Sepekan
belakangan ini wacana perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia terus menuai
pro-kontra. Perbedaan pandangan terjadi antara kepentingan kedaulatan Negara vs
kebutuhan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi ditengah melambatnya ekonomi
dunia. Bila kontrak Freeport diperpanjang, maka investasi jumbo sebesar US$ 18 miliar akan masuk ke Indonesia, produksi tambang emas
Grasberg akan stabil, dan PHK tidak akan terjadi.
Kecenderungan
ekonomi global yang mengarah pada minimalisir peran Negara dalam perekonomian
dan menggantinya dengan mekanisme pasar, menemui peluang yang besar saat ini
dengan terjadinya perlambatan ekonomi global, sehingga cara merangsang kegiatan
ekonomi adalah dengan melakukan efisiensi dengan pengelolaan swasta atau
privatisasi. Langkahnya adalah dengan penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO).
Rencana divestasi saham Freeport Indonesia melalui pasar bursa atau
initial public offering/IPO perlu disikapi secara serius oleh Komisi VI DPR-RI.
Hal ini disebabkan karena mekanisme penawaran saham perusahaan tambang asing
melalui IPO tidak diatur dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba). Peraturan turunan dibawahnya pun tidak ada yang mengatur
mekanisme IPO tersebut.
PT. Freeport Indonesia wajib melepas
sahamnya sebesar 30 persen karena memiliki kegiatan pertambangan yang dikategorikan
ke dalam tambang bawah tanah (underground mining), sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No.77/2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP
No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara. Freeport harus melepas sahamnya sebesar 20,64% (saat ini saham
pemerintah di Freeport baru 9,36%). Pelepasan saham ini dibagi dalam 2 tahap,
pada tahap pertama 10,64% lalu tahap kedua (5 tahun berikutnya) sebesar 10%.
Saham Freeport 20,64% ini berarti senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 54 triliun
dengan kurs Rp 13.500 per dolar AS.
Peraturan Pemerintah No.77/2014 tersebut menjadi fokus utama
yang akan ditarget Freeport untuk direvisi. Hal ini disebabkan dalam PP itu disebutkan,
saham divestasi Freeport pertama kali harus ditawarkan kepada pemerintah pusat,
pemprov, dan pemkab/pemkot. Kemudian ditawarkan kepada BUMN dan BUMD,
selanjutnya ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional. Jika pemerintah
pusat tidak berminat, saham Freeport ditawarkan ke pemda setempat. Namun, jika
pemda juga tidak berminat, saham ditawarkan ke BUMN dan BUMD. Bila BUMN dan
BUMD tetap tak berminat, saham akan ditawarkan kepada badan usaha swasta
nasional melalui mekanisme lelang. Dititik ini, muncul rencana Menteri ESDM yang akan menerbitkan Peraturan Menteri yang
membahas soal mekanisme divestasi saham perusahaan tambang dalam waktu dekat.
Berita
perpanjangan kontrak Freeport ini mencuat dimedia disebabkan oleh kondisi panik
akibat valuasi saham Freeport nilainya telah turun seperempat dalam beberapa
tahun terakhir, namun dengan rencana perpanjangan kontrak ini saham Freeport
naik kembali. Setelah pemberitaan perpanjangan Freeport ini ramai
diperbincangkan, pada hari senin (12/10) harga saham Freeport McMoRan Inc (FCX)
selaku pemegang mayoritas saham Freeport Indonesia melambung kembali ke angka
US$ 13,94 per saham, atau naik 40,6 persen dibandingkan posisi awal Oktober
2015 di angka US$ 9,91 per saham. Kesepakatan perpanjangan kontrak
Freeport hingga saat ini baru sebatas kesepakatan prinsip, belum diatur dalam
bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagaimana amanat UU, sehingga belum bisa
dikatakan berlaku efektif karena masih memungkinkan untuk dikoreksi.
Bila saham divestasinya lewat mekanisme
IPO, sangat dimungkinkan sahamnya diserap investor asing, karena sejauh ini
tidak banyak yang mengetahui kinerja dan keuangan Freeport sebagai acuan
penilaian prospek saham, termasuk bagaimana kinerja Freeport dalam penyelesaian
konflik di lokasi pertambangan. IPO
yang dilakukan beberapa BUMN belakangan ini tidak menemui harapan yang
menggembirakan, bukan saja tidak bisa mengembalikan kondisi perekonomian
sebagaimana yang diharapkan, malah sebaliknya, menjadi kekhawatiran banyak
pihak terhadap nasib bangsa dan rakyat Indonesia kedepan karena sumber daya
alam yang merupakan identitas Negara akan dikendalikan oleh pihak lain karena
mayoritas pemilik saham baru perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari luar
negeri.
Beberapa keuntungan dari IPO memang
layak dipertimbangkan, seperti perbaikan struktur pasar, transparansi
perusahaan dan peningkatan potensi pasar, sehingga publik bisa mengetahui
perkembangan perusahaan, siapa yang jual dan siapa yang beli, termasuk
bagaimana aksi korporasinya. Akan tetapi kerugian yang ditanggung pemerintah
Indonesia jauh lebih besar akibat kontrol dan kewenangan Negara terhadap
kekayaan sumber daya alamnya yang harus melewati mekanisme pasar yang
seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil, karena dengan IPO siapa saja bisa beli sahamnya termasuk orang
asing.
Perpanjangan
kontrak Freeport dapat saja dilakukan, namun pemerintah harus membuat roadmap
tahapan pengembalian kepemilikan Freeport ke pemerintah Indonesia, dengan
meningkatkan kemampuan SDM dalam negeri, alih teknologi dan membangun kesiapan
mengelola sumber daya alam di tanah air. Pengalihan saham Freeport perlu
melibatkan pemerintah daerah setempat, namun tidak membiarkan pemerintah daerah
menjalankan sendiri dengan alasan otonomi daerah, karena hal ini akan
menjadikan pemda hanya sebagai obyek Freeport dan investor asing atau swasta,
karena kekuatan finansial daerah yang sangat minim (belajar dari kasus
divestasi saham PT.Newmont Nusa Tenggara). #
No comments:
Post a Comment