang perbedaan si kaya dengan si miskin semakin
lebar, distribusi pendapatan semakin timpang. Rentang gini ratio adalah nol
(merata sempurna) hingga 1 (timpang sempurna). Program dan Kebijakan yang
digulirkan saat itu (masa pemerintahan SBY) belum menyentuh akar permasalahan
untuk mengatasi ketimpangan. Padahal sepanjang tahun 2009 - 2013 tersebut
anggaran kesehatan, perumahan rakyat dan perlindungan sosial terus meningkat.
Anggaran pendidikan bahkan dipatok 20% dari belanja APBN. Untuk membentengi
masyarakat miskin ada dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun kenyataannya
ketimpangan justru membesar.
Sebuah
penelitian di Universitas Indonesia (UI) menyebutkan bahwa belanja pendidikan
dan perlindungan sosial justru berkorelasi positif atau searah dengan
ketimpangan distribusi pendapatan. Artinya kenaikan belanja pendidikan dan
perlindungan sosial justru meningkatkan indeks gini. Hal ini diduga penyebabnya
adalah sebagian besar anggarannya habis digunakan untuk keperluan belanja
administrasi dan birokrasi, dengan kata lain belanja pegawai dan barang.
Sedangkan anggaran kesehatan meski dapat mengurangi ketimpangan, namun tidak
signifikan. Hanya anggaran perumahan yang menunjukan signifikansi perubahan
ketimpangan ke arah yang lebih baik Kenaikan anggaran perumahan dapat mengurangi
indeks gini. (Nopiyantoro, UI, 2014).
Penelitian
tersebut juga menunjukan meningkatnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)
jutsru mendorong peningkatan indeks gini. Ini menegaskan adanya trade-off
(imbang korban) antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan. Bila pertumbuhan
ekonomi meningkat, sangat dimungkinkan peningkatan itu hanya dinikmati
segelintir elit saja (hanya dinikmati kelompok menengah keatas). Akibatnya si
miskin semakin melarat, yang ditandai meningkatnya indeks gini. Pertumbuhan ekonomi
penting ditingkatkan, tapi indeks gini juga penting diturunkan, seolah-olah
Presiden harus memilih mana yang lebih prioritas.
Realitas
menarik terjadi setelah dana desa mulai dikucurkan sejak tahun 2015.
Sebagaimana diketahui, pada tahun
2015, dana desa yang dialokasikan di Anggaran Pemerintah Belanja Negara
Perubahan (APBN-P 2015) sebesar Rp 20,7 triliun yang dibagikan dalam 3 tahap,
yaitu pada bulan April 2015, Agustus 2015, dan Oktober 2015. Setiap desa
menerima dana desa sebesar Rp.270 juta. Sedangkan di tahun 2016 ini
dialokasikan Rp.46,9 triliun, atau Rp.565,6 juta per desa. Setelah pencairan
dana desa ini, Badan
Pusat Statistik (BPS) merilis data indeks gini pada Maret 2016 turun menjadi
0,39 (turun dibanding tahun 2013, yaitu 0,41). Penurunan gini ratio menjadi di
bawah 0,4 membuat tingkat kesenjangan di Indonesia kembali dalam kategori
rendah.
Memang masih terlalu prematur untuk
menyebutkan keberhasilan program dana desa, namun tanda-tanda perbaikan
kesenjangan semakin terlihat dengan melihat indikator perkonomian yang lain.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan terus menurun. Bila sesuai dengan kaidah
adanya trade-off antara indeks gini dengan pertumbuhan (sebagaimana hasil
penelitian diatas), maka arah kebijakan pembangunan desa melalui program dana
desa ini dapat diandalkan. Dengan tetap menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui
instrument kebijakan lain.
Pengucuran dana
desa ternyata tidak begitu mulus. Banyak kendala yang dihadapi. Kendala yang
paling mencuat terkait kecakapan dan pemahaman kepala desa termasuk perangkat
desa dalam mengelola keuangan sesuai aturan perundang-undangan. Ditambah lagi
dengan lambatnya penerbitan petunjuk
teknis pelaksanaan keuangan desa, serta potensi tumpang tindih kewenangan
Kementerian Desa dengan Direktorat Jenderal Bina Pemerintah Desa Kementerian
Dalam Negeri.
Dengan tingkat pendidikan dan daya tangkap Kepala Desa yang berbeda-beda,
penyimpangan sangat mungkin terjadi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan telah memberikan
warning akan terbukanya celah terjadinya tindak pidana korupsi dalam
pengelolaan dana desa. Peringatan ini terkait dengan sejumlah persoalan yang
perlu segera dijawab. Apakah APBDesa yang disusun sudah menggambarkan kebutuhan
yang diperlukan desa dengan satuan harga baku barang atau jasa yang mengacu
pada aturan penyusunan APBDesa. Apakah laporan pertanggungjawaban yang dibuat
desa sudah mengikuti standar dan tidak rawan dimanipulasi. Bagaimana
efektifitas pengawasan inspektorat daerah terhadap pengelolaan keuangan desa,
termasuk mekanisme saluran pengaduan masyarakat.
Ketika solusi yang diambil adalah mengirim tenaga pendamping
dana desa, disini justru muncul persoalan baru. Tenaga pendamping dana desa
dapat berpotensi melakukan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya aparat desa.
Sejumlah kebijakan untuk mengatasi persoalan ini dapat kita lihat
efektifitasnya dalam beberapa tahun mendatang, apakah dana desa ini benar-benar
dapat diandalkan untuk mengatasi kesenjangan, atau justru memindahkan pintu
korupsi dari pejabat elit nasional kepada kepala desa dan aparat desa. #
No comments:
Post a Comment