Friday, October 16, 2015

Initial Public Offering Freeport Merugikan Indonesia


Sepekan belakangan ini wacana perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia terus menuai pro-kontra. Perbedaan pandangan terjadi antara kepentingan kedaulatan Negara vs kebutuhan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi ditengah melambatnya ekonomi dunia. Bila kontrak Freeport diperpanjang, maka investasi jumbo sebesar US$ 18 miliar akan masuk ke Indonesia, produksi tambang emas Grasberg akan stabil, dan PHK tidak akan terjadi.
Kecenderungan ekonomi global yang mengarah pada minimalisir peran Negara dalam perekonomian dan menggantinya dengan mekanisme pasar, menemui peluang yang besar saat ini dengan terjadinya perlambatan ekonomi global, sehingga cara merangsang kegiatan ekonomi adalah dengan melakukan efisiensi dengan pengelolaan swasta atau privatisasi. Langkahnya adalah dengan penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO).
Rencana divestasi saham Freeport Indonesia melalui pasar bursa atau initial public offering/IPO perlu disikapi secara serius oleh Komisi VI DPR-RI. Hal ini disebabkan karena mekanisme penawaran saham perusahaan tambang asing melalui IPO tidak diatur dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Peraturan turunan dibawahnya pun tidak ada yang mengatur mekanisme IPO tersebut. PT. Freeport Indonesia wajib melepas sahamnya sebesar 30 persen karena memiliki kegiatan pertambangan yang dikategorikan ke dalam tambang bawah tanah (underground mining), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.77/2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Freeport harus melepas sahamnya sebesar 20,64% (saat ini saham pemerintah di Freeport baru 9,36%). Pelepasan saham ini dibagi dalam 2 tahap, pada tahap pertama 10,64% lalu tahap kedua (5 tahun berikutnya) sebesar 10%. Saham Freeport 20,64% ini berarti senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 54 triliun dengan kurs Rp 13.500 per dolar AS.
Peraturan Pemerintah No.77/2014 tersebut menjadi fokus utama yang akan ditarget Freeport untuk direvisi. Hal ini disebabkan dalam PP itu disebutkan, saham divestasi Freeport pertama kali harus ditawarkan kepada pemerintah pusat, pemprov, dan pemkab/pemkot. Kemudian ditawarkan kepada BUMN dan BUMD, selanjutnya ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional. Jika pemerintah pusat tidak berminat, saham Freeport ditawarkan ke pemda setempat. Namun, jika pemda juga tidak berminat, saham ditawarkan ke BUMN dan BUMD. Bila BUMN dan BUMD tetap tak berminat, saham akan ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional melalui mekanisme lelang. Dititik ini, muncul rencana Menteri ESDM yang akan menerbitkan Peraturan Menteri yang membahas soal mekanisme divestasi saham perusahaan tambang dalam waktu dekat.
Berita perpanjangan kontrak Freeport ini mencuat dimedia disebabkan oleh kondisi panik akibat valuasi saham Freeport nilainya telah turun seperempat dalam beberapa tahun terakhir, namun dengan rencana perpanjangan kontrak ini saham Freeport naik kembali. Setelah pemberitaan perpanjangan Freeport ini ramai diperbincangkan, pada hari senin (12/10) harga saham Freeport McMoRan Inc (FCX) selaku pemegang mayoritas saham Freeport Indonesia melambung kembali ke angka US$ 13,94 per saham, atau naik 40,6 persen dibandingkan posisi awal Oktober 2015 di angka US$ 9,91 per saham. Kesepakatan perpanjangan kontrak Freeport hingga saat ini baru sebatas kesepakatan prinsip, belum diatur dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagaimana amanat UU, sehingga belum bisa dikatakan berlaku efektif karena masih memungkinkan untuk  dikoreksi.
Bila saham divestasinya lewat mekanisme IPO, sangat dimungkinkan sahamnya diserap investor asing, karena sejauh ini tidak banyak yang mengetahui kinerja dan keuangan Freeport sebagai acuan penilaian prospek saham, termasuk bagaimana kinerja Freeport dalam penyelesaian konflik di lokasi pertambangan. IPO yang dilakukan beberapa BUMN belakangan ini tidak menemui harapan yang menggembirakan, bukan saja tidak bisa mengembalikan kondisi perekonomian sebagaimana yang diharapkan, malah sebaliknya, menjadi kekhawatiran banyak pihak terhadap nasib bangsa dan rakyat Indonesia kedepan karena sumber daya alam yang merupakan identitas Negara akan dikendalikan oleh pihak lain karena mayoritas pemilik saham baru perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari luar negeri.
Beberapa keuntungan dari IPO memang layak dipertimbangkan, seperti perbaikan struktur pasar, transparansi perusahaan dan peningkatan potensi pasar, sehingga publik bisa mengetahui perkembangan perusahaan, siapa yang jual dan siapa yang beli, termasuk bagaimana aksi korporasinya. Akan tetapi kerugian yang ditanggung pemerintah Indonesia jauh lebih besar akibat kontrol dan kewenangan Negara terhadap kekayaan sumber daya alamnya yang harus melewati mekanisme pasar yang seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil, karena dengan IPO siapa saja bisa beli sahamnya termasuk orang asing.
Perpanjangan kontrak Freeport dapat saja dilakukan, namun pemerintah harus membuat roadmap tahapan pengembalian kepemilikan Freeport ke pemerintah Indonesia, dengan meningkatkan kemampuan SDM dalam negeri, alih teknologi dan membangun kesiapan mengelola sumber daya alam di tanah air. Pengalihan saham Freeport perlu melibatkan pemerintah daerah setempat, namun tidak membiarkan pemerintah daerah menjalankan sendiri dengan alasan otonomi daerah, karena hal ini akan menjadikan pemda hanya sebagai obyek Freeport dan investor asing atau swasta, karena kekuatan finansial daerah yang sangat minim (belajar dari kasus divestasi saham PT.Newmont Nusa Tenggara). #

No comments: