Tuesday, October 13, 2015

Sorotan Indonesia Pekan Ini



Pada pekan pertama Oktober 2015 ini, permasalahan industri gula nasional cukup mengemuka di media. Program swasembada gula nasional yang dicanangkan masih jauh dari target yang diharapkan. Defisit neraca perdagangan gula terus memburuk hingga sekarang. Pada 2014, defisit 1,8 miliar dolar AS, lebih tinggi dari 2013, yakni 1,7 dolar AS. Sedangkan di tahun 2015 ini, kuota impor masih cukup tinggi, yaitu sejumlah 3,12 juta ton gula rafinasi. Masuknya impor gula sebesar itu dipandang tidak pro petani, karena peruntukkannya bagi industri makanan dan minuman. Jika memakai data AGI, maka mestinya impor hanya 1,4 - 1,7 juta ton, bukan 3,12 juta ton sebagaimana data kebutuhan impor gula yang dirilis Kementerian Perdagangan. Jadi, ada kelebihan sekitar 1,42 juta ton gula rafinasi. Besar kemungkinan impor gula itu akan merusak harga gula di tingkat petani, karena terganggunya sisi demand. Kebijakan tersebut juga membuktikan tidak beresnya data neraca gula nasional akibat data yang tidak valid. Kebijakan perdagangan gula seharusnya terintegrasi dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 dan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) Jangka Panjang 2015-2045.

Pekan ini pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi tahap II, yang berisikan kemudahan layanan investasi 3 jam, pengurusan Tax Allowance dan Tax Holiday lebih cepat, pemerintah tak pungut PPN untuk alat transportasi, insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan pajak bunga deposito dan perampingan izin sektor kehutanan. Dibanding tahap I, paket kebijakan ekonomi tahap II direspon pasar dengan cukup signifikan. Rupiah menguat terhadap dolar AS hingga level Rp.14.000/US$, dibanding akhir September 2015 lalu setelah paket kebijakan tahap I dilluncurkan, dimana Rupiah justru bertengger di titik terlemah Rp.14.695/US$. Namun kebijakan tahap II ini belum teruji apakah dampaknya signifikan untuk mengurangi terjadinya PHK di sejumlah industri. Hingga September 2015, PHK diberbagai provinsi di Indonesia sebanyak 79.425 orang, mayoritas dari industri garmen, sepatu, elektronik dan batubara. Apakah kebijakan tahap II ini dapat menghadang laju PHK massal di kalangan industri, tentu ini efek kebijakan ini perlu dilihat dalam beberapa bulan kedepan, apalagi mengingat pemerintah juga akan meluncurkan paket kebijakan ekonomi tahap III.

            Di sektor UMKM, perkembangan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang masih belum optimal. Meski sudah ada kebijakan menurunkan suku bunga dari 22% menjadi 12% serta adanya subsidi suku bunga Rp.1 Triliun dari pemerintah, namun realisasi penyaluran dana KUR hingga 20 September 2015 masih Rp.4,02 Triliun dari target Rp.30 Triliun. Meski waktu tinggal 3 bulan lagi, 9 Bank yang ditugaskan belum menyalurkan KUR secara optimal. BRI, Bank Mandiri dan BNI masih terkendala distribusi ke daerah, sedangkan 6 Bank Pembangunan Daerah (BPD) belum mendapat izin OJK. Untuk BPD, kriteria tingkat NPL di bawah 5 persen dan harus mempunyai jaringan IT atau online dengan perusahaan penjaminan juga diperkirakan akan menyulitkan proses penyaluran KUR.

           Peristiwa yang juga ramai dibicarakan publik adalah kematian gajah yongki dan upaya penyelundupan kakatua jambul kuning yang merupakan species yang jumlah populasinya lambat berkembang di karenakan sifat burung yang setia (tidak mau berganti pasangan bila pasangannya mati) dan hanya bertelur 1-2 telur per tahun. Kedua jenis hewan ini baik gajah dan kakatua menjadi incaran para pemburu. Gajah akan di ambil gadingnya sedangkan kakatua merupakan jenis yang eksotik dengan banyak peminat. Begitupun banyak satwa lain yang menjadi buruan karena banyak satwa endemik (khas Indonesia) yang di minati mafia satwa dunia Internasional. Bila dihitung angka kerugiannya, memang nominalnya tidak akan terlalu besar, namun daya tarik serta potensi keanekaragaman hayati bangsa perlu mendapat porsi yang adil dalam upaya pelestarian dan perlindungan. Dua kejadian ini menimbulkan persepsi bahwa UU no.5 Tahun 1990 tentang Konservasi tidak lagi relevan dalam menjawab perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu perlu diinisiasi memasukan Revisi UU Konservasi ini kedalam prioritas prolegnas DPR-RI tahun 2016.

            Hal terakhir yang menarik diperbincangkan adalah implementasi amanat UU no.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dimana salah satunya adalah asuransi pertanian, yaitu perjanjian antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan resiko usaha tani. Program asuransi pertanian telah dilaksanakan oleh banyak negara maju seperti Amerika Serikat (Tahun 1930-an), Eropa dan Jepang.  Amerika Serikat membiayai subsidi premi yang sangat tinggi, hingga US$ 2,34 miliar, sedangkan Canada US$ 350 juta, dan negara-negara di Eropa US$ 600 juta. Namun sosialisasi asuransi pertanian di kalangan petani perlu dilakukan dengan hati-hati mengingat mayoritas petani di Indonesia berpendidikan rendah sehingga berbagai program, prosedur dan ikatan perjanjian dengan sistem premi dan mekanisme pembiayaannya perlu dipahami secara jernih dikalangan para petani tersebut, agar tidak memunculkan konflik yang justru dapat merugikan petani itu sendiri.#

No comments: