Tuesday, October 18, 2016

Harapan Baru Untuk Menteri ESDM Baru



Drama politik teka-teki siapa Menteri ESDM definitif akhirnya terjawab sudah. Setelah terkatung-katung selama kurang lebih 2 bulan dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt) Luhut Binsar Panjaitan (LBP), akhirnya Presiden RI Joko Widodo menunjuk Ignatius Jonan sebagai Menteri ESDM dan Arcandra Tahar sebagai Wakil Menteri ESDM. Terlepas dari mengapa harus dua sosok tersebut, keputusan Presiden menetapkan Menteri ESDM definitif ini patut diapresiasi.

Bulan Agustus lalu, tepatnya tanggal 16 Agustus 2016, Presiden Jokowi memberhentikan Arcandra Tahar sebagai menteri ESDM, karena Arcandra memiliki dua kewarganegaraan. Pemberhentian ini terjadi hanya 20 hari setelah Arcandra dilantik. Jabatan Menteri ESDM pun diisi oleh LBP sebagai Plt yang juga Menko Kemaritiman. Selama menjabat Plt Menteri ESDM, LBP telah mengambil beberapa kebijakan strategis, diantaranya membubarkan unit-unit ad hoc khusus di kementerian ESDM, yaitu Tim Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (P2EBT) yang dipimpin Willy Syahbandar, Unit Pelaksanaan Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) yang dipimpin Nur Pamudji, dan Komite Eksplorasi Nasional (KEN) yang diketuai Andang Bachtiar


Posisi Menteri ESDM sangat strategis karena menyangkut hajat hidup rakyat dan kekayaan alam Indonesia yang bernilai ratusan ribu triliun. Bukan sekedar 1-2 triliun saja. Angka ini bisa kita dapatkan dari perhitungan cadangan kekayaan alam di tanah air. Untuk satu blok Migas saja, misalnya Blok Mahakam di Kalimantan Timur, terdapat potensi Gas sebanyak 12,7 Triliun Cubic Feet (TCF) dan Minyak sebesar 1,05 Miliar Barrel. Cadangan Gas dan Minyak ini bila dikonversi ke rupiah adalah Rp.1300 Triliun. Ini baru dari satu blok Migas saja, belum blok Migas lainnya, dan belum termasuk Wilayah Kerja (WK) mineral, batubara dan panas bumi. Itulah mengapa banyak orang bilang tandatangan seorang Menteri ESDM nilainya bisa milyaran dan triliunan. Bancakan, perburuan rente, mafia, atau apapun namanya, tentu berkeliaran disekitarnya.

Kewenangan Menteri ESDM diatas diatur dengan kuat oleh aturan hukum baik undang-undang, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Menteri. Berkaitan dengan lelang Wilayah Kerja (WK) misalnya, baik UU, PP dan Permen menyebutkan peran Menteri ESDM sangat strategis, yaitu menawarkan dan menetapkan WK. Hal ini dapat dilihat dalam UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pasal 12 ayat 1, yang menyebutkan bahwa WK yang ditawarkan kepada Badan Usaha ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah. Dalam ayat 3 lebih diperkuat lagi bahwa Menteri menetapkan Badan Usaha yang diberi kewenangan melakukan eksplorasi dan eksploitasi.

Aturan ini diperkuat lagi oleh PP No.35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, bahwa Menteri (yang bertugas di bidang Minyak dan Gas Bumi) menetapkan WK yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap (Pasal 2 ayat 2). Dalam Permen ESDM, penawaran langsung juga dapat dilakukan Menteri. Permen ESDM No.40 tahun 2006 tentang Penetapan dan Penawaran WK Migas, pasal 8 ayat 1 menyebutkan Menteri ESDM dapat menawarkan WK baik melalui Lelang maupun Penawaran Langsung.

Dengan kewenangan sebesar itu, tentu harapan besar ada dipundak Menteri ESDM yang baru. Apalagi mengingat banyak blok Migas besar akan berakhir masa kontraknya ditahun 2017 hingga 2019 ini.

