Holdingisasi BUMN, untuk menggabungkan
dan mengkonsolidasikan BUMN adalah kebijakan bagus supaya BUMN lebih kuat
secara aset, keuangan dan seterusnya. Agar BUMN kita masuk Fortune, dan menjadi
BUMN maju juga adalah harapan bagi rakyat. Apalagi saat ini hanya 1 BUMN kita
yang masuk Fortune 500. Namun perlu diingat BUMN bukan hanya bussines core, tapi
diamanahkan juga untuk Pelayanan Publik (ini diatur dalam UU). Untuk apa
memiliki BUMN yang hebat secara bisnis tapi hanya dinikmati segelintir elit,
sementara banyak persoalan pelayanan publik yang luput dari perhatian.
Hanya Gagah-gagahan tapi rakyat
kecil tak mendapatkan haknya.
Persoalan kebijakan Holding yang
banyak dikritisi publik adalah holding pertambangan, ini akibat keluarnya PP No.47/2017
yang sangat riskan terhadap terjualnya 3 BUMN (PT Timah, PT Antam dan PT Bukit
Asam) yang berubah status menjadi anak holding sehingga harus tunduk kepada UU
No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Disinilah kunci persoalannya. Peralihan
saham, perubahan Asset, dapat dilakukan tanpa pengawasan DPR, bahkan pemerintah
melalui menteri BUMNnya juga tidak dapat masuk mengawasi. Anak BUMN, maka
mayoritas sahamnya dikuasai oleh Induk BUMNnya, bukan lagi pemerintah. Maka
proses penjualan dan pelepasan saham dapat dilakukan kapan saja tanpa kontrol
pemerintah, DPR dan masyarakat. Bahkan, harga sahamnya tidak dapat dikontrol
publik karena tidak listed di bursa saham. Khusus untuk BUMN, konsep non listed
public company cukup menarik, agar publik dapat mengawasi BUMN, keuangan BUMN
juga akan transparan, tapi pada saat yang sama, sahamnya tidak dapat dijual
(mayoritas saham hanya milik negara).
Dengan konsep non listed company
ini, pemburu rente (yang memburu pundi-pundi politik untuk Pemilu dan Pilkada)
tidak dapat masuk bertransaksi karena pengawasannya sangat jelas dan terbuka.
Mengapa Holding perkebunan, pupuk
dan semen sejauh ini tidak masalah. Ini karena banyak kejanggalan dalam Holding
pertambangan ini, dimana Induk Holdingnya justru yang bergerak di smelter (PT.
Inalum), yang jadi anak perusahaan justru yang bergerak di pertambangan (PTBA,
Antam, Timah).
Itulah mengapa yang dipersoalkan
adalah munculnya PP No.72/2016 dan PP No.47/2017 itu, yang menegasikan fungsi
kontrol DPR (akibat perubahan posisi dari BUMN jadi anak Holding) sehingga out
of control DPR.
Adanya saham dwiwarna (yang
memberikan hak istimewa kepada pemerintah untuk menentukan direktur, komisaris
dan seterusnya di BUMN, meski hanya punya selembar saham) cukup melegakan bagi
Negara. Hanya saja, secara detail tidak pernah disebutkan dimana diatur saham
dwiwarna itu (juga tidak diatur dalam UU BUMN), klasifikasi saham hanya diatur
di UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, namun ini tidak disebut saham
dwiwarna, hanya disebut saham khusus.
Bila tidak diatur dalam payung hukum
yang kuat, maka saham dwiwarna dapat dikatakan hanya sebatas bussines
Agreement, cukup kesepakatan antara para pebisnis dan pemegang saham untuk
perubahan statusnya, yang suatu saat bisa di cabut tanpa mekanisme UU. #
No comments:
Post a Comment