Cukup mengejutkan apa yang
diungkapkan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri kemarin, kamis
(4/12/2014). Dalam sebuah berita yang dimuat di berita.yahoo.com, Faisal
mengatakan bahwa jika PT Pertamina (persero) melalui
anak usahanya PT Pertamina Trading Limited (Petral), tidak secara langsung
membeli minyak untuk kebutuhan di dalam negeri dari perusahaan produsen minyak
mentah. Temuan ini mengindikasikan bahwa ada satu perusahaan trader yang
dominan yang menjembatani anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Trading
Limited (Petral).
Perusahaan trader yang dominan
dalam menjembatani Petral selama ini adalah Hin Leong Trading Ltd. Trader
inilah yang ternyata merealisasikan kontrak-kontrak itu, bukan nasional company-nya
langsung seperti yang diklaim Pertamina dan Petral selama ini.
Temuan Tim Reformasi Tata Kelola
Migas ini menjadi negative value bagi
Pertamina, yang dapat meruntuhkan kepercayaan akan transparansi pengelolaan
Migas Nasional. Apalagi Pertamina kini sedang digadang-gadang oleh berbagai kalangan
untuk bisa mengelola blok-blok Migas di Tanah Air dalam program Nasionalisasi
blok-blok Minyak dan Gas Bumi. Indikasi tidak transparan dan tidak efisiennya
Pertamina dalam penyelenggaraan jual beli minyak dengan pasar Internasional
semakin menguatkan banyaknya mafia Migas yang bermain dalam pasar jual beli
minyak dan gas bumi.
Padahal, sebagai perusahaan
satu-satunya milik Negara yang bergerak di sektor Migas, Pertamina sedang mencanangkan
target menjadi salah satu dari 100 perusahaan terbesar dunia. Dua tahun lalu,
atau sejak tahun 2012, Pertamina menargetkan pencapaian peringkat Fortune 100
pada tahun 2025 nanti. Saat ini, Pertamina masih menjadi perusahaan Indonesia
pertama dan satu-satunya yang masuk daftar perusahaan global terbesar dunia
versi Majalah Fortune (peringkat 122 dari 500 perusahaan terbesar dunia pada
Juli 2013).
Sebagai gambaran, perusahaan yang
menduduki peringkat 1-5 adalah Shell, Wal-Mart, Exxon, Sinopec dan CNPC. Dua
perusahaan yang terakhir disebut adalah perusahaan minyak milik China.
Peringkat 6 dan 10 diduduki British Petroleum dan Total (Prancis). Sedangkan
perusahaan minyak Negara ASEAN seperti Petronas berada pada posisi 75 dan PTT
Thailand pada posisi 81.
Pemeringkatan oleh Fortune antara
lain didasarkan pada tiga faktor utama yaitu nilai pendapatan, aset dan laba.
Shell (peringkat 1), Total (10), Petronas (75) dan Pertamina (122) masing-masing
memperoleh pendapatan US$ 481 miliar, US$ 243 miliar, US$ 94 miliar dan US$ 70
miliar. Sedang dari sisi nilai aset, keempat perusahaan itu berturut-turut
memiliki aset US$ 360 miliar, US$ 226 miliar, US$ 159 miliar, dan US$ 40
miliar. Kalau dibandingkan dengan 4 perusahaan ini, peluang Pertamina untuk
mengembangkan perusahaan akan sangat besar, mengingat pendapatannya jauh lebih
besar dibanding aset (70:40) sebagaimana Shell dan Total. Sementara Petronas
justru diperkirakan akan menurun akibat pendapatannya yang lebih kecil dari aset
sekarang (94:159).
Ditambah lagi dengan besarnya
peluang Pertamina untuk menguasai salah satu blok Migas terbesar di tanah air,
blok Mahakam yang memiliki potensi US$ 84 miliar. Bila mengikuti standard
perhitungan Ernst & Young (2013) bahwa biaya akuisisi cadangan Migas
berkisar antara 10-15% nilai aset, maka bila Pertamina menguasai blok Mahakam,
nilai asetnya akan meningkat 10% dari US$ 84 miliar tersebut, yaitu sekitar US$
8,4 miliar (Marwan Batubara, Kembalikan Mahakam). Bila pengelolaan blok Mahakam oleh Pertamina berhasil, dan
sebelumnya Pertamina juga telah sukses mengambil alih blok ONWJ (Off-shore
North West Java) dari British Petroleum dan WMO (West Madura Off-shore) serta
meningkatkan produksi dari 23.000 bph menjadi 40.000 bph (ONWJ) dan 11.000 bph
menjadi 23.000 bph (WMO), maka Pertamina sesungguhnya telah menjadi harapan
bagi bangsa dan rakyat Indonesia untuk memajukan sumber daya alam di sektor minyak
dan gas bumi. Apalagi setelah itu bila Pertamina bisa mengelola blok Migas yang
lebih sulit dan beresiko lebih tinggi seperti blok Masela dan blok Natuna,
tentu tidak ada alasan bagi siapapun untuk meremehkan kemampuan BUMN Migas ini.
Namun temuan “ketidakjujuran”
dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas kemarin, juga terungkapnya 97 perusahaan
refiner yang selama ini bekerja bersama Pertamina dan 32 perusahaan national
company yang menjadi pemasok minyak ke Indonesia, menjadi catatan penting bagi
perjalanan Pertamina ditahun 2014 ini. Meski sebenarnya pengadaan minyak lewat
trader itu memang tidak tercela, tapi tidak transparannya Pertamina dalam proses-proses
jual beli Migas di pasar Internasional, dapat memupuskan harapan rakyat
Indonesia yang sudah disematkan diatas pundak Pertamina.#
No comments:
Post a Comment