Thursday, November 26, 2015

Dampak Trans-Pacific Partnerships Terhadap Indonesia



Trans-Pacific Partnerships atau disingkat TPP adalah program kerja sama kemitraan ekonomi strategis inisiatif Amerika Serikat (AS) untuk menandingi kekuatan ekonomi yang digalang China dan koleganya. Perundingan traktat dalam proses pembentukan TPP ini diikuti 12 negara di lingkar pasifik yaitu AS, Australia, Brunei Darussaalam, Chili, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Mexico, Kanada dan Selandia Baru. Setelah perundingan selama 7 tahun, akhirnya pada tanggal 5 Oktober 2015 seluruh negara peserta perundingan menyepakati perundingan traktat TPP, sebagai kerangka hukum bagi kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang sebelumnya dikenal sebagai Pacific 4 (Singapura, Brunei Darussalam, Chile dan Selandia Baru). Kerja sama tersebut menjadi blok perdagangan sangat besar yang mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia (28.1 Trilyun GDP gabungan) dengan mengikutsertakan lebih dari 792 juta penduduk yang tersebar di ke-12 negara.

Melalui Presiden Obama, dan juga Hillary Clinton, John Kerry, sampai United States Trade Representative (USTR), AS sangat agresif menawarkan dan mendesak Indonesia untuk masuk bergabung dalam TPP, namun SBY yang saat itu masih menjadi Presiden, menolaknya. Penolakan SBY terhadap perjanjian ini lebih banyak disebabkan kekhawatiran akan dampak negatif yang dapat membahayakan ekonomi Indonesia di masa datang.

Di era Jokowi, dalam kunjungan Presiden RI yang berlangsung pada 25-28 Oktober 2015 di AS, terbesit keinginan Indonesia untuk bergabung ke Trans-Pacific Partnership (TPP). Keinginan untuk bergabung dengan TPP disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi kepada Obama saat pertemuan di Gedung Putih. Suatu pernyataan yang sangat dinantikan AS, namun ketika Jokowi tiba kembali ke tanah air, Jokowi justru menyatakan akan pikir-pikir lagi apakah akan bergabung ke TPP atau tidak. Kebingungan atau pencitraan, dapat kita saksikan dalam beberapa waktu kedepan.

TPP Merugikan atau Menguntungkan?
Dampak TPP bagi Indonesia yang sekarang sedang mengalami pelambatan ekonomi yang serius, adalah proses masuknya produk Indonesia ke pasar-pasar negara anggota TPP, khususnya ke Amerika Serikat. Semakin terbukanya pasar AS bisa membantu melancarkan ekonomi domestik. Keikutsertaan Indonesia dalam TPP, salah satu keuntungannya adalah potensi untuk mendongkrak nilai ekspor tekstil ke AS. Setidaknya ada dua pertimbangan yang bisa dicermati jika ingin bergabung ke dalam TPP, dimana masing-masing pertimbangan memiliki dampaknya yang berimplikasi cukup luas.

Pertama, cukup riskan bagi Indonesia jika masuk kedalam kerjasama TPP karena ada sekitar 11.000 item yang akan dibebastarifkan. TPP punya cakupan luas dengan tingkat liberalisasi yang tinggi. Padahal sekarang Indonesia aktif menggiatkan penggunaan konten lokal dan investasi untuk tujuan ekspor. Di sisi lain, kebanyakan produk ekspor RI adalah komoditas bahan mentah. Di samping harga yang belum stabil, permintaan komoditas ini di sejumlah negara pun menurun karena merosotnya daya beli masyarakat. Sangat mungkin keikutsertaan Indonesia ke dalam TPP malah menghancurkan produk industri kelapa sawit Indonesia, yang dilabelkan tidak ramah lingkungan. Belum lagi produk yang laku di jual di pasar global sesungguhnya adalah produk manufaktur. Namun produk manufaktur Indonesia belum kompetitif dibanding negara lain, termasuk juga di ASEAN. Di Indonesia, ruwetnya birokrasi dan waktu bongkar muat (dwelling time) saja sudah bermasalah, bagaimana dengan persoalan yang lainnya? Apalagi keuntungan penghapusan bea masuk impor dari sejumlah negara tujuan ekspor akan menjadi percuma, kalau produk ekspor Indonesia masih kalah bersaing dengan negara lain. Ada baiknya buat Indonesia agar fokus dulu kepada pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dan tetap memprioritaskan penyelesaian kesepakatan Putaran Doha di WTO. Putaran Doha juga concern pada penurunan tarif dari produk pertanian serta liberalisasi perdagangan di bidang jasa secara global.

Kedua, rezim perdagangan bebas lebih banyak menguntungkan negara yang memiliki produsen kuat. Sementara Indonesia tergolong negara yang punya pangsa pasar besar, tetapi bukan negara yang memiliki pelaku usaha yang berdaya saing global. Indonesia terus menjadi target pasar negara-negara lain, sementara Indonesia cenderung kurang bisa mengimbangi dalam memasarkan produk dan jasanya ke luar negeri karena kurang kompetitif. Idealnya, Indonesia bisa saja bergabung dalam TPP jika dalam satu-dua tahun mendatang pertumbuhan ekonomi Indonesia terus tumbuh menguat, apalagi  pada dasarnya visi ekonomi Indonesia adalah  pro-pasar bebas, sekalipun retorikanya adalah Nawacita.

Bagi AS, selalu ada banyak cara yang bisa dimainkan untuk bisa mendesak dan meyakinkan Indonesia untuk ikut dalam TPP, terutama jika AS berkeras mendapatkan pasar Asia-Pasifik dan demi perimbangan kekuatannya dengan China.  Pemerintah AS  punya banyak kartu yang bisa dimainkan, seperti dengan meningkatkan standar ekspor produk perikanan, Menekan parlemen lewat revisi UU Minerba khususnya terkait Freeport atau Newmont, atau yang berhubungan dengan masalah di Papua. AS akan memanfaat skema politik interlocking yang melanda Indonesia dewasa ini.

Keinginan Indonesia untuk bergabung dengan kerja sama Trans-Pacific Partnerships (TPP) perlu dicermati kembali. TPP merupakan kerja sama perdagangan multilateral yang memuat beberapa poin yang bertentangan dengan kondisi perekonomian maupun geopolitik Indonesia. Berdasarkan kalkulasi model arus neraca perdagangan, keikutsertaan Indonesia dalam TPP hanya akan menambah defisit perdagangan sebesar USD180,4 juta. Hal ini disebabkan posisi Indonesia dalam TPP hanya dianggap sebagai penghasil bahan mentah dan tujuan pasar. Akibatnya, Indonesia terjebak pada kutukan eksportir bahan baku mentah yang tidak memiliki nilai tambah. Negara eksportir bahan baku mentah juga rentan terhadap gejolak perekonomian global yang membuat harga-harga komoditas menjadi turun.

Selain itu, ditinjau dari segi kepentingan strategis nasional, beberapa klausul TPP yang memuat 30 bab dan lebih dari 6.000 halaman itu sebagian besar mengarah pada liberalisasi secara penuh. Sebagai contoh adalah pasal tentang perlakuan terhadap BUMN yang harus disamakan dengan swasta nasional maupun asing. Artinya, tidak ada perlakuan spesial baik melalui mekanisme subsidi harga maupun dukungan kebijakan. BUMN akhirnya dapat jatuh pada jebakan privatisasi dan meninggalkan program-program pelayanan publik karena dianggap menjadi faktor lemahnya persaingan. Padahal, salah satu fungsi BUMN adalah menjadi ujung tombak aplikasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Faktanya, tidak semua sektor dapat dimasuki oleh swasta, terutama pembangunan di daerah luar Jawa yang masih tertinggal. Karena itu, BUMN wajib hadir untuk mendukung pembangunan nasional. Dengan masuknya Indonesia ke TPP, hak tersebut hilang. Ini yang menjadi kekhawatiran utama, Indonesia akan jatuh pada liberalisasi tanpa kendali yang merugikan kepentingan bangsa.

Selain itu, di dalam perjanjian TPP yang dirilis pada 5 November lalu juga terdapat beberapa klausul yang secara terang-terangan bertentangan dengan kedaulatan ekonomi nasional. Sebagai contoh, pasal yang mengatur tentang investor-state dispute settlement (ISDS) menempatkan negara dan investor dalam satu posisi yang setara di mata hukum perdagangan internasional. Akibatnya, jika investor merasa pemerintahan suatu negara TPP menerbitkan aturan yang merugikan investor, negara secara otomatis dapat digugat. Dalam prosedur ini jika Pemerintah Indonesia kalah di meja arbitrase internasional, bisa jadi aset negara dapat disita. Hal ini tentu mengundang kritik dari berbagai pihak, terutama dari senator yang berasal dari pendiri TPP sendiri yaitu Amerika Serikat. Maka itu, cukup aneh apabila Indonesia dengan klausul-klausul yang merugikan tersebut terpaksa bergabung hanya karena desakan sejumlah negara.

Antara TPP dan RCEP
Kehadiran TPP tidak dapat luput dari agresivitas China yang sejak awal terbentuknya gagasan ASEAN+3 (China, Jepang, dan Korea Selatan) berkeinginan kuat menguasai pasar Asia Tenggara. Pada 2012, China kemudian ikut dalam perumusan gagasan liberalisasi perdagangan yang lebih luas yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan 16 negara yang tergabung dan menguasai 28,4% perdagangan dunia. Melihat posisi tawar China yang semakin besar di Asia Tenggara, Amerika Serikat kemudian meluncurkan kerja sama TPP. Intinya, pertarungan di ranah ekonomi ini kemudian membawa konsekuensi pada pertarungan perebutan pasar dalam konteks geopolitik. Sementara itu, negara-negara berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam terjebak pada tarikan dua negara dominan yaitu China dan Amerika Serikat.

Implikasi dari pertarungan perebutan pasar mengakibatkan negara-negara di ASEAN hanya dijadikan perpanjangan tangan kepentingan China dan Amerika Serikat. Strategi ini kemudian disebut sebagai proxy-war atau perang tanpa melibatkan kehadiran negara-negara yang berperang secara langsung. Amerika melalui TPP dan China melalui RCEP, keduanya berambisi untuk menekan negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam untuk saling bersaing dalam ekspor barang mentah dan tenaga kerja murah. Jika Vietnam bergabung ke dalam TPP, secara otomatis Indonesia juga dipaksa bergabung. Akhirnya, proxy-war ini hanya menguntungkan kepentingan dagang Amerika dan China.

Dari segi pemotongan tarif memang TPP terlihat lebih besar dibandingkan RCEP yang hanya menargetkan 65% pengurangan tarif. Jadi, dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja sama TPP lebih liberal dibandingkan kerja sama RCEP. Sementara TPP yang dalam dua tahun ke depan segera diaplikasikan tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Pemerintah Indonesia karena pemotongan tarif juga melibatkan kesiapan industri dalam negeri. Saat yang bersamaan kerja sama masyarakat ekonomi ASEAN 2015 juga akan segera berjalan. Jika Indonesia dipaksa bergabung ke dalam TPP sementara kondisi industri belum siap bersaing, dapat dipastikan defisit neraca perdagangan semakin melebar.

Keinginan Indonesia untuk bergabung ke TPP justru setelah tuntasnya perundingan dan disepakatinya Traktat TPP oleh 12 negara, kemudian memunculkan pandangan pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah pertanyaan atau keraguan dari berbagai pihak pun muncul karena bergabungnya Indonesia dengan TPP dipandang akan merugikan Indonesia.#

No comments: