Pada
pekan pertama Oktober 2015 ini, permasalahan industri gula nasional cukup
mengemuka di media. Program swasembada gula nasional yang dicanangkan masih
jauh dari target yang diharapkan. Defisit neraca
perdagangan gula terus memburuk hingga sekarang. Pada 2014, defisit 1,8 miliar
dolar AS, lebih tinggi dari 2013, yakni 1,7 dolar AS. Sedangkan di tahun
2015 ini, kuota impor masih cukup tinggi, yaitu sejumlah 3,12 juta ton gula
rafinasi. Masuknya impor gula sebesar itu dipandang
tidak pro petani, karena peruntukkannya bagi industri makanan dan minuman. Jika
memakai data AGI, maka mestinya impor hanya 1,4 - 1,7 juta ton, bukan 3,12 juta
ton sebagaimana data kebutuhan impor gula yang dirilis Kementerian Perdagangan.
Jadi, ada kelebihan sekitar 1,42 juta ton gula rafinasi. Besar kemungkinan
impor gula itu akan merusak harga gula di tingkat petani, karena terganggunya
sisi demand. Kebijakan tersebut juga
membuktikan tidak beresnya data neraca gula nasional akibat data yang tidak
valid. Kebijakan perdagangan gula
seharusnya terintegrasi dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
(RIPIN) 2015-2035 dan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) Jangka
Panjang 2015-2045.
Pekan
ini pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi tahap II, yang
berisikan kemudahan layanan investasi 3 jam, pengurusan Tax Allowance dan Tax
Holiday lebih cepat, pemerintah tak pungut PPN untuk alat transportasi,
insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan pajak
bunga deposito dan perampingan izin sektor kehutanan. Dibanding tahap I, paket
kebijakan ekonomi tahap II direspon pasar dengan cukup signifikan. Rupiah
menguat terhadap dolar AS hingga level Rp.14.000/US$, dibanding akhir September
2015 lalu setelah paket kebijakan tahap I dilluncurkan, dimana Rupiah justru
bertengger di titik terlemah Rp.14.695/US$. Namun kebijakan tahap II ini belum
teruji apakah dampaknya signifikan untuk mengurangi terjadinya PHK di sejumlah
industri. Hingga September 2015, PHK diberbagai provinsi di Indonesia sebanyak
79.425 orang, mayoritas dari industri garmen, sepatu, elektronik dan batubara.
Apakah kebijakan tahap II ini dapat menghadang laju PHK massal di kalangan
industri, tentu ini efek kebijakan ini perlu dilihat dalam beberapa bulan
kedepan, apalagi mengingat pemerintah juga akan meluncurkan paket kebijakan
ekonomi tahap III.
Di sektor UMKM, perkembangan program
Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang masih belum optimal. Meski sudah ada kebijakan
menurunkan suku bunga dari 22% menjadi 12% serta adanya subsidi suku bunga Rp.1
Triliun dari pemerintah, namun realisasi penyaluran dana KUR hingga 20
September 2015 masih Rp.4,02 Triliun dari target Rp.30 Triliun. Meski waktu
tinggal 3 bulan lagi, 9 Bank yang ditugaskan belum menyalurkan KUR secara
optimal. BRI, Bank Mandiri dan BNI masih terkendala distribusi ke daerah,
sedangkan 6 Bank Pembangunan Daerah (BPD) belum mendapat izin OJK. Untuk BPD,
kriteria tingkat NPL di bawah 5 persen dan harus mempunyai jaringan IT atau
online dengan perusahaan penjaminan juga diperkirakan akan menyulitkan proses
penyaluran KUR.
Peristiwa yang juga ramai
dibicarakan publik adalah kematian gajah yongki dan upaya penyelundupan kakatua
jambul kuning yang merupakan species yang jumlah populasinya lambat berkembang
di karenakan sifat burung yang setia (tidak mau berganti pasangan bila
pasangannya mati) dan hanya bertelur 1-2 telur per tahun. Kedua jenis hewan ini
baik gajah dan kakatua menjadi incaran para pemburu. Gajah akan di ambil
gadingnya sedangkan kakatua merupakan jenis yang eksotik dengan banyak peminat.
Begitupun banyak satwa lain yang menjadi buruan karena banyak satwa endemik
(khas Indonesia) yang di minati mafia satwa dunia Internasional. Bila dihitung
angka kerugiannya, memang nominalnya tidak akan terlalu besar, namun daya tarik
serta potensi keanekaragaman hayati bangsa perlu mendapat porsi yang adil dalam
upaya pelestarian dan perlindungan. Dua kejadian ini menimbulkan persepsi bahwa
UU no.5 Tahun 1990 tentang Konservasi tidak lagi relevan dalam menjawab
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu perlu diinisiasi
memasukan Revisi UU Konservasi ini kedalam prioritas prolegnas DPR-RI tahun
2016.
Hal
terakhir yang menarik diperbincangkan adalah implementasi amanat UU no.19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dimana salah satunya adalah
asuransi pertanian, yaitu perjanjian antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam
pertanggungan resiko usaha tani. Program asuransi
pertanian telah dilaksanakan oleh banyak negara maju seperti Amerika Serikat
(Tahun 1930-an), Eropa dan Jepang.
Amerika Serikat membiayai subsidi premi yang sangat tinggi, hingga US$
2,34 miliar, sedangkan Canada US$ 350 juta, dan negara-negara di Eropa US$ 600
juta. Namun
sosialisasi asuransi pertanian di kalangan petani perlu dilakukan dengan
hati-hati mengingat mayoritas petani di Indonesia berpendidikan rendah sehingga
berbagai program, prosedur dan ikatan perjanjian dengan sistem premi dan
mekanisme pembiayaannya perlu dipahami secara jernih dikalangan para petani
tersebut, agar tidak memunculkan konflik yang justru dapat merugikan petani itu
sendiri.#
No comments:
Post a Comment