Monday, December 04, 2017

Please, Jangan Jual BUMN

Holdingisasi BUMN, untuk menggabungkan dan mengkonsolidasikan BUMN adalah kebijakan bagus supaya BUMN lebih kuat secara aset, keuangan dan seterusnya. Agar BUMN kita masuk Fortune, dan menjadi BUMN maju juga adalah harapan bagi rakyat. Apalagi saat ini hanya 1 BUMN kita yang masuk Fortune 500. Namun perlu diingat BUMN bukan hanya bussines core, tapi diamanahkan juga untuk Pelayanan Publik (ini diatur dalam UU). Untuk apa memiliki BUMN yang hebat secara bisnis tapi hanya dinikmati segelintir elit, sementara banyak persoalan pelayanan publik yang luput dari perhatian.

Hanya Gagah-gagahan tapi rakyat kecil tak mendapatkan haknya.

Persoalan kebijakan Holding yang banyak dikritisi publik adalah holding pertambangan, ini akibat keluarnya PP No.47/2017 yang sangat riskan terhadap terjualnya 3 BUMN (PT Timah, PT Antam dan PT Bukit Asam) yang berubah status menjadi anak holding sehingga harus tunduk kepada UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas. 

Disinilah kunci persoalannya. Peralihan saham, perubahan Asset, dapat dilakukan tanpa pengawasan DPR, bahkan pemerintah melalui menteri BUMNnya juga tidak dapat masuk mengawasi. Anak BUMN, maka mayoritas sahamnya dikuasai oleh Induk BUMNnya, bukan lagi pemerintah. Maka proses penjualan dan pelepasan saham dapat dilakukan kapan saja tanpa kontrol pemerintah, DPR dan masyarakat. Bahkan, harga sahamnya tidak dapat dikontrol publik karena tidak listed di bursa saham. Khusus untuk BUMN, konsep non listed public company cukup menarik, agar publik dapat mengawasi BUMN, keuangan BUMN juga akan transparan, tapi pada saat yang sama, sahamnya tidak dapat dijual (mayoritas saham hanya milik negara).

Dengan konsep non listed company ini, pemburu rente (yang memburu pundi-pundi politik untuk Pemilu dan Pilkada) tidak dapat masuk bertransaksi karena pengawasannya sangat jelas dan terbuka.

Mengapa Holding perkebunan, pupuk dan semen sejauh ini tidak masalah. Ini karena banyak kejanggalan dalam Holding pertambangan ini, dimana Induk Holdingnya justru yang bergerak di smelter (PT. Inalum), yang jadi anak perusahaan justru yang bergerak di pertambangan (PTBA, Antam, Timah).

Itulah mengapa yang dipersoalkan adalah munculnya PP No.72/2016 dan PP No.47/2017 itu, yang menegasikan fungsi kontrol DPR (akibat perubahan posisi dari BUMN jadi anak Holding) sehingga out of control DPR.

Adanya saham dwiwarna (yang memberikan hak istimewa kepada pemerintah untuk menentukan direktur, komisaris dan seterusnya di BUMN, meski hanya punya selembar saham) cukup melegakan bagi Negara. Hanya saja, secara detail tidak pernah disebutkan dimana diatur saham dwiwarna itu (juga tidak diatur dalam UU BUMN), klasifikasi saham hanya diatur di UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, namun ini tidak disebut saham dwiwarna, hanya disebut saham khusus. 

Bila tidak diatur dalam payung hukum yang kuat, maka saham dwiwarna dapat dikatakan hanya sebatas bussines Agreement, cukup kesepakatan antara para pebisnis dan pemegang saham untuk perubahan statusnya, yang suatu saat bisa di cabut tanpa mekanisme UU. #

No comments: