Monday, November 10, 2014

Pantaskah Menaikan Harga BBM Bersubsidi Pada Situasi Seperti Ini...?


1. Harga Minyak ICP terus mengalami penurunan. Selama bulan Oktober 2014 lalu ICP turun hingga 12%. Memang ICP bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi besaran subsidi BBM, ada faktor penting yang juga menentukan yaitu Kurs (Nilai tukar rupiah) yang saat ini terus melemah. Namun bila dilihat dari realisasi ICP dan Kurs sepanjang semester I/2014 dan proyeksi Kemenkeu hingga akhir tahun 2014 berdasarkan perkembangan rupiah dan harga minyak, maka dapat dikatakan bahwa proyeksi berbanding APBNP 2014 adalah Kurs (Rp/US$) akan melemah +/- 2,6% dan  ICP akan turun +/- 2,8%. Dengan proyeksi ini, dapat dikatakan bahwa besaran subsidi BBM dalam APBNP tidak akan terlalu jauh bergeser. 
Asumsi
APBNP
Realisasi
Proyeksi
Kurs (Rp/US$)
11.600
11.748
11.900
ICP (US$/Barel)
105
104,4
102
Sumber : Kemenkeu 2014

Koreksi terhadap harga minyak dunia juga diperkirakan akan berlangsung lama, menyusul revolusi shale gas di Amerika Serikat yang diyakini akan mengubah peta penguasaan energi global. Revolusi ini akan membuat kebutuhan energi domestik AS terpenuhi hingga tahun 2030. Juga bergesernya pemilik cadangan minyak terbesar dunia dari Saudi Arabia (265,4 Miliar Barel) ke Venezuela (296,5 Miliar Barel), setelah ditemukannya ladang minyak di Orinoco, sebagaimana yang pernah terjadi pada era 1930-1970 setelah penemuan ladang minyak East Texas dimana harga minyak dunia stabil pada titik terendah.

2. Skema penyaluran kuota BBM Bersubsidi hingga saat ini masih sangat kacau. Tidak jelas atas dasar apa alokasi BBM bersubsidi disalurkan. Terdapat disparitas yang terlalu besar bila merujuk pada jumlah penduduk miskin yang mendapatkan subsidi BBM di sebuah propinsi dibandingkan dengan penduduk miskin di propinsi lain. Atau bila merujuk pada jumlah kendaraan berbanding dengan kendaraan dari berbagai propinsi di Indonesia. Dari berbagai data olahan yang ada, ditunjukan bahwa : 
a.       Rata-rata Volume BBM bersubsidi per kapita nasional 90,5 liter/kapita/tahun. Akan tetapi untuk propinsi Jawa Timur mendapatkan kuota 161,9 liter/kapita/tahun, dan DKI Jakarta memperoleh 307,7 liter/kapita/tahun (jauh diatas rata-rata Nasional). 
b.      Rata-rata Volume BBM bersubsidi per kapita penduduk miskin di Jatim 1240,4 liter/kapita penduduk miskin/tahun, sementara untuk DKI Jakarta 8280 liter/kapita penduduk miskin/tahun. 
c.       Rata-rata Volume BBM bersubsidi per kendaraan di propinsi Banten 1977 liter/kendaraan /tahun, sedangkan di Jabar 980 liter/kendaraan/tahun, sementara DKI Jakara 220 liter/kapita/tahun. 
d.     Jabar, DKI dan Banten digabung, kuotanya adalah 560 liter/kendaraan/tahun, lalu Jatim 500 liter/kendaraan/tahun dan Jateng 433 liter/kendaraan/tahun. 

3. Kenaikan harga BBM Bersubsidi tidak serta merta akan menurunkan konsumsi BBM dalam jangka waktu tertentu. Data dan sejarah harga BBM Bersubsidi menunjukan bahwa kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi hanya bersifat seperti memakai obat analgesik, yang berfungsi hanya untuk penahan sakit dan mengatasi gejala penyakit saja, namun tidak mengobati penyebab penyakitnya. Artinya, kebijakan menaikan harga BBM belum pernah menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya, misalnya ditahun 2013 lalu ketika pemerintah menaikan harga BBM menjadi Rp.6.500/liter, realisasi konsumsi BBM pada tahun 2013 tersebut memang dapat ditahan, namun membengkak lagi menjadi 47,62 Juta KL (perkiraan Pertamina) pada tahun 2014 (angka yang persis sama dengan kuota APBNP 2013). Bahkan pada tahun 2008 ketika pemerintah menurunkan harga BBM hingga 3 kali, kuota BBM pada APBNP ditahun 2009 justru meningkat, meski realisasi konsumsi sempat menurun 1,3 Juta KL, namun meningkat lagi ditahun 2010 bahkan terus meningkat tajam di tahun-tahun berikutnya. Sebagaimana tabel berikut. 

No
Tahun
Kuota APBN-P
(Juta Kilo Liter)
Realisasi
(Juta Kilo Liter)
1
2007
36,03
38,64
2
2008
35,54
39,18
3
2009
36,85
37,88
4
2010
36,51
38,26
5
2011
40,49
41,79
6
2012
44,04
45,27
7
2013
47,89
46,25
8
2014
46,00
47,62*
Keterangan : (*) : Perkiraan Pertamina
Sumber : Kementerian ESDM (diolah)

Perkembangan Harga BBM Bersubsidi (Rp/Liter)
Tahun
Tanggal
Premium
Solar
2013
22 Juni
6.500
5.500
2009
15 Januari
4.500
4.500
2008
15 Desember
5.000
4.800
2008
1 Desember
5.500
5.500
2008
24 Mei
6.000
5.500
2005
1 Oktober
4.500
4.300
2005
1 Maret
2.400
2.100
2003
21 Januari
1.810
1.650
Sumber : Kementerian Keuangan, 2014 

4. Masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk bahan bakar kendaraan selain mengkonsumsi BBM (Premium atau Solar). BBG dan Vi-Gas tidak dikembangkan karena pasokan gas dilarikan ke luar negeri. Kuota BBM semakin melonjak disebabkan karena lambannya pengembangan energi alternatif (khususnya gas yaitu BBG dan Vi-Gas) untuk sektor transportasi. Meski disparitas harga antara BBM dan BBG sudah cukup jauh (BBM Jenis Premium Rp.6.500/liter dan BBG/CNG Rp.3.100/Liter Setara Premium atau LSP), pemerintah tidak dapat mengoptimalkan kondisi ini untuk menarik investor di sektor gas. Infrastuktur BBG tidak dibangun secara progressif, kapasitas dan jaringan distribusi pipa gas untuk memasok ke Mother Station dan SPBG yang ada saat ini masih minim, bahkan sejumlah SPBG ditutup karena kesulitan pasokan gas, sementara hasil gas bumi Indonesia di ekspor ke luar negeri (renegosiasi kontrak gas tidak berjalan). Jangankan untuk sektor transportasi, di sektor Industri, rumah tangga dan pembangkit listrik pun sering kekurangan pasokan. Pemerintah juga tidak pernah berkaca dari keberhasilan konversi kerosene ke gas, yang dapat mengatasi kelangkaan minyak tanah dan memperbaiki energi mix. Hingga saat ini pun, belum ada tanda-tanda dari Presiden Jokowi ataupun Wapres Jusuf Kalla untuk mengalihkan subsidi BBM ke Gas bila harga BBM dinaikan, justru pengalihan ke sektor lain yang akan mengakibatkan masyarakat terpaksa mengkonsumsi BBM lagi. Padahal UU No.30 tahun 2007 tentang Energi telah mengamanahkan pemerintah untuk melakukan program diversifikasi energi melalui pemanfaatan gas.

5. Pemerintah masih lalai dalam melakukan impor Minyak dan BBM. Subsidi BBM yang terlalu besar juga diakibatkan oleh kelalaian impor BBM yang telah dilakukan pemerintah selama bertahun-tahun. BBM yang diimpor pemerintah adalah BBM berkualitas Pertamax (RON 90 dan 92) karena BBM RON 88 sudah jarang diproduksi Negara lain. Untuk menghasilkan BBM jenis Premium (sebagaimana jenis BBM yang disubsidi APBN), maka pemerintah harus menurunkan RON nya menjadi 88, yaitu dengan mencampurkan BBM Impor tersebut dengan Naptha (cairan perubah angka oktan). Praktik seperti ini justru meningkatkan cost BBM hingga harga keekonomian Premium menjadi lebih dari Rp.9.500/liter, bahkan disinyalir justru lebih mahal dari Pertamax, sehingga besaran subsidi BBM secara keseluruhan membengkak.
Kelalaian impor BBM yang telah bertahun-tahun ini seolah-olah dibiarkan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari arus minyak nasional yang tidak mengalami perubahan signifikan selama 5 tahun terakhir ini.

Impor Minyak Mentah dan BBM Tahun 2013
Jenis Impor
Jumlah
Jumlah
Minyak Mentah
117 Barel/Tahun
US$ 13,5 Milyar
BBM
217 Barel/Tahun
US$ 28,5 Milyar
TOTAL

US$ 42 Milyar
Sumber : Kementerian ESDM, 2014

Total impor crude dan BBM US$ 42 milyar ini, berarti setara dengan  US$ 115 juta/hari atau Rp 1,38 triliun/hari. Impor BBM ini terjadi akibat kapasitas kilang minyak Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Sejak tahun 1995, Pemerintah Indonesia tidak pernah lagi membangun kilang minyak bumi (hanya ada 9 kilang minyak bumi hingga saat ini, dengan total kapasitas 1,1 Juta Barel Per Hari (BPH) yang menghasilkan BBM sebanyak 860 BPH, dibanding kebutuhan akan BBM yaitu 1,4 Juta BPH). Kilang minyak bumi terakhir yang dibangun adalah tahun1994 di Balongan, Jawa Barat. Dengan produksi BBM 860 ribu BPH, sedangkan konsumsi 1,4 juta BPH, berarti dibutuhkan impor BBM 640 s/d 650 ribu BPH atau 45% dari kebutuhan Nasional. 

Impor BBM dan crude ini menimbulkan defisit sektor migas US$ 5,6 milyar (2012), lalu defisit neraca perdagangan RI dan menekan nilai tukar rupiah, sehingga rawan menimbulkan cost push inflation (tercermin dalam harga pangan, harga obatan, harga susu dan lain sebagainya yang masih bergantung pada komponen impor).

6. Kenaikan harga BBM Bersubsidi akan membuka peluang SPBU-SPBU asing beroperasi di Indonesia (penajajahan gaya modern). Bila pemerintahan Jokowi-JK menaikan harga BBM hingga Rp.3.000/liter (harga BBM ada dikisaran Rp.9.500/liter, mendekati harga keekonomiannya), ini berarti disparitas harga BBM jenis premium dan BBM jenis Shell, Total dan lain sebagainya akan semakin kecil. Hal ini tentu akan membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan asing, khususnya SPBU-SPBU asing yang selama ini tidak berkembang akibat kebijakan harga BBM di Indonesia. Perlu diingat bahwa dari sekitar 4600 SPBU di Indonesia, hanya 70an (1,5% saja) yang milik Pertamina. Sedangkan sisanya franchise Pertamina atau kerjasama Pertamina dengan berbagai badan usaha (Koperasi atau Yayasan). Apalagi dengan kebijakan penghapusan subsidi BBM yang dapat disinyalir terkait dengan kebijakan liberalisasi ekonomi yang tengah berlangsung di Indonesia. Penghapusan subsidi BBM merupakan bagian dari skenario besar memperbesar mekanisme pasar dalam ekonomi Indonesia, sejalan dengan pemisahan (unbundling) industri hilir Pertamina dan UU Migas No. 22/2001 yang semakin membuka peluang bagi perusahaan multi-nasional untuk memperluas pasar hingga tingkat distribusi dan ritel. #

No comments: