Drama politik
teka-teki siapa Menteri ESDM definitif akhirnya terjawab sudah. Setelah
terkatung-katung selama kurang lebih 2 bulan dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt)
Luhut Binsar Panjaitan (LBP), akhirnya Presiden RI Joko Widodo menunjuk
Ignatius Jonan sebagai Menteri ESDM dan Arcandra Tahar sebagai Wakil Menteri
ESDM. Terlepas dari mengapa harus dua sosok tersebut, keputusan Presiden
menetapkan Menteri ESDM definitif ini patut diapresiasi.
Bulan Agustus
lalu, tepatnya tanggal 16 Agustus 2016, Presiden Jokowi memberhentikan Arcandra
Tahar sebagai menteri ESDM, karena Arcandra memiliki dua kewarganegaraan.
Pemberhentian ini terjadi hanya 20 hari setelah Arcandra dilantik. Jabatan
Menteri ESDM pun diisi oleh LBP sebagai Plt yang juga Menko Kemaritiman. Selama
menjabat Plt Menteri ESDM, LBP telah mengambil beberapa kebijakan strategis,
diantaranya membubarkan unit-unit ad hoc khusus di kementerian ESDM, yaitu Tim
Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (P2EBT) yang dipimpin Willy
Syahbandar, Unit Pelaksanaan Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional
(UP3KN) yang dipimpin Nur Pamudji, dan Komite Eksplorasi Nasional (KEN) yang
diketuai Andang Bachtiar
Posisi Menteri
ESDM sangat strategis karena menyangkut hajat hidup rakyat dan kekayaan alam
Indonesia yang bernilai ratusan ribu triliun. Bukan sekedar 1-2 triliun saja.
Angka ini bisa kita dapatkan dari perhitungan cadangan kekayaan alam di tanah
air. Untuk satu blok Migas saja, misalnya Blok Mahakam di Kalimantan Timur,
terdapat potensi Gas sebanyak 12,7 Triliun Cubic Feet (TCF) dan Minyak sebesar
1,05 Miliar Barrel. Cadangan Gas dan Minyak ini bila dikonversi ke rupiah
adalah Rp.1300 Triliun. Ini baru dari satu blok Migas saja, belum blok Migas
lainnya, dan belum termasuk Wilayah Kerja (WK) mineral, batubara dan panas
bumi. Itulah mengapa banyak orang bilang tandatangan seorang Menteri ESDM
nilainya bisa milyaran dan triliunan. Bancakan, perburuan rente, mafia, atau
apapun namanya, tentu berkeliaran disekitarnya.
Kewenangan
Menteri ESDM diatas diatur dengan kuat oleh aturan hukum baik undang-undang,
Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Menteri. Berkaitan dengan lelang Wilayah
Kerja (WK) misalnya, baik UU, PP dan Permen menyebutkan peran Menteri ESDM sangat
strategis, yaitu menawarkan dan menetapkan WK. Hal ini dapat dilihat dalam UU
No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pasal 12 ayat 1, yang menyebutkan
bahwa WK yang ditawarkan kepada Badan Usaha ditetapkan oleh Menteri setelah
berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah. Dalam ayat 3 lebih diperkuat lagi bahwa
Menteri menetapkan Badan Usaha yang diberi kewenangan melakukan eksplorasi dan
eksploitasi.
Aturan ini
diperkuat lagi oleh PP No.35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas,
bahwa Menteri (yang bertugas di bidang Minyak dan Gas Bumi) menetapkan WK yang
akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap (Pasal 2 ayat 2). Dalam
Permen ESDM, penawaran langsung juga dapat dilakukan Menteri. Permen ESDM No.40
tahun 2006 tentang Penetapan dan Penawaran WK Migas, pasal 8 ayat 1 menyebutkan
Menteri ESDM dapat menawarkan WK baik melalui Lelang maupun Penawaran Langsung.
Dengan
kewenangan sebesar itu, tentu harapan besar ada dipundak Menteri ESDM yang baru.
Apalagi mengingat banyak blok Migas besar akan berakhir masa kontraknya ditahun
2017 hingga 2019 ini.
Semua blok Migas
itu sudah harus segera disetujui siapa “pemiliknya.” Persetujuan harus
dilakukan paling lambat tahun depan (2017). Sebutlah blok Migas yang akan
berakhir tahun 2018, seperti blok South East Sumatera (SES) yang saat ini
dikelola CNOOC (Tiongkok), atau blok Tuban yang dikuasai Petrochina, blok
Sanga-sanga, East Kalimantan dan lain sebagainya. Itu baru blok Migas. Utuk
Wilayah Kerja Panas Bumi, Pemerintah tahun ini akan melelang delapan WK Panas
Bumi. Semuanya tentu ada di pundak Menteri ESDM baru.
Pertaruhan terbesar
bagi Menteri ESDM yang baru dilantik ini adalah perkembangan pembangunan
smelter untuk pemurnian mineral, sebagaimana amanah UU No.4 tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara (Minerba). Proses hilirisasi ini terancam gagal karena
banyak perusahaan yang belum membangun smelter. Ini terjadi karena UU Minerba meski
telah diundangkan sejak tahun 2009, namun peraturan turunannya (termasuk
Peraturan Menteri ESDM) baru dibuat tahun 2014 sehingga tidak tersedia waktu
yang cukup untuk membangun smelter. Ditambah kondisi perekonomian dunia di mana
harga komoditas turun sehingga kegiatan investasi menurun. Atas dasar ini, pemerintah
memberi kelonggaran kepada perusahaan besar seperti Freeport dengan kebijakan perpanjangan
izin ekspor mineral mentah.
Relaksasi kelonggaran
ini berpotensi merugikan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) yang ada
di Indonesia karena pasokan bahan baku mineral mentah yang dibutuhkan mereka
akan berkurang. Kelonggaran ini juga memberi sinyal buruk bagi investor yang
sudah terlanjur menanam modalnya untuk pembangunan smelter di Indonesia.
Industri smelter di dalam negeri sampai September 2016 sudah melakukan
investasi sebanyak US$ 12 miliar atau sebesar Rp 156,8 triliun.
Sejak tahun
2009, atau sejak UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba disahkan, yang
mengamanahkan pembangunan pabrik pemurnian bahan mentah di dalam negeri,
Freeport tak kunjung mengimplementasikannya. Bahkan hingga tenggat waktu
dilarangnya ekspor mineral mentah yaitu bulan Januari 2014, Freeport justru
mendapatkan keistimewaan dari Menteri ESDM dengan keluarnya Peraturan Menteri
ESDM yang tetap mengizinkan Freeport mengekspor kekayaan alam yang dikeruk dari
bumi Papua. Seolah terjadi pembiaran, saat Menteri ESDM dijabat Arcandra Tahar,
meski hanya 20 hari, tapi waktu yang sempit itu pun dimanfaatkan untuk
mengeluarkan kebijakan kontroversial tersebut, izin ekspor mineral mentah
kembali diperpanjang untuk Freeport.
Di bidang
Legislasi, ada 2 RUU krusial yang masuk Program Legislasi Nasional, yaitu RUU
Migas dan RUU Minerba. Bersama DPR-RI, Menteri ESDM harus segera menuntaskan
karut-marut urusan Minerba khususnya seputar permasalahan smelter, dengan
payung hukum yang lebih tegas. Sedangkan RUU Migas sedikit lebih progressif. Meski
sudah terkatung-katung sejak periode pemerintahan SBY, RUU Migas sudah memasuki
tahap pembahasan di Komisi VII DPR-RI, dimana beberapa pasal sudah disetujui.
Pasal yang masih ditunda dan memang seolah dibiarkan terbuka adalah tentang
pemegang kuasa pertambangan, apakah akan diserahkan ke Pertamina atau dibentuk
BUMN khusus. Lagi-lagi, perburuan rente, bancakan dan para mafia akan tancap
gas penuh di pasal ini.
Ignatius Jonan,
memang bukan orang baru dalam kabinet pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kala. Namun
Jonan termasuk orang baru dalam Industri Minyak dan Gas Bumi. Setidaknya ini
untuk kedua kalinya Jonan diangkat sebagai pejabat publik yang bukan bidang
karirnya, setelah yang pertama ketika dia diangkat sebagai Direktur Utama PT.
Kereta Api Indonesia padahal belum pernah berkecimpung di bisnis transportasi.
Pengalamannya adalah di dunia Perbankan selama kurang lebih 9 tahun. Tentu
sah-sah saja bila ada orang bilang Kementerian Perhubungan tak seganas
Kementerian ESDM, demikian pun bila publik mencela “Kok orang yang sudah kena
reshuffle bisa masuk lagi ke kabinet,” tapi lebih elegan bila kita tunggu saja
bagaimana sepak terjang duet Ignatius Jonan dan Arcandra Tahar, semoga tetap menyisakan
harapan, untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia .#
No comments:
Post a Comment