Pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla tepat berusia 2 tahun pada tanggal 20 Oktober 2016, berbagai
kebijakan telah dikeluarkan, beberapa perubahan telah terjadi. Yang menjadi
perhatian, apakah kebijakan-kebijakan itu membawa perubahan positif bagi
kesejahteraan rakyat, dan sejauh apa perubahan tersebut signifikan dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa.
Di sektor industri,
terjadi perlambatan pertumbuhan pada industri pengolahan. Indeks manufaktur
pada kuartal III/2016 berdasarkan nilai Prompt Manufacturing Index (PMI)
diketahui mengalami degradasi menjadi 48,74 persen, turun dari kuartal
sebelumnya sebesar 52,38 persen. Survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa
kinerja industri pengolahan meski tetap tumbuh, namun terindikasi melambat
dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) sebesar 1,09 persen atau lebih rendah dari
kuartal sebelumnya sebesar 3,41 persen.
Pertumbuhan industri
pengolahan non migas juga semakin mengkhawatirkan. Pada kuartal I/2016
pertumbuhannya hanya mencapai 4,46%, atau lebih rendah dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 2015 yang angkanya sebesar 5,26%. Performa negatif
industri pengolahan disebabkan oleh kontraksi pada hampir seluruh komponen,
terutama indeks volume pesanan dan indeks jumlah tenaga kerja yang tercatat
masing-masing sebesar 47,01 persen.
Upaya untuk
meningkatkan kinerja industri terus dilakukan, diantaranya dengan mengeluarkan
paket-paket kebijakan ekonomi. Namun terobosan yang dilakukan belum menyentuh
akar permasalahan, beberapa paket kebijakan deregulasi justru menuai
pro-kontra. Salah satu yang mencuat adalah kebijakan terkait relaksasi (pelonggaran)
peredaran minuman beralkohol, Aturan ini sempat masuk dalam paket deregulasi dalam
rangka meningkatkan daya beli masyarakat, daya saing industri serta investasi
di tengah kelesuan ekonomi.
Marak diberitakan akan
direvisi Peraturan Menteri Perdagangan No.6
tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran,
dan Penjualan Minuman Beralkohol, yang melarang minimarket dan toko ritel untuk
menjual minuman beralkohol (Minol) golongan A atau berkadar alkohol 5%. Permendag
yang hadir untuk melindungi konsumen nasional ini dianggap menghambat
perkembangan industri minuman beralkohol. Meski akhirnya ditunda, namun gagasan
mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan daya beli minuman beralkohol,
dapat mengorbankan masa depan anak dan remaja Indonesia. Pada tahun 2014 saja,
sudah 14,4 juta remaja Indonesia mengkonsumsi minuman beralhokol. Semua itu
terjadi karena miras diperjualbelikan secara bebas di toko ritel dan
minimarket.
Pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla melakukan berbagai perubahan di sektor pembangunan
infrastruktur. Perubahan yang paling signifikan terlihat dari pengalokasian
anggaran infrastruktur dalam APBN. Dibanding era pemerintahan SBY yang berakhir
tahun 2014, Jokowi memiliki keleluasaan anggaran infrastruktur yang cukup
fantantis, Rp.290,3 triliun atau 14,2% dari total belanja negara (naik Rp.178
triliun dibanding anggaran yang dikelola pemerintahan SBY diakhir masa
jabatannya, tahun 2014). Bahkan pada APBN 2016 dinaikkan lagi menjadi Rp.314
triliun atau 15,2% dari total belanja negara.
Anggaran infrastruktur
sebesar ini diperoleh karena kebijakan menghapus subsisi BBM jenis premium.
Anggaran subsidi BBM yang terus membengkak hingga mencapai lebih dari Rp.180
triliun dapat dialihkan untuk pos belanja yang lebih produktif. Posisi Jokowi
saat itu cukup diuntungkan, karena harga minyak dunia dan Indonesian Crude
Price (ICP) sangat jauh menurun akibat kondisi geopolitik internasional. Harga
BBM pun tidak perlu dinaikan, sehingga keresahan masyarakat dapat diredam.
Sayangnya, alokasi
anggaran infrastruktur yang besar itu tidak mengangkat kinerja pergerakan
logistik Indonesia. Efisiensi dan efektifitas pergerakan logistik Indonesia
justru merosot. Bank Dunia merilis Indeks Logistik Global atau Logistic
Performance Index (LPI) tahun 2016, Indonesia hanya menempati peringkat 63 dari
160 negara, dengan skor 2,98. Atau menurun 10 peringkat sepanjang 2 tahun
terakhir (di tahun 2014, Indonesia berada diperingkat 53 dengan skor mencapai
3,08).
LPI merupakan indeks
untuk mengukur dan menentukan kinerja efisiensi dan efektifitas pergerakan
logistik dan berhubungan dengan pelayanan pengiriman logistik (supply chain)
dan ekspor. Ukuran dan parameter penilaian LPI meliputi efisiensi pengurusan
bea dan cukai, kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi, kemudahan
mengatur pengiriman barang internasional dengan harga kompetitif, kompetensi
dan kualitas pelayanan logistik, kemampuan pelacakan dan penelusuran barang
serta ketepatan waktu pengiriman barang atau jasa. Dengan kata lain, LPI
menjadi salah satu indikator keberhasilan program pembangunan infrastruktur.
Peringkat daya saing
infrastruktur Indonesia juga terus terpuruk. World Economic Forum (WEF) 2016
merilis indeks daya saing infrastruktur Indonesia selama 2 tahun terakhir masih
berada di angka 4,2. Atau di bawah rata-rata indeks Asia Pasifik yang mencapai
4,8. Tahun 2016 ini Indonesia hanya menduduki peringkat ke-41 dari 138 negara,
turun empat tingkat dibandingkan tahun 2015. Jauh dibawah posisi Indonesia tahun
2014 yang ada di peringkat 34. Indonesia kalah dari negara di Asia Tenggara,
seperti Thailand di posisi ke-34, Malaysia ke-25 dan Singapura peringkat ke-2.
Keterpurukan ini
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan yang sangat
serius dan baru terjadi dalam 10 tahun terakhir. Tingkat pertumbuhan jauh dari
target yang ditetapkan dalam APBN 2015 dan 2016. Di tahun 2015, pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan mencapai 5,8% hanya terealisasi 4,7%, sedangkan di
tahun 2016 yang ditargetkan tumbuh 6,6%, Bank Dunia hanya memprediksi tumbuh
sekitar 5,1%.
Kenyataan ini kontras
karena infrastruktur seharusnya menjadi pemeran utama dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Publikasi World Bank, 1994). Pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi akan dijumpai pada wilayah dengan tingkat ketersediaan
infrastruktur yang mencukupi. Elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap
infrastruktur di suatu negara adalah 0,07-0,44. Artinya, kenaikan satu persen
ketersediaan infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai
dengan 44%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi didapatkan dari peningkatan
pertumbuhan PDB yang tinggi.
Efek multiplier yang
diharapkan tidak terjadi. Pembangunan infrastruktur yang alokasi anggarannya di
masa pemerintahan Jokowi ini sudah sangat besar, ternyata tidak berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini anomali dalam perubahan pergerakan angka
indikator perekonomian, dan menjadi tantangan dalam 3 tahun kedepan masa
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Kredibilitas dan kapasitas kabinet diuji. Formula
Kebijakan yang efektif perlu disegerakan tanpa mengorbankan masa depan generasi
bangsa.#
No comments:
Post a Comment