Wednesday, March 24, 2010

RUU Zakat dan Lika-liku Sejarah Perzakatan Indonesia

Menarik kalau kita mau menelusuri lika-liku Undang-undang Zakat dan penerapannya di Indonesia. Pada tahun 1960an kita akan mendapati bahwa pada awalnya penyaluran zakat umat Islam Indonesia dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik atau melalui kyai, ajengan, masjid atau pesantren.

Kemudian lahir gagasan untuk membuat Rancangan Undang-undang Zakat. Kementerian Agama waktu itu, sudah menyusun RUU Pelaksanaan Zakat, tapi belum sempat dibahas di DPR. Baru pada tahun l967 RUU tersebut diajukan ke DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Hasilnya nihil. Soalnya, sebagian elit politik saat itu masih mengindap 'penyakit akut' Islam phobia (Takut berlebihan pada Islam).

Pada tahun 1968, melalui SKB Menteri Agama dan Mendagri yang mengatur pengelolaan zakat di Indonesia, dan berdasarkan SK Gubernur DKI untuk pertama kalinya didirikan BAZIS DKI yang kemudian diikuti oleh pendirian BAZIS di berbagai propinsi lainnya. Pengelolaan zakat memasuki babak baru : Mulai terorganisasi, dan menjadi perhatian langsung dari Pemerintah. Juga berdiri BAMUIS BNI pada tahun yang sama.

RUU Pengelolaan Zakat yang telah diajukan sejak tahun 1967 itu tak putus asa. Khususnya di Jawa Timur, pada tahun l978, beberapa ulama dari berbagai ormas Islam mendesak Pemda membuat Peraturan Daerah tentang zakat. Bahkan konsep Perda itu sempat dibawa ke Amir Machmud, Mendagri waktu itu, untuk diusulkan menjadi undang-undang. Tanggapan Amir Machmud, "Apa-apan ini, mau mengembalikan Jakarta Charter ya."

Seakan tak menggubris tanggapan Amir Machmud, pada tahun 1987 berdiri Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) sebagai lembaga amil zakat (LAZ) yang didirikan oleh masyarakat yang kemudian mendapatkan kepercayaan yang sangat tinggi dari masyarakat.

RUU Pengelolaan Zakat dicoba lagi tahun l993. Kali ini langsung kepada Presiden Soeharto, lewat Ketua MDI KH Thohir Wijaya. "Zakat kan sama dengan shalat, masa shalat juga mau diundangkan," kata (Alm) Soeharto.

Meski mendapat penolakan, tetap tak menahan laju berdirinya Lembaga Amil Zakat yang dibentuk Masyarakat. Pada tahun 1993, berdirilah Dompet Dhuafa Republika yang memperbaharui tatanan kehidupan berzakat di Indonesia.

Kepercayaan luar biasa dari masyarakat kepada Lembaga Amil Zakat inilah yang 'memaksa' lahirnya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang di dalamnya menyebutkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat.

Seakan mendapat angin segar, keberhasilan beberapa LAZ ini mendorong tumbuhnya lembaga pengelola zakat yang dibentuk masyarakat. Di topang dengan Undang-undang no.38 tahun 1999 tersebut, Pengelola Zakat tumbuh bagai jamur dimusim hujan. Tidak hanya Lembaga Amil Zakat yang dikukuhkan Pemerintah saja yang mengelola Zakat. Ternyata Masjid-mushala, forum-forum guru, majelis ta'lim, perkumpulan wali murid taman kanak-kanak juga ada yang mengumpulkan zakat.


Potensi zakat ternyata sangat besar... Itu buktinya, sampai Lembaga-lembaga apa saja 'dipakai' untuk mengumpulkan dana zakat (meski lembaga itu tak bergerak di bidang perzakatan, apalagi mendapat akreditasi). Tak terkecuali Pemerintah yang akhirnya melirik zakat sebagai salah satu sumber dana yang potensial. Bayangkan, 90 % dari 200 juta penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Andaikan separoh saja dari umat Islam itu membayar zakat, maka berapa trilyun dana yang terkumpul?

Bila pada tahun 1968 pengelolaan zakat mulai terorganisasi meski belum ada Undang-undang yang mengikat. Lalu pada tahun1999 sudah ada Undang-undang yang mengatur pengelolaan Zakat di Indonesia. Maka tahun 2009 (setelah 10 tahun berlalu Undang-undang tersebut), tentu ada persoalan-persoalan yang muncul. Karena toh, kehidupan masyarakat semakin kompleks. Dan juga tentunya, untuk menertibkan pengelolaan Zakat agar tidak sembarang kelompok dapat melakukannya, begitu bukan?

Lalu muncul keinginan kuat dari sebagian kalangan untuk melakukan revisi atas UU tersebut. Beberapa landasan yang mendasari keinginan merevisi UU itu diantaranya adalah : Penerapan sanksi atas muzakki yang ingkar membayar zakat, Pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak dan Melakukan sentralisasi pengelolaan zakat oleh BAZ yang memiliki cabang dari pusat sampai tingkat kelurahan/desa.

Dari tiga hal yang mendasari revisi UU No. 38/1999 itu, masalah sentralisasi zakat adalah yang paling banyak menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan LAZ. Hal ini dapat dimafhumi, karena dalam gagasan sentralisasi zakat ini terkandung muatan untuk mengintegrasikan LAZ ke dalam BAZ dan mengubah LAZ menjadi UPZ (unit Pengumpul Zakat). Arti kasarnya, inilah Lonceng Kematian LAZ...tinggal nunggu saja, kapan LAZ dibubarkan lewat RUU Zakat tersebut? Berarti Pengelolaan Zakat akan memasuki Babak Baru lagi?

No comments: