Pemerintah
berencana menaikan harga rokok hingga di kisaran Rp.50.000 per bungkus. Upaya
ini ditempuh dengan cara menaikan tarif cukai rokok sebagai salah satu komponen
harga rokok. Pada Nota Keuangan dan
RAPBN 2017 yang disampaikan pada Sidang Paripurna DPR-RI 16 Agustus 2016 lalu,
Pemerintah sudah menargetkan pendapatan cukai sebesar Rp 157,16 triliun atau
naik 6,12 persen dari target APBN Perubahan (APBNP) 2016 sebesar Rp 148,09
triliun. Khusus untuk cukai hasil tembakau, ditargetkan sebesar Rp 149,88
triliun atau naik 5,78 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp 141,7 triliun.
Kenaikan
harga rokok ini direncanakan akan dilakukan dalam waktu dekat ini, dengan
menyesuaikan tarif cukai rokok untuk meningkatkan penerimaan cukai Negara
sekaligus menutupi kekurangan penerimaan pajak diperkirakan shortfall tahun
2016 ini. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017, diketahui bahwa kontribusi
pendapatan cukai masih didominasi oleh cukai hasil tembakau yang memberikan kontribusi
rata-rata sebesar 99,6% per tahun. Jauh lebih tinggi dibanding cukai Etil
Alkohol maupun Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA). Sepanjang 4 tahun
terakhir, yaitu periode 2012-2015, peningkatan pendapatan cukai dipengaruhi
oleh faktor peningkatan produksi rokok dan kebijakan kenaikan tarif cukai. Disini
pemerintah berharap dengan menaikan harga rokok maka target penerimaan Negara
tidak akan meleset terlalu jauh, sehingga program-program pembangunan khususnya
belanja infrastruktur dapat terus berjalan.
Rencana
kebijakan ini mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Kalangan pelaku
Industri mengecam rencana ini dan mengancam akan terjadi PHK terhadap karyawan,
akibatnya pengangguran meningkat. Kecaman ini sepertinya sudah diantisipasi
oleh pemerintah. Instrumen kebijakan yang disiapkan pemerintah bahwa kenaikan
harga rokok hingga Rp.50.000 per bungkus itu sudah meliputi penyesuaian tarif
cukai dan penambahan margin perusahaan rokok. Bila margin perusahaan bertambah
meski permintaannya berkurang akibat kenaikan harga, maka perusahaan dapat
bertahan tanpa ada PHK.
Hal
ini mengingat rokok sebagai barang yang elastisitasnya rendah, atau disebut
juga barang inelastis. Ciri barang inelastis adalah substitusinya sedikit.
Semakin sedikit substitusinya semakin inelastis barang tersebut. Rokok, hampir
tidak ada substitusinya. Dalam teori ekonomi mikro, barang yang inelastis akan
bertahan permintaannya (atau hanya berkurang sedikit) bila harganya dinaikan.
Atau presentase penurunan permintaan (konsumsinya) tidak sebesar presentase
kenaikan harganya. Sama seperti halnya bahan bakar mintak atau bensin. Ketika
harga bensin dinaikan, maka presentase permintaannya tak sebesar presentase
kenaikan harganya. Jadi, Laba perusahan rokok relatif akan bertahan ketika terjadi
kenaikan harga rokok, sehingga PHK tidak akan terjadi. Dengan catatan,
pemerintah selain menaikan tarif cukai rokok, juga memberi kelonggaran kepada
perusahaan rokok untuk menaikan margin labanya.
Di
sisi konsumen, kenaikan harga rokok akan sedikit mengurangi volume konsumsi
rokok, tapi tidak mengurangi porsi belanja rokok. Seseorang yang terbiasa
menghabiskan Rp.300.000 per bulan untuk belanja rokok, akan tetap pada porsi
seperti, atau mungkin naik sedikit akibat kenaikan harga rokok. Hanya volume
permintaannya saja yang berkurang. Karena
itu, kenaikan harga rokok diperkirakan tidak akan mempengaruhi porsi belanja
rokok yang menempati urutan kedua setelah pengeluaran akan belanja beras,
sebagaimana data BPS berikut.
Tabel.
Porsi Belanja Penduduk Miskin di Kota dan Desa
Jenis Komoditi
|
Porsi Belanja (Perkotaan)
|
Jenis Komoditi
|
Porsi Belanja (Perdesaan)
|
Beras
|
23,49%
|
Beras
|
32,88%
|
Rokok Kretek
|
8,24%
|
Rokok Kretek
|
7,07%
|
Telur Ayam
|
3.59%
|
Gula Pasir
|
2,96%
|
Daging Ayam
|
2,95%
|
Telur Ayam
|
2,91%
|
Mie Instan
|
2,77%
|
Mie Instan
|
2,44%
|
Gula Pasir
|
2,04%
|
Kopi
|
1,82%
|
Sumber
: BPS Indonesia, Diolah dari Susenas Maret 2015
Dari
tabel tersebut, akan tercermin kondisi yang sangat miris bila kita melihat
kenyataan bahwa penduduk miskin menghabiskan uang belanjanya untuk membeli
rokok, sementara orang-orang terkaya di Indonesia berasal dari pengusaha rokok.
Diberbagai
Negara, harga rokok mahal menjadi pilihan kebijakan untuk menekan konsumsi
rokok. Di Australia harga rokok Rp.200.000 per bungkus, di Inggris Rp.190.000
per bungkus, di beberapa Negara-negara Eropa dan Asia harga rokok sudah diatas
Rp.150.000 per bungkus. Tampilan merk dalam kemasan rokok pun dikurangi, bahkan
di Australia, tidak ada tampilan merk dalam setiap kemasan rokok. Harga rokok mahal
ini juga untuk menjauhkannya dari jangkauan anak-anak. Sebagai konsumen pemula,
anak-anak memiliki kemampuan belanja yang terbatas.
Catatan
yang perlu diperhatikan pemerintah adalah kelengkapan instrumen kebijakan dalam
rencana ini. Sangat dimungkinkan, ketika harga rokok mahal, masyarakat mencari
substitusi dengan produk lain yang jutsru lebih membahayakan, sebut saja
misalnya ganja atau narkoba. Bila harganya lebih murah, boleh jadi kecanduan
akan rokok berganti menjadi candu ganja dan narkoba. Oleh karena itu, Instrumen
kebijakan menaikan cukai rokok ini harus dibarengi dengan upaya edukasi
masyarakat untuk menghilangkan kecanduan akan rokok, dengan mengoptimalkan
pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, klinik-klinik atau pelayanan
kesehatan lainnya dengan adanya insentif kesehatan khusus untuk pecandu rokok,
yang sumber dananya bisa diambil dari kenaikan tarif cukai hasil tembakau
tersebut. #
No comments:
Post a Comment