Tuesday, October 16, 2012

PLUS MINUS KENAIKAN TARIF LISTRIK

Hampir dapat dipastikan kenaikan tarif tenaga listrik (dulu bernama Tarif Dasar Listrik atau TDL) akan terjadi pada 1 Januari 2013 nanti. Struktur Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang diajukan pemerintah telah mendapat respon positif dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI.

Dalam struktur tarif yang lama, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukan adanya ketidakadilan dalam penyaluran subsidi listrik. Pelanggan rumah tangga mewah berkapasitas 6600 VA menikmati subsidi listrik sebesar Rp.395.000/bulan/rumah tangga, sedangkan rumah tangga kecil 450 VA hanya menikmati Rp.82.500/bulan/rumah tangga. Demikian juga dengan pelanggan bisnis berkapasitas besar 2200 VA keatas yang menikmati subsidi Rp.730.000/bulan, sementara bisnis kecil 900 VA hanya menikmati subsidi Rp.113.000/bulan.

Bila dijumlah per segmen pelanggan, maka akan terlihat bahwa pelanggan Industri berkapasitas besar I-3 (>200 kVA) dan I-4 (>30.000 kVA) menikmati subsidi listrik 25% dari keseluruhan total subsidi listrik yang dikeluarkan dari APBN. Dengan kata lain, bila Tarif Tenaga Listrik tidak naik, maka total subsidi listrik adalah Rp.100,3 Trilyun, dan sebesar Rp.25 Trilyun dinikmati oleh pelanggan Industri berdaya besar tersebut.

Hal ini menunjukan struktur tarif listrik yang ada sekarang ini lebih menguntungkan pelanggan berkapasitas daya besar dibanding rakyat kecil yang seharusnya lebih berhak menikmati subsidi.

Skema yang diajukan pemerintah menunjukan bahwa tarif tenaga listrik dinaikan 15% kecuali untuk pelanggan sosial dan rumah tangga kecil yang berdaya 450 VA dan 900 VA. Karena segmen pelanggan tersebut tarifnya tidak dinaikan, maka beban ketidaknaikan itu dipindahkan ke segmen Bisnis berkapasitas besar diatas 2200 VA, Kantor Pemerintah berkapasitas diatas 2200 VA, dan rumah tangga mewah berkapasitas 6600 VA.

Dengan 2 kali beban kenaikan ini, maka tarif listrik bagi rumah tangga mewah, kantor pemerintah, dan unit bisnis besar tersebut, menyentuh angka BPP (Biaya Pokok Penyediaan) Listrik Tegangan Rendah, yaitu Rp.1.352/kWh. Atau dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi listrik bagi rumah mewah, kantor pemerintah berdaya listrik besar, serta unit bisnis besar seperti Carefour, Hypermart dan Gyant.

Upaya pemerintah untuk mengurangi ketimpangan penyaluran subsidi listrik ini tentunya patut diapresiasi, meski terdapat satu kejanggalan mengapa pemerintah juga menaikan tarif untuk pelanggan 1300 VA, bahkan dengan beban kenaikan yang berkali lipat, dari Rp.788/kWh menjadi sekitar Rp.940/kWh (pelanggan rumah tangga). Apalagi mengingat selama ini masyarakat yang hendak melakukan pemasangan daya listrik baru, mengalami kendala karena sulitnya memasang daya berkapasitas 450 VA dan 900 VA. Hal ini disebabkan keengganan PLN memasang daya berkapasitas kecil tersebut.

Akhirnya, masyarakat terpaksa memilih daya 1300 VA. Bila golongan 1300 VA dinaikan juga tarif listriknya, maka otomatis masyarakat miskin (khususnya kaum miskin kota) yang hendak melakukan pemasangan baru akan membayar tarif listrik yang tinggi, karena harus memilih daya 1300 VA.

Setiap kebijakan tentu memiliki plus minusnya, termasuk rencana kenaikan tarif listrik ini. Bila plusnya adalah tersalurkannya subsidi listrik yang lebih tepat sasaran dan lebih proporsional, namun ada dampak yang perlu menjadi perhatian serius, bahwa sumber dari permasalahan terlalu besarnya subsidi listrik ini adalah keterlambatan proyek percepatan pembangkit 10.000 MW, masih besarnya penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk pembangkit, serta adanya kontradiksi tanggungjawab yang dibebankan dipundak PLN, dimana PLN sebagai persero yang mengejar keuntungan juga ditugaskan melakukan kewajiban pelayanan umum (Public Service Obligation/PSO). Kondisi ini menyebabkan PLN berada dalam situasi yang dilematis, khususnya ketika harga minyak meroket, satu sisi PLN perlu mencari laba yang besar dengan berupaya meningkatkan margin yang besarnya 7% dari BPP, yaitu dengan cara meningkatkan pembangkit BBM, sehingga akhirnya besaran subsidi pun membengkak.

Berdasarkan evaluasi, keterlambatan penyelesaian proyek 10.000 MW tahap I sangat berdampak negatif terhadap rencana pencapaian target energy mix pembangkit-pembangkit milik PLN, yaitu mengurangi konsumsi BBM dengan cara mensubtitusi pembangkit berbahan bakar BBM dengan pembangkit berbahan bakar batubara (PLTU).

Setiap 1 bulan keterlambatan penyelesaian proyek 10.000 MW tahap I per 100 MW akan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 132 miliar. Angka tersebut didapat dari selisih biaya pembangkitan listrik menggunakan bahan bakar BBM dengan batubara. Akibatnya, PLN kehilangan kesempatan melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp.17,9 Trilyun pada tahun 2009 dan Rp.19,7 Trilyun pada tahun 2010 (Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pemeriksaan dengan tujuan tertentu sektor hulu listrik pada PT. PLN, pada 16 September 2011).

Maka dari itu, bila TTL dinaikan tanpa membenahi permasalahan di hulu tersebut, sama saja dengan mengobati penyakit dengan obat analgesik, sembuh sementara sambil menunggu kambuh lagi.

Namun bila TTL tidak dinaikan, beban APBN akan semakin berat, defisit negara akan bertambah sebesar Rp.11 Trilyun, atau diperkirakan sebesar 1,62 persen dari produk domestik bruto (PDB), dan yang lebih parah lagi, penyaluran subsidi listrik akan semakin tidak adil. #

No comments: