Tuesday, November 18, 2014

Empat Jawaban Atas Argumentasi Pemerintah Menaikan Harga BBM


1. Pemerintah bilang, "subsidi BBM terlalu besar sehingga memberatkan APBN" Baiklah kalau begitu kita bandingkan dengan subsidi BBM di Malaysia yang sebesar Rp.75 Trilyun pada tahun 2014 (subsidi BBM di Indonesia Rp.246 Triliun). Memang subsidi BBM di Indonesia jauh lebih besar, namun perlu di ingat bahwa penduduk Malaysia hanya 25 juta orang, sedangkan Indonesia 237 juta orang (tahun 2014), kalau dihitung berarti Malaysia mensubsidi rakyatnya rata-rata 3 juta per orang per tahun, sedangkan Indonesia mensubsidi rakyatnya cuma 1,04 juta per orang per tahun. Padahal, rakyat Malaysia jauh lebih kaya dibanding Indonesia, lihatlah perbandingan pendapatan per kapita nya : GNP Malaysia US$ 13.740 atau sekitar 165 Juta, sedangkan GNP Indonesia US$ 3.830 atau sekitar Rp.46 Juta. 

2. Pemerintah bilang, "harga BBM di Indonesia terlalu murah, sehingga marak penyelundupan ke luar negeri" Oke-lah kalau harga premium Rp.6.500/liter jauh lebih murah dibanding di Singapore Rp.16.300/liter sehingga disinyalir BBM diselundupkan ke Singapore. Tapi pertanyaannya, apakah rakyat Singapore mau membeli yang barang berkualitas rendah, oplosan dan selundupan, kalaupun iya, ada seberapa besar. Perlu diingat, Pendapatan Per Kapita Singapore 13 kali lebih tinggi dibanding Indonesia (Singapore US$ 48.595, Indonesia US# 3.830). Lalu, kita perlu bandingkan lagi dengan Malaysia yang menjual BBM dengan harga Rp.8.700/liter. Jadi, kalau Mr.Jokowi menaikan harga premium jadi Rp.8.500/liter yang artinya hampir setara dengan harga di Malaysia. Sekarang kita perlu lihat spesifikasinya. Premium itu BBM berkualitas rendah (RON 88) sedangkan BBM Petronas Malaysia berkualitas tinggi (RON 95). Hampir tidak ada lagi Negara di dunia ini yang memproduksi BBM dengan RON rendah seperti Premium ini. Bagaimana mereka mau menyelundupkan RON rendah untuk dijual seharga RON tinggi? Dan mengapa oknum Malaysia tidak menyelundupkan juga BBM ke Singapore yang padahal kualitasnya jauh lebih tinggi? Kalaupun memang ada penyelundupan, harusnya penyelundup itu yang dikejar dan ditangkap, bukan memberatkan rakyat dengan segala dalih-dalihnya.

3. Pemerintah bilang, "subsidi BBM salah sasaran" Jadi, kalau harga BBM dinaikan, maka subsidi BBM jadi tepat sasaran gitu? Ow..ow...ow.... Kenapa bukan skema penyalurannya yang diperbaiki. Kalau dilihat data kementerian ESDM, maka pemerintah sepertinya gamang menentukan alokasi BBM bersubsidi berdasarkan jumlah orang miskin di tiap provinsi. Ini bisa dilihat dari rata-rata volume BBM bersubsidi per kapita penduduk miskin di Jatim yang mengkonsumsi BBM bersubsidi 1.240 liter/kapita penduduk miskin/tahun, sementara untuk DKI Jakarta 8.280 liter/kapita penduduk miskin/tahun. Ini tidak equal, apa karena pemerintah takut kehabisan stok BBM di Ibukota yang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi politik, atau memang karena tidak memahami penyebaran penduduk miskin? Bila harga BBM dinaikan jutsru rakyat miskin juga yang akan terkena dampak kenaikannya, malah orang kaya yang akan mampu menghindarinya. Kenapa? Karena orang-orang kaya yang pengusaha-pengusaha itu pasti akan menaikan harga barang-barang produksinya. Pengusaha transportasi akan menaikan tarif, pengusaha makanan akan menaikan harga produknya, bahkan seringkali usaha-usaha yang tidak ada sangkut-paut dengan harga BBM akan berlomba-lomba menaikan harga barangnya (efek psikologis). Lalu, rakyat miskinlah sebagai pengguna terakhir yang akan merasakan semua dampak kenaikan harga itu. Mereka tidak punya produk karena bekerja sebagai kuli, mereka hanya mengandalkan tenaganya secara informal (seperti buruh tani) untuk menyambung hidup, dan tidak mungkin mereka menaikan tarif tenaganya karena bisa tidak ada lagi yang mau pakai.

4. Pemerintah bilang, “subsidi BBM akan dialihkan ke sektor produktif seperti irigasi dan jembatan pedesaan” Ini berarti rakyat miskin yang tidak mendapatkan pengalihan dana kompensasi akibat kenaikan harga BBM, juga tidak akan mendapatkan bahan bakar alternatif untuk kendaraannya. Mengapa tidak mengalihkan subsidi BBM ke pengembangan BBG misalnya, atau mendorong perkembangan transportasi publik supaya rakyat punya pilihan selain mengkonsumsi BBM, dan mau beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Kasihan rakyat miskin yang tidak mendapatkan kompensasi akibat kenaikan harga BBM karena irigasi dan jembatannya bukan di lokasi tempat tinggalnya (misalnya rakyat miskin kota), ini artinya memindahkan rakyat yang miskin jadi “setengah miskin” tapi rakyat yang hampir miskin jadi benar-benar miskin. Padahal waktu pemerintah dulu mengurangi subsidi minyak tanah, rakyat kecil dikasih alternatif menggunakan gas (LPG), bahkan dengan kompornya. Sekarang, tak ada tanda-tanda BBG akan dikembangkan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) justru berkurang, pasokan gas terus dilarikan keluar negeri. Mobil dan motor terus diimpor dan diproduksi dengan sistem bahan bakar minyak. #

No comments: