Hampir dapat
dipastikan kenaikan tarif tenaga listrik (dulu bernama Tarif Dasar Listrik atau
TDL) akan terjadi pada 1 Januari 2013 nanti. Struktur Tarif Tenaga Listrik
(TTL) yang diajukan pemerintah telah mendapat respon positif dalam rapat kerja
Komisi VII DPR RI.
Dalam
struktur tarif yang lama, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) menunjukan adanya ketidakadilan dalam penyaluran subsidi listrik.
Pelanggan rumah tangga mewah berkapasitas 6600 VA menikmati subsidi listrik
sebesar Rp.395.000/bulan/rumah tangga, sedangkan rumah tangga kecil 450 VA
hanya menikmati Rp.82.500/bulan/rumah tangga. Demikian juga dengan pelanggan
bisnis berkapasitas besar 2200 VA keatas yang menikmati subsidi
Rp.730.000/bulan, sementara bisnis kecil 900 VA hanya menikmati subsidi
Rp.113.000/bulan.
Bila dijumlah per segmen pelanggan, maka akan terlihat bahwa pelanggan
Industri berkapasitas besar I-3 (>200 kVA) dan I-4 (>30.000 kVA)
menikmati subsidi listrik 25% dari keseluruhan total subsidi listrik yang
dikeluarkan dari APBN. Dengan kata lain, bila Tarif Tenaga Listrik tidak naik,
maka total subsidi listrik adalah Rp.100,3 Trilyun, dan sebesar Rp.25 Trilyun
dinikmati oleh pelanggan Industri berdaya besar tersebut.
Hal ini menunjukan struktur tarif listrik yang ada sekarang ini lebih
menguntungkan pelanggan berkapasitas daya besar dibanding rakyat kecil yang
seharusnya lebih berhak menikmati subsidi.
Skema yang diajukan pemerintah menunjukan bahwa tarif tenaga listrik
dinaikan 15% kecuali untuk pelanggan sosial dan rumah tangga kecil yang berdaya
450 VA dan 900 VA. Karena segmen pelanggan tersebut tarifnya tidak dinaikan,
maka beban ketidaknaikan itu dipindahkan ke segmen Bisnis berkapasitas besar
diatas 2200 VA, Kantor Pemerintah berkapasitas diatas 2200 VA, dan rumah tangga
mewah berkapasitas 6600 VA.
Dengan 2 kali beban kenaikan ini, maka tarif listrik bagi rumah tangga
mewah, kantor pemerintah, dan unit bisnis besar tersebut, menyentuh angka BPP
(Biaya Pokok Penyediaan) Listrik Tegangan Rendah, yaitu Rp.1.352/kWh. Atau dengan
kata lain, tidak ada lagi subsidi listrik bagi rumah mewah, kantor pemerintah
berdaya listrik besar, serta unit bisnis besar seperti Carefour, Hypermart dan
Gyant.
Upaya pemerintah untuk mengurangi ketimpangan penyaluran subsidi listrik
ini tentunya patut diapresiasi, meski terdapat satu kejanggalan mengapa
pemerintah juga menaikan tarif untuk pelanggan 1300 VA, bahkan dengan beban
kenaikan yang berkali lipat, dari Rp.788/kWh menjadi sekitar Rp.940/kWh
(pelanggan rumah tangga). Apalagi mengingat selama ini masyarakat yang hendak
melakukan pemasangan daya listrik baru, mengalami kendala karena sulitnya
memasang daya berkapasitas 450 VA dan 900 VA. Hal ini disebabkan keengganan PLN
memasang daya berkapasitas kecil tersebut.
Akhirnya, masyarakat terpaksa memilih daya 1300 VA. Bila golongan 1300 VA
dinaikan juga tarif listriknya, maka otomatis masyarakat miskin (khususnya kaum
miskin kota) yang hendak melakukan pemasangan baru akan membayar tarif listrik
yang tinggi, karena harus memilih daya 1300 VA.
Setiap kebijakan tentu memiliki plus minusnya, termasuk rencana kenaikan
tarif listrik ini. Bila plusnya adalah tersalurkannya subsidi listrik yang
lebih tepat sasaran dan lebih proporsional, namun ada dampak yang perlu menjadi
perhatian serius, bahwa sumber dari permasalahan terlalu besarnya subsidi
listrik ini adalah keterlambatan proyek percepatan pembangkit 10.000 MW, masih
besarnya penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk pembangkit, serta adanya
kontradiksi tanggungjawab yang dibebankan dipundak PLN, dimana PLN sebagai
persero yang mengejar keuntungan juga ditugaskan melakukan kewajiban pelayanan
umum (Public Service Obligation/PSO). Kondisi ini menyebabkan PLN berada dalam
situasi yang dilematis, khususnya ketika harga minyak meroket, satu sisi PLN perlu
mencari laba yang besar dengan berupaya meningkatkan margin yang besarnya 7%
dari BPP, yaitu dengan cara meningkatkan pembangkit BBM, sehingga akhirnya
besaran subsidi pun membengkak.
Berdasarkan evaluasi, keterlambatan penyelesaian proyek 10.000 MW tahap I
sangat berdampak negatif terhadap rencana pencapaian target energy mix pembangkit-pembangkit
milik PLN, yaitu mengurangi konsumsi BBM dengan cara mensubtitusi pembangkit
berbahan bakar BBM dengan pembangkit berbahan bakar batubara (PLTU).
Setiap 1
bulan keterlambatan penyelesaian proyek 10.000 MW tahap I per 100 MW akan
mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 132 miliar. Angka tersebut didapat
dari selisih biaya pembangkitan listrik menggunakan bahan bakar BBM dengan
batubara. Akibatnya, PLN kehilangan kesempatan melakukan penghematan biaya
bahan bakar sebesar Rp.17,9 Trilyun pada tahun 2009 dan Rp.19,7 Trilyun pada
tahun 2010 (Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pemeriksaan dengan tujuan
tertentu sektor hulu listrik pada PT. PLN, pada 16 September 2011).
Maka dari
itu, bila TTL dinaikan tanpa membenahi permasalahan di hulu tersebut, sama saja
dengan mengobati penyakit dengan obat analgesik, sembuh sementara sambil
menunggu kambuh lagi.
Namun bila
TTL tidak dinaikan, beban APBN akan semakin berat, defisit negara akan
bertambah sebesar Rp.11 Trilyun, atau diperkirakan sebesar 1,62 persen dari
produk domestik bruto (PDB), dan yang lebih parah lagi, penyaluran subsidi
listrik akan semakin tidak adil. #
No comments:
Post a Comment