Tuesday, December 16, 2014

Pembubaran Lembaga Non Struktural, Lagi-lagi Demi Efisiensi....



Belakangan ini, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan kebijakan menarik untuk dikaji, yaitu pembubaran Lembaga Non Struktural Pemerintah, yang saat ini berjumlah 88 Lembaga. Keberadaan lembaga ini sejak zaman reformasi terus bertambah, dibanding Lembaga Pemerintah seperti Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), atau Lembaga Pemerintah Lainnya (Lembaga Setingkat Menteri atau Lembaga Penyiaran Publik), yang jumlahnya relatif tetap.

Pendirian Lembaga Non Struktural (LNS) tersebut paling banyak dilakukan di era pemerintahan SBY (tahun 2004 - 2014). Salah satu alasan SBY mendirikan LNS adalah agar orang-orang yang masih diperlukan Negara dapat terus berperan dan mengambil bagian dalam proses pembangunan. Namun alasan ini bisa saja hanya kamuflase SBY, karena sebagai Presiden yang telah melewati proses Pemilu-Pilpres dan Kampanye yang cukup berat, tentunya SBY memiliki tim yang telah mensukseskannya dalam proses tersebut. Sebagai ucapan Terima Kasih SBY, dibentuklah Lembaga-lembaga yang diisi dan dipimpin oleh orang-orang yang telah berjasa padanya.

Pembentukan dan pembubaran Lembaga Negara atau Pemerintah perlu mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Misalnya ada Lembaga Pemerintah yang dibentuk oleh konstitusi seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial ada Komisi Pemilihan Umum. Hanya MPR-RI yang berwenang membentuk dan membubarkan lembaga-lembaga ini. Lalu ada juga lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-undang seperti KPK, PPATK, KPI, maka DPR-RI bersama Pemerintah Pusat yang berhak untuk membentuk dan membubarkannya. Yang ketiga, lembaga yang dibentuk berasarkan peraturan pemerintah atau peraturan/keputusan presiden, seperti Dewan Gula Indonesia, Dewan Pengembangan Kawasan Indonesia Timur, atau Dewan Buku Nasional.   

Untuk membubarkan lembaga yang dibentuk oleh PP ataupun Perpres dan Kepres, memang kewenangan penuh ada ditangan Presiden, namun bukan berarti Presiden bisa sewenang-wenang melakukan pembubaran itu, karena ada dampak yang akan ditimbulkan dari kebijakan pembubaran itu. Dampak inilah yang perlu dibahas dan dijelaskan kepada DPR-RI. Misalnya, Soal anggaran Negara yang sudah telanjur dialokasikan kepada lembaga-lembaga tersebut. Anggaran Lembaga Negara/Pemerintah adalah domain dari DPR, sehingga perubahan baik pengurangan maupun penambahan akan merubah struktur anggaran Negara secara keseluruhan.

Lalu soal penyelesaian jika lembaga-lembaga tersebut sudah terikat kontrak pengadaan barang dan jasa dengan pihak lain, dimana pengawasan terhadap kerja pemerintah terkait kontrak pengadaan barang dan jasa adalah fungsi DPR-RI. Dan yang terakhir adalah masalah pengalihan pegawai yang bekerja di Lembaga yang telah dibubarkan, yang tentunya bila mengacu bahwa DPR adalah perwakilan rakyat, dimana salah satunya adalah mewakili pegawai-pegawai tersebut, ini akan menjadi hak anggota DPR untuk mempertanyakan dan meminta penjelasan Presiden terkait kebijakan tersebut.

Dilihat dari sisi tugas pokok dan fungsi, dapat dikatakan kebijakan pembubaran LNS sangat tepat, karena sering terjadi tumpang tindih peran tugas dan kewenangan dalam menjalankan program-program pemerintah. Misalnya Komisi Hukum Nasional sebenarnya sudah terwakili dengan adanya penasehat Presiden. Atau Dewan Pengembangan Kawasan Indonesia Timur, bisa saja tugas ini diperankan langsung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Pembubaran LNS yang tidak efektif dan tumpang tindih ini dapat merampingkan birokrasi dan mengefisiensikan anggaran, khususnya anggaran belanja pegawai.

Anggaran belanja pegawai masuk dalam kategori belanja mengikat (belanja rutin). Selama masa pemerintahan SBY (tahun 2005-2014) belanja mengikat ini mencapai Rp.934,5 Triliun (rata-rata per tahun) atau sekitar 83,2 % dari total anggaran Negara dalam APBN (Sumber : LKPP 2005-2012, APBNP 2013, RAPBN 2014). Kondisi ini menyebabkan belanja pembangunan (masuk kategori belanja tidak mengikat) menjadi semakin sempit. Akibatnya, infrastruktur berjalan lambat. Saluran irigasi, pembangunan jembatan, jalanan pedesaan tidak kunjung dibangun. Dari Rp.934,5 Triliun itu, belanja pegawai menyumbang 13,3% atau sekitar Rp.149 Triliun, angka ini jauh lebih besar dari belanja modal pemerintah sendiri yang sejumlah (rata-rata per tahun) Rp.104,2 Triliun.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan alasan efisiensi, bukan yang pertama kali dilakukan Jokowi. Kebijakan melarang rapat di hotel dan menaikan harga BBM bersubsidi, juga dilakukan demi efisiensi. Lagi-lagi, kebijakan pemerintah dilakukan demi terjadinya efisiensi. Tapi mudah-mudahan kebijakan yang satu ini, akan benar-benar membuka ruang fiskal bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, tanpa memberikan dampak yang berat pada perekonomian Indonesia, sehingga pembangunan akan berjalan lebih cepat.#

No comments: