Monday, August 15, 2016

Arcandra Tahar, Antara Kebangsaan, Kesholehan Pribadi dan Kelalaian Bernegara



Nama Arcandra Tahar menjadi sosok yang ramai diperbincangkan publik belakangan ini. Saat ia mulai menjabat Menteri ESDM, beredarnya foto dirinya bersama istri dan dua putrinya yang berpakaian muslimah, serta kepemilikan dua kewarganegaraan hingga dicopot dari posisi Menteri ESDM. Pemberhentian Arcandra dari Menteri ESDM menjadi sorotan tajam karena posisinya yang strategis, telikung politik yang ada dibelakang semua ini, hingga makin terkuaknya kelalaian Presiden dalam mengelola Negara. Ini pertama kali dalam sejarah seorang Menteri hanya menjabat dalam waktu 20 hari saja. 

Sebelum desas-desus dua kewarganegaraan yang dimiliki Arcandra, publik ramai membicarakan identitas pengganti Menteri Sudirman Said itu. Foto Arcandra bersama keluarga dimana istri dan dua putrinya mengenakan jilbab menunjukan kesungguhannya dalam beragama dan membina keluarga muslim. Hal ini kontras karena disaat sebelumnya, beredar foto Sudirman Said yang menikahi seorang wanita yang tidak berjilbab. Meski sama-sama mengenyam pendidikan di Amerika, Sudirman di George Washington University, dan Arcandra di Texas A & M University Ocean Engineering, namun Arcandra tercatat sebagai guru mengaji Al-Qur’an di Houston, lalu mendirikan sekolah untuk mendalami agama Islam, yang bernama Indonesian Family Academy.

Tak ada jabatan politik yang bersih dari isu negatif. Demikian pun dengan Arcandra. Tekanan pertama pun datang, Netizen ramai-ramai memperbincangkan paspor Amerika yang dimiliki Arcandra. Punya dua kewarganegaraan? Seharusnya tak bisa dan tak boleh di Indonesia. Ini ditegaskan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.2 tahun 2007, pasal 31 bahwa Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya karena memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, atau tidak menolak/tidak melepaskan kewarganegaraan lain sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, atau secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.


Dalam sumpah setia warga yang dinaturalisasi menjadi warga Amerika Serikat, janji setianya adalah menanggalkan seluruh kesetiaan kepada Negara dan kedaulatan asing darimana sebelum menjadi warga Negara, dan membela konstitusi dan Undang-undang Amerika Serikat terahadap seluruh musuh asing maupun domestik. Bila benar Arcandra telah mengucapkan sumpah setia ini, dan merujuk pada PP no.2/2007 diatas, maka seharusnya gugur status kewarganegaraan Indonesianya.

Tak heran bila baru beberapa hari menjabat Menteri ESDM, Arcandra langsung menyetujui perpanjang izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia hingga 11 Januari 2017. Sebagaimana diketahui, kepemilikan PT Freeport dikuasai oleh Amerika, yaitu sebesar 81,27%  (milik Freeport McMoran) atau hanya  9,36% milik pemerintah Indonesia, sedangkan sisanya 9,36% milik PT Indocopper Investama Corporation sebagai swasta Indonesia. Kebijakan ini, selain menunjukan kedigjayaan Amerika atas tanah Indonesia, juga telah melanggar UU 4/2009 tentang Minerba, pasal 170 yang menyatakan bahwa pemegang Kontrak Karya (termasuk Freeport) yang telah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam Negeri paling lambat lima tahun sejak diberlakukan UU ini, yaitu tahun 2014. Artinya, setelah tahun 2014 tidak lagi diperbolehkan melakukan ekspor produk mentah atau konsentrat. Pelanggaran atas ketentuan Undang-undang kembali terjadi dan Negara seakan tak mampu berbuat apa-apa.   

Status Arcandra sebagai Warga Negara Amerika inilah yang akhirnya menjadi alasan bagi Presiden untuk mencopotnya dari posisi Menteri ESDM. Penunjukan Menteri memang menjadi hak prerogatif Presiden, namun tetap saja ada 2 pertanyaan penting dalam proses penunjukan Arcandra sebagai Menteri ESDM. Pertanyaan pertama, apakah Presiden mengetahui status Kewarganegaraan Arcandra. Yang kedua, apakah Arcandra memberitahukan kepada Presiden perihal status kewarganegaraannya saat diminta menjadi Menteri.

Dalam pertanyaan kedua, ada dua kemungkinan. Arcandra tidak memberitahukan statusnya, atau Arcandra sudah menyampaikannya kepada Presiden namun dianggap tidak menjadi soal karena ada bekingan Amerika disana. Disini berarti ada unsur kelalaian. Sedangkan terhadap pertanyaan pertama juga ada dua kemungkinan, yaitu Presiden sudah mengetahui status Arcandra atau memang tidak mengetahuinya. Bila Presiden tidak mengetahuinya, berarti ada unsur kelalaian dari Badan Inteligen Negara (BIN) atau Kementerian Hukum dan Perundang-undangan dalam memberi masukan terhadap proses seleksi Menteri-menteri. Akibatnya, Presiden mengulang kembali kelalaianya dulu “I didn’t read what I signed” saat menandatangi kebijakan-kebijakannya, menjadi “I didn’t check who I signed” dalam memilih jajaran kabinetnya.#

No comments: