Thursday, February 23, 2017

Freeport (Kembali) Bikin Repot

Tiba-tiba isu Freeport mencuat ditengah kemeriahan pesta demokrasi Pilkada serentak 2017. Ancaman Freeport akan membawa Indonesia ke pengadilan Arbitrase Internasional direspon pemerintah dengan kesiapan menggugat balik ancaman tersebut. 

Menarik, karena kasus-kasus Freeport bermunculan ditengah momentum penting yang terjadi ditanah air.

Salah satu momentum itu adalah peristiwa Bom Sarinah 14 Januari 2016 lalu. Saat itu Freeport sedang menghadapi deadline penawaran divestasi saham, yang batas waktunya sama dengan peristiwa peledakan, 14 Januari 2016. Sehari sebelum peristiwa peledakan, saham Freeport anjlok dari beli-buy menjadi simpan-hold (analisis Christopher La Femina kantor konsultan Jefferies). Itu bukan kali pertama. Pada 20-25 Januari 2015 saat Freeport menolak pembangunan smelter sebagaimana amanah UU no.4/2009 tentang Minerba, saat itu pula terjadi kegaduhan politik di level elit antara KPK dan Polri terkait penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh penyidik KPK.

Keberanian Freeport mengancam pemerintah lewat pengadilan Arbitrase menunjukan lemahnya aturan hukum perundang-undangan sektor Minerba. Dalam UU no.4/2009 tersebut dinyatakan bahwa yang wajib melakukan pengolahan dan pemurnian adalah IUP/IUPK. “Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri (Pasal 103 ayat 1).” Sedangkan sistem kontrak Freeport adalah kontrak karya, bukan IUP atau IUPK.

Hal ini ditambah lagi dengan pasal 169 ayat a dalam UU Minerba tersebut, yang menyebutkan “Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.”

Dengan 2 pasal diatas, sangat jelas bahwa posisi Indonesia sangat lemah sekali bila menghadapi pengadilan Arbitrase Internasional, dimana Kontrak Karya Freeport baru akan berakhir pada tahun 2021 mendatang. Dengan posisi yang lemah secara hukum, maka sangat janggal bila pemerintah Indonesia menyatakan siap menghadapi gugatan Freeport.

Dugaan adanya bekingan kuat yang mendorong kasus ini pun menyeruak. Apalagi kalau bukan pertarungan global Cina vs Amerika. Bukan sekedar wacana akademis road map mengubah Kontrak Karya Freeport menjadi IUP/IUPK, atau bagaimana menghentikan PP Relaksasi Eskpor Mineral, namun lebih dari itu bahwa modus penguasaan kekayaan alam dengan menghancurkan energy security sebuah bangsa, atau disebut perang asimetris, sudah sangat kental terasa.

Bagi Indonesia, kasus ini perlu dipertimbangkan dengan matang. Jangan karena terlalu bersemangat ingin mencontoh Negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela yang berhasil memenangkan arbitrase melawan Exxon Mobil, kemudian ini menjadi rujukan untuk melakukan tindakan yang sama.

Pemerintah perlu belajar dari peristiwa kekalahan Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC) dalam pengadilan Arbitrase Internasional pada Oktober 2006. Aibatnya, Dana milik Pertamina di Bank of America pun harus rela diambil oleh KBC untuk membayar ganti rugi US$ 261 Juta, atau senilai 3,1 Triliun Rupiah. Kini, triliunan rupiah tengah dipertaruhkan pemerintah ditengah kondisi perekonomian negara yang belum stabil. Semoga pemerintah cermat berhitung dalam menghadapi kasus ini. #

No comments: