Sepanjang tahun 2015 hingga saat ini, harga minyak
mentah terus menurun. Pada bulan Januari 2016, harga minyak jenis West Texas
Intermediate (WTI) ditutup di level US$31,41 per barel, turun US$1,75, atau
5,28 persen dibanding bulan sebelumnya. Minyak jenis Brent jatuh sebesar
US$1,99 menjadi US$31,56 per barel, ini adalah level terendah sejak April 2004.
Kejatuhan harga minyak hingga titik paling nadir saat ini, dipicu oleh lambatnya
permintaan energi dari China, serta pasokan minyak Arab Saudi dan Iran yang
terus bertambah. Harga minyak dunia pun semakin tertekan. Perang dunia berbasis
minyak bumi tak terelakan.
Jatuhnya
harga minyak mentah ke level terendah merupakan yang pertama kali terjadi sejak
krisis keuangan global. Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dalam
beberapa bulan kedepan juga masih tetap rendah, bahkan lebih rendah
dibandingkan tahun lalu. Harga minyak berada di bawah tekanan karena
melimpahnya pasokan minyak global yang jumlahnya terus meningkat. Pasar minyak
mentah dunia belakangan ini sangat tidak seimbang. Di satu sisi permintaan
minyak melambat terutama di China, di sisi lain produsen minyak terbesar dunia
tanpa henti memompa demi memperjuangkan pangsa pasar. Negara-negara
anggota OPEC, yang merupakan pemain terbesar di pasar minyak dunia, menolak untuk
memangkas produksi. Penguasa minyak dunia yang dipimpin oleh Arab Saudi seolah
mencoba untuk memeras produsen minyak di Amerika Serikat dan di tempat lain
dengan membuat ongkos produksi yang lebih tinggi. Sebuah persaingan baru telah
muncul dalam OPEC, Iran bersiap untuk kembali ke papan atas produsen minyak
global.
Fenomena
ini telah memakan korban produsen minyak Amerika, di mana sebagian besar dari
mereka kini terjerat utang besar. Industri minyak AS telah merumahkan lebih
dari 100 ribu pekerjanya. Pada tahun 2016 ini, AS diperkirakan akan menurunkan
pasokan minyak agar pasar kembali ke titik keseimbangan (ekuilibrium). Namun
Badan Energi Internasional, yang memonitor tren pasar bagi negara-negara
terkaya di dunia, justru memperkirakan kelebihan pasokan minyak global tetap
akan bertahan sepanjang tahun 2016 ini.
Bagi Indonesia, sudah selayaknya
fenomena jatuhnya harga minyak dunia ini dimanfaatkan dengan
kebijakan-kebijakan pro-rakyat untuk menyelamatkan perekonomian Nasional yang
sedang melambat. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan adalah menurunkan harga
premium dari semula seharga Rp. 7.300 menjadi Rp. 7.150 per liter (sejak 5
Januari 2016). Namun penurunan harga premium sebesar Rp.150 dirasa masih jauh
dari yang seharusnya bila dibandingkan dengan menurunnya harga Indonesian Crude
Price (ICP) yang menyentuh harga US$ 32,12 per barel (rata-rata Januari 2016).
Pada bulan Februari 2016 ini, pemerintah
telah menyatakan tak akan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) lagi meski
harga minyak dunia terus mengalami penurunan. Alasannya, karena baru saja harga
BBM diturunkan, dan dasar untuk menetapkan harga bahan bakar minyak telah
tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.4/2015. Kendati dalam Permen tersebut
terdapat pilihan penyesuaian harga BBM dengan mengacu pada harga minyak dunia
yaitu 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan, pemerintah telah menetapkan harga BBM hanya
akan disesuaikan setiap 3 bulan.
Pengambilan kebijakan untuk
menyesuaikan harga BBM ketika harga minyak dunia merosot memang dilematis.
Pasalnya, perilaku harga BBM dan perilaku harga barang tidak bertransmisi simetris.
Dampaknya tak sama saat harga BBM turun dibanding ketika harga BBM naik. Saat harga BBM naik, harga barang dan jasa serta
ongkos transportasi langsung menyesuaikan. Namun ketika harga BBM turun, harga
barang khususnya sembako tak ikut turun. Namun kebijakan tidak menurunkan harga
BBM ketika harga ICP turun secara drastis, juga akan sangat merugikan. Ada hak
rakyat yang hilang, dan ada kewajiban pemerintah yang diabaikan, dimana
pemerintah telah menyatakan mencabut subsidi BBM jenis premium, sehingga
seharusnya harga premium mengikuti perkembangan harga minyak dunia khususnya
ICP.
Disini
terdapat standar ganda dari kebijakan yang diterapkan pemerintah. Di satu sisi pemerintah mencabut
harga BBM jenis premium yang artinya harga premium dilepas kepada mekanisme
pasar. Namun disisi lain, harga BBM masih ditentukan secara periodik tiga
bulanan, dengan mempertimbangkan berbagai faktor lain di luar mekanisme pasar
dan harga minyak. Seharusnya kalau mau diserahkan pada mekanisme pasar, maka
harus dilakukan secara penuh agar lebih adil, sehingga ketika harga naik atau
turun, pemerintah dan masyarakat sama-sama mendapatkan haknya. Namun
kenyataannya ketika harga minyak mentah naik, pemerintah langsung menaikan
harga BBM, tetapi ketika harga minyak mentah turun pemerintah tidak serta merta
menurunkannya.
Spekulasi
tentang berapa sesungguhnya harga pokok BBM pun merebak. Sejumlah pengamat
menyebut harga BBM jenis premium seharusnya Rp.4.500 per liter. Lembaga INDEF
menyampaikan bahwa seharusnya harga premium diturunkan hingga Rp.5.500-5.600
per liter. Hingga saat ini pemerintah masih berdalih bahwa perhitungan harga
pokok BBM tidak merujuk pada pergerakan harga minyak dunia baik jenis Brent,
WTI, NYMEX maupun ICP, namun cara menghitungnya adalah mengacu pada patokan
harga MOPS (Mean of Platts Singapore), dimana MOPS adalah penilaian produk
untuk trading minyak di kawasan Asia yang dibuat oleh Platts yang merupakan
anak perusahaan McGraw Hill. Pergerakan harga MOPS yang menjadi acuan bagi
Negara-negara di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Filiphina dan lain
sebagainya) tidak mengikuti pergerakan harga minyak dunia tersebut.
Argumentasi
pemerintah ini patut dipertanyakan karena dengan
rujukan yang sama yaitu harga MOPS, Malaysia bisa menjual harga BBM yang lebih
murah dibanding Indonesia. Per 1 Februari 2016, harga BBM di Malaysia jenis
bensin RON 95 atau setara Pertamax plus dijual 1,75 Ringgit atau Rp.5.600 per
liter. Bandingkan dengan harga bensin di Indonesia yang ditetapkan Rp.7.150 per
liter untuk jenis RON 88 atau Premium. Selisihnya dengan harga premium saja
sudah sangat jauh (Rp.1.550 per liter), apalagi bila dibandingkan dengan yang
setara yaitu Pertamax Plus.
Cara
pemerintah yang tidak transparan dalam menghitung harga pokok BBM menimbulkan
kontroversi, khususnya dalam perhitungan dan penentuan harga MOPS dan komponen
biaya Alpha (distribusi dan margin Pertamina). Padahal MOPS bukanlah
satu-satunya lembaga yang melakukan penilaian harga untuk trading produk
minyak. Ada Lembaga lain yang melakukan hal yang sama yaitu Argus Media. Dua
lembaga tersebut, MOPS dan Argus Media, memiliki metode yang berbeda dalam hal
penilaian harga minyak di Singapura. Dengan adanya perbedaan metode tersebut,
penilaian terhadap pergerakan harga minyak di Singapura juga akan berbeda.
Penilaian Argus Media menggunakan metode survei, testing, dan analisis untuk menentukan
penilaian harga minyak, sedangkan harga MOPS berdasarkan transaksi yang terjadi
di sistem window Platts, yaitu seller dan buyer memasukkan volume
untuk jenis minyak yang sesuai spesifikasi Platts dan harga bid/offer.
Kenaikan
harga MOPS akan terjadi ketika Pertamina akan melakukan pembelian minyak untuk
memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Para supplier Pertamina akan sangat
aktif dalam melakukan bidding untuk menaikkan harga transaksi. Patokan
harga keekonomian BBM yang berdasarkan penilaian harga MOPS akan membuat oknum
tertentu bekerja sama untuk berperan aktif dalam menaikkan penilaian harga
MOPS. Oknum ini berkembang menjadi kekuatan yang memiliki price maker. Kartel terjadi. Hal ini karena transaksi minyak dalam sistem
window Platts sangatlah kecil, sekitar 5 transaksi per hari. Sistem window
Platts yang tidak liquid akan mempermudah pembentukan harga sesuai yang diinginkan.
Akibatnya, harga MOPS selalu lebih tinggi dibanding ICP dan harga minyak mentah
dunia lainnya. Jika pemerintah masih saja menggunakan MOPS sebagai acuan dalam
menentukan harga BBM, maka pemerintah tidak akan mendapatkan harga jual BBM
yang adil bagi rakyat Indonesia.
Dengan
sistem penilaian harga MOPS seperti tersebut diatas, konsekuensinya harga MOPS
tidak bertransmisi simetris dengan harga ICP dan harga minyak mentah dunia
seperti WTI maupun jenis brent. Akibatnya ketika harga minyak mentah dunia
turun drastis seperti sekarang ini, harga MOPS bertahan karena dikuasai oleh
segelintir oknum pelaku pasar yang bersifat price
maker dengan memanfaatkan sistem window Platts yang tidak liquid. Sedangkan minyak mentah yang dihasilkan
dari perut bumi Indonesia dijual dengan harga ICP yang harganya juga jatuh
mengikuti harga minyak mentah dunia. Kenyataan ini sangat merugikan keuangan
Negara, dimana penjualan dan eskpor minyak mentah jatuh karena mengikuti tren
terpuruknya ICP, sedangkan harga BBM tidak bisa diturunkan secara signifikan
karena dijerat oleh harga MOPS. Dalam logika bisnis, seharusnya bila
pemasok tidak lagi memberi benefit, maka entitas dapat berpindah ke pemasok
lain yang menjual harga lebih murah dan kualitas lebih bagus, namun hal ini
tidak dilakukan pemerintah. Tertimpa
kerugian dua kali, pendapatan Negara berkurang, rakyat pun harus menanggung
beban akibat harga BBM lebih tinggi dari yang seharusnya. #
No comments:
Post a Comment