Friday, December 05, 2014

PERTAMINA, ANTARA KETIDAKJUJURAN DAN HARAPAN RAKYAT INDONESIA

Cukup mengejutkan apa yang diungkapkan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri kemarin, kamis (4/12/2014). Dalam sebuah berita yang dimuat di berita.yahoo.com, Faisal mengatakan bahwa jika PT Pertamina (persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Trading Limited (Petral), tidak secara langsung membeli minyak untuk kebutuhan di dalam negeri dari perusahaan produsen minyak mentah. Temuan ini mengindikasikan bahwa ada satu perusahaan trader yang dominan yang menjembatani anak perusahaan Pertamina‎, PT Pertamina Trading Limited (Petral).

Perusahaan trader yang dominan dalam menjembatani Petral selama ini adalah Hin Leong Trading Ltd. Trader inilah yang ternyata merealisasikan kontrak-kontrak itu, bukan nasional company-nya langsung seperti yang diklaim Pertamina dan Petral selama ini.

Temuan Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini menjadi negative value bagi Pertamina, yang dapat meruntuhkan kepercayaan akan transparansi pengelolaan Migas Nasional. Apalagi Pertamina kini sedang digadang-gadang oleh berbagai kalangan untuk bisa mengelola blok-blok Migas di Tanah Air dalam program Nasionalisasi blok-blok Minyak dan Gas Bumi. Indikasi tidak transparan dan tidak efisiennya Pertamina dalam penyelenggaraan jual beli minyak dengan pasar Internasional semakin menguatkan banyaknya mafia Migas yang bermain dalam pasar jual beli minyak dan gas bumi.

Padahal, sebagai perusahaan satu-satunya milik Negara yang bergerak di sektor Migas, Pertamina sedang mencanangkan target menjadi salah satu dari 100 perusahaan terbesar dunia. Dua tahun lalu, atau sejak tahun 2012, Pertamina menargetkan pencapaian peringkat Fortune 100 pada tahun 2025 nanti. Saat ini, Pertamina masih menjadi perusahaan Indonesia pertama dan satu-satunya yang masuk daftar perusahaan global terbesar dunia versi Majalah Fortune (peringkat 122 dari 500 perusahaan terbesar dunia pada Juli 2013).

Sebagai gambaran, perusahaan yang menduduki peringkat 1-5 adalah Shell, Wal-Mart, Exxon, Sinopec dan CNPC. Dua perusahaan yang terakhir disebut adalah perusahaan minyak milik China. Peringkat 6 dan 10 diduduki British Petroleum dan Total (Prancis). Sedangkan perusahaan minyak Negara ASEAN seperti Petronas berada pada posisi 75 dan PTT Thailand pada posisi 81.

Pemeringkatan oleh Fortune antara lain didasarkan pada tiga faktor utama yaitu nilai pendapatan, aset dan laba. Shell (peringkat 1), Total (10), Petronas (75) dan Pertamina (122) masing-masing memperoleh pendapatan US$ 481 miliar, US$ 243 miliar, US$ 94 miliar dan US$ 70 miliar. Sedang dari sisi nilai aset, keempat perusahaan itu berturut-turut memiliki aset US$ 360 miliar, US$ 226 miliar, US$ 159 miliar, dan US$ 40 miliar. Kalau dibandingkan dengan 4 perusahaan ini, peluang Pertamina untuk mengembangkan perusahaan akan sangat besar, mengingat pendapatannya jauh lebih besar dibanding aset (70:40) sebagaimana Shell dan Total. Sementara Petronas justru diperkirakan akan menurun akibat pendapatannya yang lebih kecil dari aset sekarang (94:159).

Ditambah lagi dengan besarnya peluang Pertamina untuk menguasai salah satu blok Migas terbesar di tanah air, blok Mahakam yang memiliki potensi US$ 84 miliar. Bila mengikuti standard perhitungan Ernst & Young (2013) bahwa biaya akuisisi cadangan Migas berkisar antara 10-15% nilai aset, maka bila Pertamina menguasai blok Mahakam, nilai asetnya akan meningkat 10% dari US$ 84 miliar tersebut, yaitu sekitar US$ 8,4 miliar (Marwan Batubara, Kembalikan Mahakam). Bila pengelolaan blok Mahakam oleh Pertamina berhasil, dan sebelumnya Pertamina juga telah sukses mengambil alih blok ONWJ (Off-shore North West Java) dari British Petroleum dan WMO (West Madura Off-shore) serta meningkatkan produksi dari 23.000 bph menjadi 40.000 bph (ONWJ) dan 11.000 bph menjadi 23.000 bph (WMO), maka Pertamina sesungguhnya telah menjadi harapan bagi bangsa dan rakyat Indonesia untuk memajukan sumber daya alam di sektor minyak dan gas bumi. Apalagi setelah itu bila Pertamina bisa mengelola blok Migas yang lebih sulit dan beresiko lebih tinggi seperti blok Masela dan blok Natuna, tentu tidak ada alasan bagi siapapun untuk meremehkan kemampuan BUMN Migas ini.

Namun temuan “ketidakjujuran” dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas kemarin, juga terungkapnya 97 perusahaan refiner yang selama ini bekerja bersama Pertamina dan 32 perusahaan national company yang menjadi pemasok minyak ke Indonesia, menjadi catatan penting bagi perjalanan Pertamina ditahun 2014 ini. Meski sebenarnya pengadaan minyak lewat trader itu memang tidak tercela, tapi tidak transparannya Pertamina dalam proses-proses jual beli Migas di pasar Internasional, dapat memupuskan harapan rakyat Indonesia yang sudah disematkan diatas pundak Pertamina.#

No comments: