Tiba-tiba
isu Freeport mencuat ditengah kemeriahan pesta demokrasi Pilkada serentak 2017.
Ancaman Freeport akan membawa Indonesia ke pengadilan Arbitrase Internasional
direspon pemerintah dengan kesiapan menggugat balik ancaman tersebut.
Menarik, karena kasus-kasus Freeport bermunculan ditengah momentum penting yang terjadi ditanah air.
Menarik, karena kasus-kasus Freeport bermunculan ditengah momentum penting yang terjadi ditanah air.
Salah
satu momentum itu adalah peristiwa Bom Sarinah 14 Januari 2016 lalu. Saat itu
Freeport sedang menghadapi deadline penawaran divestasi saham, yang batas
waktunya sama dengan peristiwa peledakan, 14 Januari 2016. Sehari sebelum
peristiwa peledakan, saham Freeport anjlok dari beli-buy menjadi simpan-hold (analisis
Christopher La Femina kantor konsultan Jefferies). Itu bukan kali pertama. Pada
20-25 Januari 2015 saat Freeport menolak pembangunan smelter sebagaimana amanah
UU no.4/2009 tentang Minerba, saat itu pula terjadi kegaduhan politik di level
elit antara KPK dan Polri terkait penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai
tersangka oleh penyidik KPK.
Keberanian
Freeport mengancam pemerintah lewat pengadilan Arbitrase menunjukan lemahnya
aturan hukum perundang-undangan sektor Minerba. Dalam UU no.4/2009 tersebut
dinyatakan bahwa yang wajib melakukan pengolahan dan pemurnian adalah IUP/IUPK.
“Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan
Khusus) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam
negeri (Pasal 103 ayat 1).” Sedangkan sistem kontrak Freeport adalah kontrak
karya, bukan IUP atau IUPK.
Hal ini ditambah lagi dengan pasal 169
ayat a dalam UU Minerba tersebut, yang menyebutkan “Kontrak Karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya
kontrak/perjanjian.”
Dengan 2 pasal diatas, sangat jelas
bahwa posisi Indonesia sangat lemah sekali bila menghadapi pengadilan Arbitrase
Internasional, dimana Kontrak Karya Freeport baru akan berakhir pada tahun 2021
mendatang. Dengan posisi yang lemah secara hukum, maka sangat janggal bila
pemerintah Indonesia menyatakan siap menghadapi gugatan Freeport.
Dugaan adanya bekingan kuat yang
mendorong kasus ini pun menyeruak. Apalagi kalau bukan pertarungan global Cina
vs Amerika. Bukan sekedar wacana akademis road map mengubah Kontrak Karya
Freeport menjadi IUP/IUPK, atau bagaimana menghentikan PP Relaksasi Eskpor
Mineral, namun lebih dari itu bahwa modus penguasaan kekayaan alam dengan
menghancurkan energy security sebuah bangsa, atau disebut perang asimetris,
sudah sangat kental terasa.
Bagi Indonesia, kasus ini perlu
dipertimbangkan dengan matang. Jangan karena terlalu bersemangat ingin
mencontoh Negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela yang berhasil
memenangkan arbitrase melawan Exxon Mobil, kemudian ini menjadi rujukan untuk
melakukan tindakan yang sama.
Pemerintah perlu belajar dari peristiwa
kekalahan Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC) dalam pengadilan
Arbitrase Internasional pada Oktober 2006. Aibatnya, Dana milik Pertamina di
Bank of America pun harus rela diambil oleh KBC untuk membayar ganti rugi US$
261 Juta, atau senilai 3,1 Triliun Rupiah. Kini, triliunan rupiah tengah
dipertaruhkan pemerintah ditengah kondisi perekonomian negara yang belum
stabil. Semoga pemerintah cermat berhitung dalam menghadapi kasus ini. #
No comments:
Post a Comment