Monday, April 16, 2012

Menguji Independensi Mahkamah Konstitusi

Judicial Review UU APBNP 2012 Pasal 7 Ayat 6a

Hari Sabtu dini hari, 31 Maret 2012, Sidang Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang APBN-P 2012. Titik krusial UU ini ada di Pasal 7 ayat 6a yang menyulut kemarahan rakyat karena memberi peluang kepada Pemerintah untuk menaikan harga BBM. Bunyi pasal 7 ayat 6a tersebut adalah “Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.”

Dari pasal tersebut, dapat diartikan bahwa, (1) Pemerintah bisa menaikan harga BBM pada bulan Mei 2012, bila rata-rata harga ICP selama April 2012, lebih besar atau sama dengan US$ 134,76/Barrel. (2) Pemerintah bisa menaikan harga BBM pada bulan Juni 2012, bila rata-rata harga ICP selama April & Mei 2012, lebih besar atau sama dengan US$123,85/Barrel. (3) Pemerintah bisa menaikan harga BBM pada bulan Juli 2012, bila rata-rata harga ICP selama April, Mei & Juni 2012, lebih besar atau sama dengan US$119,47/Barrel (4) Pemerintah bisa menaikan harga BBM pada bulan Agustus 2012, bila rata-rata harga ICP selama April, Mei, Juni & Juli 2012, lebih besar atau sama dengan US$118,58/Barrel. Maknanya, Pemerintah bisa kapan saja menaikan harga BBM, bahkan dengan angka rupiah berapa saja, tanpa perlu persetujuan DPR lagi.

Ayat ini mengindikasikan bahwa pengaturan harga BBM akan mengikuti perkembangan harga minyak dunia, atau dengan kata lain, diserahkan pada mekanisme pasar. Bila indikasi ini benar, maka menyerahkan harga eceran BBM bersubsidi mengikuti harga minyak di pasar dunia, berarti menyerahkan nasib ratusan juta rakyat Indonesia ke tangan para spekulan hedge fund di bursa NYMEX (New York Merchantile Exchange).

Sekarang harga minyak tidak lagi ditentukan oleh produsen pemilik stok minyak, tetapi oleh para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak memiliki sumur minyak, kilang, dan storage. Konsekuensinya, harga minyak tidak lagi dibentuk oleh penawaran supply and demand, tetapi lewat pergerakan naik dan turunnya harga saham dan faktor geopolitik. Seperti diungkapkan Presiden OPEC Chakib Khelil bahwa 60% fluktuasi harga minyak disebabkan oleh faktor spekulan, sisanya baru karena gejolak pasar.

Itulah alasan mengapa belum genap tiga hari keputusan dibuat (bahkan mungkin belum ditandatangani oleh Presiden RI), pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012 sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi terhadap pasal tersebut, yaitu Serikat Pengacara Rakyat (SPR), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra bersama dengan sejumlah elemen lainnya.

Pengajuan judicial review ini dilatarbelakangi oleh hasil telaah bahwa pasal 7 ayat 6a UU APBNP tidak sejalan dengan pernyataan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Keputusan untuk menyerahkan pengaturan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar bebas akan sangat menabrak ketentuan ayat dalam dasar negara tersebut. Artinya, rakyat berada dalam situasi ketidakpastian harga BBM selama tahun 2012 ini (bukan selama enam bulan seperti pernyataan beberapa pengamat).

Munculnya permasalahan ini tidak bisa dilepaskan dari buruknya pengelolaan energi nasional selama ini. Mandeknya program konversi BBM ke Gas, lemahnya pengawasan terhadap pendistribusian BBM bersubsidi, mobil pengangkut BBM “kencing” ditengah jalan (baca : mengurangi isinya), Premium yang dioplos dengan minyak tanah, tumbuh suburnya mafia-mafia minyak, dan inefisiensi ditubuh PLN akibat ketiadaan pasokan gas sehingga PLN terpaksa menggunakan BBM yang harganya jauh lebih mahal, merupakan cermin terabaikannya pengelolaan kekayaan sumber daya alam Indonesia.

Setiap Undang-undang yang diketuk di DPR merupakan produk pergulatan konfigurasi ekonomi politik di Indonesia, sehingga banyak diantaranya yang tidak lepas dari nota keberatan (minderheidsnota). Dalam kasus UU APBNP 2012 ini, memang tidak ada minderheidsnota yang menyertainya, namun aksi walk out PDIP dan Partai Hanura sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa terkoyaknya tata kelola energi nasional kita.

Tentu kita masih ingat, UU no.22/2001 tentang Migas dan UU no.20/2002 tentang ketenagalistrikan yang juga diuji di Mahkamah Konstitusi. Namun, meski keduanya bermuara pada gagasan yang hampir sama, yaitu unbundling (pemecahan ranting usaha hulu dan hilir), namun nasibnya ternyata berbeda. MK membatalkan UU ketenagalistrikan secara mutlak, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sedangkan pada UU Migas, MK hanya mencabut tiga pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, yaitu pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1 dan pasal 28 ayat 2 dan 3.

Putusan yang berbeda meski sumbunya nyaris sama disinyalir menggiring MK menuju wilayah politik, yang memutuskan perkara tidak semata dari pertimbangan hukum, namun memperhatikan pertimbangan lain, apalagi saat menjelang keputusan terhadap UU Migas itu pemerintah sedang membutuhkan penanaman modal dengan kontrak miliaran dolar AS disektor Migas yang telah ditandatangani dibawah payung Undang-undang Migas tersebut. Diantaranya terdapat perusahaan-perusahaan raksasa yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir Migas, seperti Beyond Petroleum, Shell, Petrochina, Petronas dan Chevron.

Mungkin saja, agar kredibilitas Negara tidak hancur dimata pelaku usaha dan para investor tersebut, MK kemudian memutuskan tidak mencabut UU Migas, namun mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU tersebut. Kini, dengan terdaftarnya gugatan terhadap pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012, bukan hanya uji materil dan formil terhadap pasal kontroversial tersebut, namun juga uji independensi terhadap Mahkamah konstitusi. (Adhi Azfar, ditulis Rabu, 4 April 2012)

No comments: