Sengketa Lahan, masalah ini boleh jadi tak akan ada
habisnya hingga berakhirnya kehidupan dunia dan bumi ini. Persengketaan tak
hanya terjadi antar individu (dari masalah warisan, surat legal formal, batasan
luas area tanah, dan lain sebagainya), namun juga terjadi antar individu dengan
Negara (kasus-kasus penggusuran warga yang seringkali menuai pro-kontra hingga
berujung pada konflik yang memakan korban dan nyawa manusia). Yang juga menarik
sekarang ini, sengketa lahan antar lembaga Negara, atau juga antar berbagai
kepentingan publik yang hampir sama manfaatnya namun prioritas penggunaannya
yang menentukan kemana arah kebijakan pengelolaan tanah dan lahan. Misalnya,
mana yang lebih prioritas antara pembangunan infrastruktur jalan dengan menjaga
kelestarian hutan, menambang batubara, membangun perumahan, pembangkit listrik,
pengeboran minyak, dan lahan pertanian. Semuanya tentu memiliki kepentingan
masing-masing, benefit dan cost yang berbeda, dampak eksternalitas yang positif
dan negatif. Prioritas yang terakhir disebut, yaitu lahan pertanian, menjadi
isu penting dalam beberapa hari belakangan ini, mengingat begitu derasnya alih
fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Dimana sepanjang 10 tahun
terakhir terjadi alih fungsi lahan seluas 40 ribu hektare per tahun.
Alih
fungsi tanah pertanian menjadi non-pertanian dapat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan, antara lain: (a) menurunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya
kedaulatan pangan, (b) hilangnya mata pencaharian petani dan dapat menimbulkan
pengangguran, dan (c) hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi)
yang menelan biaya sangat tinggi.
Berdasarkan UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) pasal 3 yang berbunyi,”PLP2B
diselenggarakan dengan tujuan: a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan
secara berkelanjutan; b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan; c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; d.
melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; e. meningkatkan
kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; f. meningkatkan
perlindungan dan pemberdayaan petani; g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja
bagi kehidupan yang layak; h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan i.
mewujudkan revitalisasi pertanian”.
Menteri
Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman dalam acara panen raya padi di
persawahan irigasi Lembor, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar),
Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (17/11/2015), berjanji akan
mengurangi upaya alih fungsi lahan dari areal persawahan ke non pertanian.
Upaya penekanan untuk mengurangi alih fungsi lahan tersebut, jelas Amran,
berbasis pada analisis dan kajian intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Direktur
Perluasan dan Pengolahan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian Kementerian Pertanian Prasetyo Nuchsin, Senin (16/11/2015) mengatakan
soal alih fungsi lahan, tidak ada satu pun orang daerah yang mau terbuka soal
data, jadi hanya berdasarkan luas tanam dan lahan yang diaudit, itu sifatnya
perkiraan. Daerah berkepentingan secara politis untuk menunjukkan kinerjanya,
termasuk di bidang pangan. Akibatnya, data soal penurunan luas lahan pertanian
tidak terbuka. Namun secara nasional, disebutkan terjadi alih fungsi lahan
seluas 40 ribu hektare per tahun sejak 10 tahun terakhir. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) periode 1998-2002, tingginya laju alih fungsi lahan
pertanian ke lahan non pertanian ada di angka 110 ribu hektare per tahun.
Undang-Undang
(UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang PLP2B
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah diantaranya : (a) PP No. 1/2011 tentang Penetapan
dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, (b) PP No 12/2012 tentang
Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, (c) PP No. 25/2012
tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan (d) PP No.
30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan PertanianPangan Berkelanjutan.
Selain itu diterbitkan pula Peraturan Menteri Pertanian No 07/Permentan/OT.140/2/2012
tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Hingga
Nopember 2013 dokumen RTRW Kabupaten/kota yang telah disahkan menjadi Perda
mencapai 310 Kab/Kota (63,14%) yang belum 181 Kab/ Kota (36,86%) dan 107 Kab/
Kota diantaranya telah menetapkan luas LP2B di dalam Perda Tata Ruangnya.
Luasan lahan LP2B yang sudah ditetap dalam RTRW seluas 3.089.872 ha, sedangkan
luas lahan sawah hasil audit Kementerian Pertanian seluas 8.132.642 ha.
Regulasi-regulasi
tersebut dalam implementasinya belum efektif sebagaimana terlihat dari alih fungsi
lahan pertanian yang terus terjadi dan semakin tidak terkendali. Insentif
ekonomi yang tertuang dalam PP tersebut masih dalam tataran normatif, sehingga
relatif sulit untuk diimplementasikan di lapangan. Belum adanya kejelasan
bentuk insentif ekonomi yang operasional serta lemahnya aspek kelembagaan
pendukungnya, disinyalir telah menghambat implementasi Undang-Undang PLP2B. Solusi
yang bisa dilaksanakan adalah dengan strategi pengendalian alih fungsi lahan
pertanian berbasis partisipasi masyarakat terdiri instrumen hukum, instrumen
ekonomi, zonasi dan inisiatif masyarakat. Disinilah peran pemerintah perlu diperkuat
untuk mengoptimalkan lahan-lahan potensial dan produktif yang dimiliki oleh
negara untuk dimanfaatkan petani guna mencapai kedaulatan pangan. #
No comments:
Post a Comment