Semua blok Migas itu sudah harus segera disetujui siapa “pemiliknya.” Persetujuan harus dilakukan paling lambat tahun depan (2017). Sebutlah blok Migas yang akan berakhir tahun 2018, seperti blok South East Sumatera (SES) yang saat ini dikelola CNOOC (Tiongkok), atau blok Tuban yang dikuasai Petrochina, blok Sanga-sanga, East Kalimantan dan lain sebagainya. Itu baru blok Migas. Utuk Wilayah Kerja Panas Bumi, Pemerintah tahun ini akan melelang delapan WK Panas Bumi. Semuanya tentu ada di pundak Menteri ESDM baru.

Pertaruhan terbesar bagi Menteri ESDM yang baru dilantik ini adalah perkembangan pembangunan smelter untuk pemurnian mineral, sebagaimana amanah UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Proses hilirisasi ini terancam gagal karena banyak perusahaan yang belum membangun smelter. Ini terjadi karena UU Minerba meski telah diundangkan sejak tahun 2009, namun peraturan turunannya (termasuk Peraturan Menteri ESDM) baru dibuat tahun 2014 sehingga tidak tersedia waktu yang cukup untuk membangun smelter. Ditambah kondisi perekonomian dunia di mana harga komoditas turun sehingga kegiatan investasi menurun. Atas dasar ini, pemerintah memberi kelonggaran kepada perusahaan besar seperti Freeport dengan kebijakan perpanjangan izin ekspor mineral mentah.

Relaksasi kelonggaran ini berpotensi merugikan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) yang ada di Indonesia karena pasokan bahan baku mineral mentah yang dibutuhkan mereka akan berkurang. Kelonggaran ini juga memberi sinyal buruk bagi investor yang sudah terlanjur menanam modalnya untuk pembangunan smelter di Indonesia. Industri smelter di dalam negeri sampai September 2016 sudah melakukan investasi sebanyak US$ 12 miliar atau sebesar Rp 156,8 triliun.

Sejak tahun 2009, atau sejak UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba disahkan, yang mengamanahkan pembangunan pabrik pemurnian bahan mentah di dalam negeri, Freeport tak kunjung mengimplementasikannya. Bahkan hingga tenggat waktu dilarangnya ekspor mineral mentah yaitu bulan Januari 2014, Freeport justru mendapatkan keistimewaan dari Menteri ESDM dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM yang tetap mengizinkan Freeport mengekspor kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Papua. Seolah terjadi pembiaran, saat Menteri ESDM dijabat Arcandra Tahar, meski hanya 20 hari, tapi waktu yang sempit itu pun dimanfaatkan untuk mengeluarkan kebijakan kontroversial tersebut, izin ekspor mineral mentah kembali diperpanjang untuk Freeport.

Di bidang Legislasi, ada 2 RUU krusial yang masuk Program Legislasi Nasional, yaitu RUU Migas dan RUU Minerba. Bersama DPR-RI, Menteri ESDM harus segera menuntaskan karut-marut urusan Minerba khususnya seputar permasalahan smelter, dengan payung hukum yang lebih tegas. Sedangkan RUU Migas sedikit lebih progressif. Meski sudah terkatung-katung sejak periode pemerintahan SBY, RUU Migas sudah memasuki tahap pembahasan di Komisi VII DPR-RI, dimana beberapa pasal sudah disetujui. Pasal yang masih ditunda dan memang seolah dibiarkan terbuka adalah tentang pemegang kuasa pertambangan, apakah akan diserahkan ke Pertamina atau dibentuk BUMN khusus. Lagi-lagi, perburuan rente, bancakan dan para mafia akan tancap gas penuh di pasal ini.

Ignatius Jonan, memang bukan orang baru dalam kabinet pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kala. Namun Jonan termasuk orang baru dalam Industri Minyak dan Gas Bumi. Setidaknya ini untuk kedua kalinya Jonan diangkat sebagai pejabat publik yang bukan bidang karirnya, setelah yang pertama ketika dia diangkat sebagai Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia padahal belum pernah berkecimpung di bisnis transportasi. Pengalamannya adalah di dunia Perbankan selama kurang lebih 9 tahun. Tentu sah-sah saja bila ada orang bilang Kementerian Perhubungan tak seganas Kementerian ESDM, demikian pun bila publik mencela “Kok orang yang sudah kena reshuffle bisa masuk lagi ke kabinet,” tapi lebih elegan bila kita tunggu saja bagaimana sepak terjang duet Ignatius Jonan dan Arcandra Tahar, semoga tetap menyisakan harapan, untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia .#

No comments: