Belakangan ini, Presiden Jokowi
kembali mengeluarkan kebijakan menarik untuk dikaji, yaitu pembubaran Lembaga
Non Struktural Pemerintah, yang saat ini berjumlah 88 Lembaga. Keberadaan
lembaga ini sejak zaman reformasi terus bertambah, dibanding Lembaga Pemerintah
seperti Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), atau Lembaga Pemerintah
Lainnya (Lembaga Setingkat Menteri atau Lembaga Penyiaran Publik), yang
jumlahnya relatif tetap.
Pendirian Lembaga Non Struktural (LNS)
tersebut paling banyak dilakukan di era pemerintahan SBY (tahun 2004 - 2014).
Salah satu alasan SBY mendirikan LNS adalah agar orang-orang yang masih
diperlukan Negara dapat terus berperan dan mengambil bagian dalam proses
pembangunan. Namun alasan ini bisa saja hanya kamuflase SBY, karena sebagai
Presiden yang telah melewati proses Pemilu-Pilpres dan Kampanye yang cukup
berat, tentunya SBY memiliki tim yang telah mensukseskannya dalam proses
tersebut. Sebagai ucapan Terima Kasih SBY, dibentuklah Lembaga-lembaga yang
diisi dan dipimpin oleh orang-orang yang telah berjasa padanya.
Pembentukan dan pembubaran Lembaga
Negara atau Pemerintah perlu mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Misalnya
ada Lembaga Pemerintah yang dibentuk oleh konstitusi seperti Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial ada Komisi Pemilihan Umum. Hanya MPR-RI yang
berwenang membentuk dan membubarkan lembaga-lembaga ini. Lalu ada juga lembaga
yang dibentuk berdasarkan Undang-undang seperti KPK, PPATK, KPI, maka DPR-RI bersama
Pemerintah Pusat yang berhak untuk membentuk dan membubarkannya. Yang ketiga,
lembaga yang dibentuk berasarkan peraturan pemerintah atau peraturan/keputusan
presiden, seperti Dewan Gula Indonesia, Dewan Pengembangan Kawasan Indonesia
Timur, atau Dewan Buku Nasional.
Untuk membubarkan lembaga yang
dibentuk oleh PP ataupun Perpres dan Kepres, memang kewenangan penuh ada
ditangan Presiden, namun bukan berarti Presiden bisa sewenang-wenang melakukan
pembubaran itu, karena ada dampak yang akan ditimbulkan dari kebijakan
pembubaran itu. Dampak inilah yang perlu dibahas dan dijelaskan kepada DPR-RI.
Misalnya, Soal anggaran Negara yang sudah telanjur dialokasikan kepada lembaga-lembaga
tersebut. Anggaran Lembaga Negara/Pemerintah adalah domain dari DPR, sehingga
perubahan baik pengurangan maupun penambahan akan merubah struktur anggaran
Negara secara keseluruhan.
Lalu soal penyelesaian jika
lembaga-lembaga tersebut sudah terikat kontrak pengadaan barang dan jasa dengan
pihak lain, dimana pengawasan terhadap kerja pemerintah terkait kontrak
pengadaan barang dan jasa adalah fungsi DPR-RI. Dan yang terakhir adalah
masalah pengalihan pegawai yang bekerja di Lembaga yang telah dibubarkan, yang
tentunya bila mengacu bahwa DPR adalah perwakilan rakyat, dimana salah satunya
adalah mewakili pegawai-pegawai tersebut, ini akan menjadi hak anggota DPR
untuk mempertanyakan dan meminta penjelasan Presiden terkait kebijakan
tersebut.
Dilihat dari sisi tugas pokok dan
fungsi, dapat dikatakan kebijakan pembubaran LNS sangat tepat, karena sering
terjadi tumpang tindih peran tugas dan kewenangan dalam menjalankan
program-program pemerintah. Misalnya Komisi Hukum Nasional sebenarnya sudah
terwakili dengan adanya penasehat Presiden. Atau Dewan Pengembangan Kawasan
Indonesia Timur, bisa saja tugas ini diperankan langsung oleh Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Pembubaran LNS yang tidak
efektif dan tumpang tindih ini dapat merampingkan birokrasi dan mengefisiensikan
anggaran, khususnya anggaran belanja pegawai.
Anggaran belanja pegawai masuk dalam
kategori belanja mengikat (belanja rutin). Selama masa pemerintahan SBY (tahun
2005-2014) belanja mengikat ini mencapai Rp.934,5 Triliun (rata-rata per tahun)
atau sekitar 83,2 % dari total anggaran Negara dalam APBN (Sumber : LKPP 2005-2012, APBNP 2013, RAPBN
2014). Kondisi ini menyebabkan belanja pembangunan (masuk kategori
belanja tidak mengikat) menjadi semakin sempit. Akibatnya, infrastruktur
berjalan lambat. Saluran irigasi, pembangunan jembatan, jalanan pedesaan tidak
kunjung dibangun. Dari Rp.934,5 Triliun itu, belanja pegawai menyumbang 13,3%
atau sekitar Rp.149 Triliun, angka ini jauh lebih besar dari belanja modal
pemerintah sendiri yang sejumlah (rata-rata per tahun) Rp.104,2 Triliun.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan alasan efisiensi, bukan yang pertama kali dilakukan Jokowi. Kebijakan melarang rapat di hotel dan menaikan harga BBM bersubsidi, juga dilakukan demi efisiensi. Lagi-lagi, kebijakan pemerintah dilakukan demi terjadinya efisiensi. Tapi mudah-mudahan kebijakan yang satu ini, akan benar-benar membuka ruang fiskal bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, tanpa memberikan dampak yang berat pada perekonomian Indonesia, sehingga pembangunan akan berjalan lebih cepat.#
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan alasan efisiensi, bukan yang pertama kali dilakukan Jokowi. Kebijakan melarang rapat di hotel dan menaikan harga BBM bersubsidi, juga dilakukan demi efisiensi. Lagi-lagi, kebijakan pemerintah dilakukan demi terjadinya efisiensi. Tapi mudah-mudahan kebijakan yang satu ini, akan benar-benar membuka ruang fiskal bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, tanpa memberikan dampak yang berat pada perekonomian Indonesia, sehingga pembangunan akan berjalan lebih cepat.#
No comments:
Post a Comment