Freeport. Nama perusahaan tambang
asal Amerika Serikat ini terus mencuat menjadi pembahasan di banyak media
massa. Mulai dari rencana penawaran sahamnya ke pemerintah Indonesia, berita
tentang harga sahamnya yang terjun bebas di bursa New York, hingga liputan
media Internasional tentang “kesialan” PT.Freeport akibat membeli perusahaan
minyak terbesar keempat di California, Plains Company dengan harga yang cukup
fantastis, sekitar Rp.200 triliun atau USD 16,3 miliar ditahun 2013, namun
kenyataannya sejak 2013 hingga sekarang, harga minyak dunia anjlok drastis
hingga mencapai titik paling nadir USD 30/Barrel.
Menunggu kematian Freeport. Tema ini
kemudian menjadi perbincangan hangat oleh banyak pengamat. Kondisi keuangan
Freeport dilaporkan sangat mengecewakan belakangan ini. Labanya terus memburuk.
Pada 2014 tinggal USD 482. Tahun 2015 dinyatakan rugi besar USD 1,8 miliar,
atau sekitar Rp 20 triliun. Raksasa tambang yang begitu perkasa di era
1900an ini sedang terkulai, tentu lebih berat mengangkatnya dibanding memapah
keledai atau kucing.
Ditengah kecamuk yang terus terjadi,
berbagai spekulasi dan penetrasi bisnis terus dilakukan oleh Freeport, salah
satunya adalah penawaran saham Freeport kepada pemerintah Indonesia, atau
desakan percepatan perpanjangan kontrak Freeport yang sebenarnya hanya boleh
dilakukan di tahun 2019 (2 tahun sebelum kontrak berakhir ditahun 2021).
Freeport sepertinya ingin mencari sebotol infus untuk memperpanjang nafasnya,
atau sebutir obat analgesik untuk sekedar mengatasi gejala-gejala penyakitnya.
Semua itu tergantung kerelaan hati pemerintah Indonesia apakah mau membeli
sahamnya dan memperpanjang kontraknya.
Bagi Indonesia, tentu tidak ada
urusan dengan sakaratul mautnya perusahaan yang telah meninggalkan limbah
tailing terbesar dan telah memiskinkan rakyat Papua puluhan tahun lamanya. Yang
perlu dipertimbangkan adalah bagaimana keberlangsungan pengelolaan sumber daya
alam di tanah Papua tersebut. Pilihanya hanya dua, ambil alih kontrak
pertambangannya, atau perpanjang lagi hingga 2041. Jangan sampai salah
perhitungan, supaya tidak terseok-seok sebagaimana kesialan Freeport mengambil alih
Plains Company tadi.
Dilema ini setidaknya akan
berlangsung dalam beberapa tahun kedepan, apakah pemerintah Indonesia akan
memperjanjang kontrak pertambangan Freeport atau tidak. Bila kontrak
diperpanjang, Freeport telah berkomitmen untuk membangun smelter di Indonesia, baik
di Gresik ataupun di Papua, meski ini seharusnya sudah dibangun Freeport paling
lambat Januari 2014 lalu sebagaimana amanah UU Minerba. Dititik ini Freeport
sesungguhnya telah melakukan pelanggaran Undang-undang karena tidak membangun
smelter sebagaimana deadline UU Minerba, namun sikap baik hati pemerintah
akhirnya melonggarkan peraturan yang telah dibuatnya. Meski demikian, bagi
Freeport sebagai pelaku bisnis tentu investasi jumbo seperti pembangunan
smelter tersebut haruslah dibarengi dengan kepastian akan kontrak pertambangan
yang panjang.
Sebaliknya, bila kontrak tidak
diperpanjang, Freeport bukan hanya tidak akan membangun smelter, bisa saja
sejak sekarang Freeport tidak akan lagi melakukan pemeliharaan tambang, cukup
dengan mengeruknya semaksimal mungkin hingga akhir masa kontraknya. Bila itu
terjadi, maka saat tambang itu dioperasikan oleh putera-puteri Indonesia, kondisinya
sudah tidak bagus lagi, alat-alat dan bangunan tambang termasuk teknologinya
tidak lagi ada disana, sehingga perlu dana puluhan triliun rupiah untuk
memperbaiki dan menghidupkannya.
Bila kontrak tidak diperpanjang, maka
Freeport akan 100 persen milik Indonesia, sehingga tidak lagi perlu mencari
uang sekarang ini untuk membeli saham Freeport yang sudah ditawarkan Rp.20
Triliun itu. Namun keputusan ini akan membuat kita berhadapan head-to-head
dengan Amerika Serikat. Jelas akan muncul “kebijakan khusus” dari Amerika
akibat keputusan pemeritah Indonesia ini. Bagaimana kita menghadapinya, dan
siapkah kita menanggungnya. Ini juga tergantung bagaimana kekuatan diplomasi
Kementerian Luar Negeri RI bila mengambil keputusan tidak memperpanjang kontrak
Freeport, seperti apa deal-dealnya, tentu harus dibuka ke publik.
Repot. Memang inilah yang pasti akan
kita tanggung bila ingin berubah. Perubahan memerlukan cost yang tidak murah,
sumber daya yang tidak sedikit, dan tentunya resiko yang besar dan perlu
pengorbanan (Asal jangan rakyat lagi yang jadi korbannya). Apalagi perubahan
pengelolaan sumber daya alam sebesar Freeport yang triliunan kekayaan alam
Indonesia ada disana, akan sangat merepotkan pikiran, tenaga dan waktu. Hmmm…..
Repotnya mengurus Freeport. #
No comments:
Post a Comment