Trans-Pacific Partnerships atau disingkat TPP adalah program kerja
sama kemitraan ekonomi strategis inisiatif Amerika Serikat (AS) untuk
menandingi kekuatan ekonomi yang digalang China dan koleganya. Perundingan traktat dalam proses pembentukan TPP ini diikuti 12 negara di
lingkar pasifik yaitu AS, Australia, Brunei Darussaalam,
Chili, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Mexico, Kanada dan Selandia
Baru. Setelah perundingan selama 7 tahun, akhirnya pada tanggal 5 Oktober 2015 seluruh negara peserta
perundingan menyepakati perundingan
traktat TPP,
sebagai kerangka hukum bagi kerja sama perdagangan bebas
dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang sebelumnya dikenal sebagai Pacific 4 (Singapura,
Brunei Darussalam, Chile dan Selandia Baru). Kerja sama tersebut menjadi blok
perdagangan sangat besar yang mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia (28.1
Trilyun GDP gabungan) dengan mengikutsertakan lebih dari 792 juta penduduk yang
tersebar di ke-12 negara.
Melalui Presiden Obama, dan juga Hillary Clinton, John Kerry,
sampai United States Trade Representative (USTR), AS sangat agresif menawarkan dan mendesak
Indonesia untuk masuk bergabung dalam TPP, namun SBY yang saat itu masih menjadi Presiden,
menolaknya. Penolakan SBY
terhadap perjanjian ini lebih banyak disebabkan kekhawatiran akan dampak
negatif yang dapat membahayakan ekonomi Indonesia di masa datang.
Di era Jokowi, dalam
kunjungan Presiden RI yang berlangsung pada 25-28 Oktober 2015 di AS, terbesit keinginan Indonesia untuk bergabung ke Trans-Pacific Partnership (TPP).
Keinginan untuk bergabung dengan TPP disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi
kepada Obama saat pertemuan di Gedung Putih. Suatu pernyataan yang sangat dinantikan AS, namun ketika Jokowi tiba kembali ke tanah air,
Jokowi justru menyatakan akan pikir-pikir lagi apakah akan bergabung ke TPP
atau tidak. Kebingungan atau pencitraan, dapat kita saksikan dalam beberapa
waktu kedepan.
TPP Merugikan
atau Menguntungkan?
Dampak TPP bagi Indonesia yang sekarang sedang mengalami pelambatan ekonomi yang serius, adalah proses masuknya produk Indonesia ke pasar-pasar negara anggota TPP, khususnya ke Amerika Serikat. Semakin
terbukanya pasar AS bisa membantu melancarkan ekonomi domestik. Keikutsertaan
Indonesia dalam TPP, salah satu keuntungannya adalah potensi untuk mendongkrak nilai ekspor tekstil ke AS. Setidaknya ada dua pertimbangan yang bisa
dicermati jika ingin bergabung ke dalam TPP, dimana masing-masing pertimbangan memiliki dampaknya
yang berimplikasi cukup luas.
Pertama, cukup riskan bagi Indonesia jika masuk
kedalam kerjasama TPP karena ada sekitar 11.000 item yang akan dibebastarifkan.
TPP punya cakupan luas dengan tingkat liberalisasi yang tinggi. Padahal
sekarang Indonesia aktif menggiatkan penggunaan konten lokal dan investasi
untuk tujuan ekspor. Di sisi lain, kebanyakan produk ekspor RI adalah komoditas
bahan mentah. Di samping harga yang belum stabil, permintaan komoditas ini di
sejumlah negara pun menurun karena merosotnya daya beli masyarakat. Sangat
mungkin keikutsertaan Indonesia ke dalam TPP malah menghancurkan produk
industri kelapa sawit Indonesia, yang dilabelkan tidak ramah lingkungan. Belum
lagi produk yang laku di jual di pasar global sesungguhnya adalah produk
manufaktur. Namun produk manufaktur Indonesia belum kompetitif dibanding negara
lain, termasuk juga di ASEAN. Di Indonesia, ruwetnya birokrasi dan waktu
bongkar muat (dwelling time) saja sudah bermasalah, bagaimana dengan
persoalan yang lainnya? Apalagi keuntungan penghapusan bea masuk impor dari
sejumlah negara tujuan ekspor akan menjadi percuma, kalau produk ekspor
Indonesia masih kalah bersaing dengan negara lain. Ada baiknya buat Indonesia
agar fokus dulu kepada pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dan tetap
memprioritaskan penyelesaian kesepakatan Putaran Doha di WTO. Putaran Doha juga
concern pada penurunan tarif dari
produk pertanian serta liberalisasi perdagangan di bidang jasa secara global.
Kedua, rezim perdagangan bebas lebih banyak menguntungkan
negara yang memiliki produsen kuat. Sementara Indonesia tergolong negara yang
punya pangsa pasar besar, tetapi bukan negara yang memiliki pelaku usaha yang
berdaya saing global. Indonesia terus menjadi target pasar negara-negara lain,
sementara Indonesia cenderung kurang bisa mengimbangi dalam memasarkan produk
dan jasanya ke luar negeri karena kurang kompetitif. Idealnya, Indonesia bisa
saja bergabung dalam TPP jika dalam satu-dua tahun mendatang pertumbuhan
ekonomi Indonesia terus tumbuh menguat, apalagi pada dasarnya visi
ekonomi Indonesia adalah pro-pasar bebas, sekalipun retorikanya adalah
Nawacita.
Bagi AS, selalu ada banyak cara yang bisa dimainkan untuk bisa mendesak dan meyakinkan Indonesia untuk ikut
dalam TPP, terutama jika AS berkeras mendapatkan pasar Asia-Pasifik dan demi
perimbangan kekuatannya dengan China. Pemerintah AS punya banyak
kartu yang bisa dimainkan, seperti dengan meningkatkan standar ekspor produk
perikanan, Menekan parlemen lewat revisi UU Minerba khususnya terkait
Freeport atau Newmont, atau yang berhubungan dengan masalah di Papua. AS akan memanfaat
skema politik interlocking yang melanda Indonesia dewasa ini.
Keinginan Indonesia
untuk bergabung dengan kerja sama Trans-Pacific
Partnerships (TPP) perlu dicermati kembali. TPP merupakan kerja sama
perdagangan multilateral yang memuat beberapa poin yang bertentangan dengan
kondisi perekonomian maupun geopolitik Indonesia. Berdasarkan kalkulasi model arus neraca
perdagangan, keikutsertaan Indonesia dalam TPP hanya akan menambah defisit
perdagangan sebesar USD180,4 juta. Hal ini disebabkan posisi Indonesia dalam
TPP hanya dianggap sebagai penghasil bahan mentah dan tujuan pasar. Akibatnya,
Indonesia terjebak pada kutukan eksportir bahan baku mentah yang tidak memiliki
nilai tambah. Negara eksportir bahan baku mentah juga rentan terhadap gejolak
perekonomian global yang membuat harga-harga komoditas menjadi turun.
Selain itu, ditinjau
dari segi kepentingan strategis nasional, beberapa klausul TPP yang memuat 30
bab dan lebih dari 6.000 halaman itu sebagian besar mengarah pada liberalisasi
secara penuh. Sebagai contoh adalah pasal tentang perlakuan terhadap BUMN yang
harus disamakan dengan swasta nasional maupun asing. Artinya, tidak ada
perlakuan spesial baik melalui mekanisme subsidi harga maupun dukungan
kebijakan. BUMN akhirnya dapat jatuh pada jebakan privatisasi dan meninggalkan
program-program pelayanan publik karena dianggap menjadi faktor lemahnya
persaingan. Padahal, salah satu fungsi BUMN adalah menjadi ujung tombak
aplikasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Faktanya, tidak semua sektor
dapat dimasuki oleh swasta, terutama pembangunan di daerah luar Jawa yang masih
tertinggal. Karena itu, BUMN wajib hadir untuk mendukung pembangunan nasional.
Dengan masuknya Indonesia ke TPP, hak tersebut hilang. Ini yang menjadi
kekhawatiran utama, Indonesia akan jatuh pada liberalisasi tanpa kendali yang
merugikan kepentingan bangsa.
Selain itu, di dalam
perjanjian TPP yang dirilis pada 5 November lalu juga terdapat beberapa klausul
yang secara terang-terangan bertentangan dengan kedaulatan ekonomi nasional. Sebagai
contoh, pasal yang mengatur tentang investor-state dispute settlement (ISDS)
menempatkan negara dan investor dalam satu posisi yang setara di mata hukum perdagangan
internasional. Akibatnya, jika investor merasa pemerintahan suatu negara TPP
menerbitkan aturan yang merugikan investor, negara secara otomatis dapat
digugat. Dalam prosedur ini jika Pemerintah Indonesia kalah di meja arbitrase
internasional, bisa jadi aset negara dapat disita. Hal ini tentu mengundang
kritik dari berbagai pihak, terutama dari senator yang berasal dari pendiri TPP
sendiri yaitu Amerika Serikat. Maka itu, cukup aneh apabila Indonesia dengan
klausul-klausul yang merugikan tersebut terpaksa bergabung hanya karena desakan
sejumlah negara.
Antara TPP
dan RCEP
Kehadiran TPP tidak
dapat luput dari agresivitas China yang sejak awal terbentuknya gagasan ASEAN+3
(China, Jepang, dan Korea Selatan) berkeinginan kuat menguasai pasar Asia Tenggara.
Pada 2012, China kemudian ikut dalam perumusan gagasan liberalisasi perdagangan
yang lebih luas yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan
16 negara yang tergabung dan menguasai 28,4% perdagangan dunia. Melihat posisi
tawar China yang semakin besar di Asia Tenggara, Amerika Serikat kemudian
meluncurkan kerja sama TPP. Intinya, pertarungan di ranah ekonomi ini kemudian
membawa konsekuensi pada pertarungan perebutan pasar dalam konteks geopolitik.
Sementara itu, negara-negara berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia,
Thailand, Filipina, dan Vietnam terjebak pada tarikan dua negara dominan yaitu
China dan Amerika Serikat.
Implikasi dari
pertarungan perebutan pasar mengakibatkan negara-negara di ASEAN hanya
dijadikan perpanjangan tangan kepentingan China dan Amerika Serikat. Strategi
ini kemudian disebut sebagai proxy-war atau perang tanpa melibatkan kehadiran
negara-negara yang berperang secara langsung. Amerika melalui TPP dan China
melalui RCEP, keduanya berambisi untuk menekan negara-negara seperti Indonesia
dan Vietnam untuk saling bersaing dalam ekspor barang mentah dan tenaga kerja
murah. Jika Vietnam bergabung ke dalam TPP, secara otomatis Indonesia juga
dipaksa bergabung. Akhirnya, proxy-war ini hanya menguntungkan kepentingan
dagang Amerika dan China.
Dari segi pemotongan
tarif memang TPP terlihat lebih besar dibandingkan RCEP yang hanya menargetkan
65% pengurangan tarif. Jadi, dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja sama TPP
lebih liberal dibandingkan kerja sama RCEP. Sementara TPP yang dalam dua tahun
ke depan segera diaplikasikan tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi
Pemerintah Indonesia karena pemotongan tarif juga melibatkan kesiapan industri
dalam negeri. Saat yang bersamaan kerja sama masyarakat ekonomi ASEAN 2015 juga
akan segera berjalan. Jika Indonesia dipaksa bergabung ke dalam TPP sementara
kondisi industri belum siap bersaing, dapat dipastikan defisit neraca
perdagangan semakin melebar.
Keinginan Indonesia
untuk bergabung ke TPP justru setelah tuntasnya perundingan dan disepakatinya
Traktat TPP oleh 12 negara, kemudian memunculkan pandangan pro dan kontra di
masyarakat. Sejumlah pertanyaan atau keraguan dari berbagai pihak pun muncul
karena bergabungnya Indonesia dengan TPP dipandang akan merugikan Indonesia.#
No comments:
Post a Comment