Wednesday, August 31, 2016

Harga Rokok Mahal, Apa Dampaknya?



Pemerintah berencana menaikan harga rokok hingga di kisaran Rp.50.000 per bungkus. Upaya ini ditempuh dengan cara menaikan tarif cukai rokok sebagai salah satu komponen harga rokok.  Pada Nota Keuangan dan RAPBN 2017 yang disampaikan pada Sidang Paripurna DPR-RI 16 Agustus 2016 lalu, Pemerintah sudah menargetkan pendapatan cukai sebesar Rp 157,16 triliun atau naik 6,12 persen dari target APBN Perubahan (APBNP) 2016 sebesar Rp 148,09 triliun. Khusus untuk cukai hasil tembakau, ditargetkan sebesar Rp 149,88 triliun atau naik 5,78 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp 141,7 triliun.

Kenaikan harga rokok ini direncanakan akan dilakukan dalam waktu dekat ini, dengan menyesuaikan tarif cukai rokok untuk meningkatkan penerimaan cukai Negara sekaligus menutupi kekurangan penerimaan pajak diperkirakan shortfall tahun 2016 ini. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017, diketahui bahwa kontribusi pendapatan cukai masih didominasi oleh cukai hasil tembakau yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 99,6% per tahun. Jauh lebih tinggi dibanding cukai Etil Alkohol maupun Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA). Sepanjang 4 tahun terakhir, yaitu periode 2012-2015, peningkatan pendapatan cukai dipengaruhi oleh faktor peningkatan produksi rokok dan kebijakan kenaikan tarif cukai. Disini pemerintah berharap dengan menaikan harga rokok maka target penerimaan Negara tidak akan meleset terlalu jauh, sehingga program-program pembangunan khususnya belanja infrastruktur dapat terus berjalan.

Rencana kebijakan ini mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Kalangan pelaku Industri mengecam rencana ini dan mengancam akan terjadi PHK terhadap karyawan, akibatnya pengangguran meningkat. Kecaman ini sepertinya sudah diantisipasi oleh pemerintah. Instrumen kebijakan yang disiapkan pemerintah bahwa kenaikan harga rokok hingga Rp.50.000 per bungkus itu sudah meliputi penyesuaian tarif cukai dan penambahan margin perusahaan rokok. Bila margin perusahaan bertambah meski permintaannya berkurang akibat kenaikan harga, maka perusahaan dapat bertahan tanpa ada PHK.


Hal ini mengingat rokok sebagai barang yang elastisitasnya rendah, atau disebut juga barang inelastis. Ciri barang inelastis adalah substitusinya sedikit. Semakin sedikit substitusinya semakin inelastis barang tersebut. Rokok, hampir tidak ada substitusinya. Dalam teori ekonomi mikro, barang yang inelastis akan bertahan permintaannya (atau hanya berkurang sedikit) bila harganya dinaikan. Atau presentase penurunan permintaan (konsumsinya) tidak sebesar presentase kenaikan harganya. Sama seperti halnya bahan bakar mintak atau bensin. Ketika harga bensin dinaikan, maka presentase permintaannya tak sebesar presentase kenaikan harganya. Jadi, Laba perusahan rokok relatif akan bertahan ketika terjadi kenaikan harga rokok, sehingga PHK tidak akan terjadi. Dengan catatan, pemerintah selain menaikan tarif cukai rokok, juga memberi kelonggaran kepada perusahaan rokok untuk menaikan margin labanya.

Di sisi konsumen, kenaikan harga rokok akan sedikit mengurangi volume konsumsi rokok, tapi tidak mengurangi porsi belanja rokok. Seseorang yang terbiasa menghabiskan Rp.300.000 per bulan untuk belanja rokok, akan tetap pada porsi seperti, atau mungkin naik sedikit akibat kenaikan harga rokok. Hanya volume permintaannya saja yang berkurang.  Karena itu, kenaikan harga rokok diperkirakan tidak akan mempengaruhi porsi belanja rokok yang menempati urutan kedua setelah pengeluaran akan belanja beras, sebagaimana data BPS berikut.

Tabel. Porsi Belanja Penduduk Miskin di Kota dan Desa
Jenis Komoditi
Porsi Belanja (Perkotaan)
Jenis Komoditi
Porsi Belanja (Perdesaan)
Beras
23,49%
Beras
32,88%
Rokok Kretek
8,24%
Rokok Kretek
7,07%
Telur Ayam
3.59%
Gula Pasir
2,96%
Daging Ayam
2,95%
Telur Ayam
2,91%
Mie Instan
2,77%
Mie Instan
2,44%
Gula Pasir
2,04%
Kopi
1,82%
Sumber : BPS Indonesia, Diolah dari Susenas Maret 2015

Dari tabel tersebut, akan tercermin kondisi yang sangat miris bila kita melihat kenyataan bahwa penduduk miskin menghabiskan uang belanjanya untuk membeli rokok, sementara orang-orang terkaya di Indonesia berasal dari pengusaha rokok.

Diberbagai Negara, harga rokok mahal menjadi pilihan kebijakan untuk menekan konsumsi rokok. Di Australia harga rokok Rp.200.000 per bungkus, di Inggris Rp.190.000 per bungkus, di beberapa Negara-negara Eropa dan Asia harga rokok sudah diatas Rp.150.000 per bungkus. Tampilan merk dalam kemasan rokok pun dikurangi, bahkan di Australia, tidak ada tampilan merk dalam setiap kemasan rokok. Harga rokok mahal ini juga untuk menjauhkannya dari jangkauan anak-anak. Sebagai konsumen pemula, anak-anak memiliki kemampuan belanja yang terbatas.

Catatan yang perlu diperhatikan pemerintah adalah kelengkapan instrumen kebijakan dalam rencana ini. Sangat dimungkinkan, ketika harga rokok mahal, masyarakat mencari substitusi dengan produk lain yang jutsru lebih membahayakan, sebut saja misalnya ganja atau narkoba. Bila harganya lebih murah, boleh jadi kecanduan akan rokok berganti menjadi candu ganja dan narkoba. Oleh karena itu, Instrumen kebijakan menaikan cukai rokok ini harus dibarengi dengan upaya edukasi masyarakat untuk menghilangkan kecanduan akan rokok, dengan mengoptimalkan pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, klinik-klinik atau pelayanan kesehatan lainnya dengan adanya insentif kesehatan khusus untuk pecandu rokok, yang sumber dananya bisa diambil dari kenaikan tarif cukai hasil tembakau tersebut. #

No comments: