Hingga saat ini, fenomena Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) sering menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak
pihak, baik penulis, peneliti, pengamat dan lain sebagainya. Setidaknya
berbagai kajian baik berupa buku maupun karya ilmiah tentang PKS sudah sangat
banyak dan selalu menjadi topik hangat dikalangan publik.
Diantara berbagai kajian itu, yang
paling mutakhir adalah sebuah buku berjudul Dilema PKS, ditulis oleh Burhanudin
Muhtadi. Namun sayang, terdapat berbagai kelemahan dan kekeliruan mendasar
dalam buku ini, boleh jadi karena ketergesaan Burhanudin membuat tali simpul antara
berita yang “menghantam” PKS diberbagai media dan peristiwa, dengan kenyataan
internal yang sesungguhnya terjadi dalam tubuh PKS itu sendiri.
Dari keseluruhan isi buku tersebut,
masalah dilema yang dihadapi PKS hanya dibahas 1 bab saja (yaitu di bab 7) yang
porsinya hanya 50an halaman atau hanya 20% dari keseluruhan isi buku. Sedangkan
isi buku atau bab-bab lainnya yang mewarnai buku ini justru seputar asal usul
kelahiran PKS, keberhasilan PKS membingkai isu-isu transnasional Islamis, serta
sepak terjang dan tantanganya dimasa depan, sehingga keterkaitan antara judul
dan pesan yang ingin disampaikan buku ini menjadi tidak nyambung / kabur,
Justru seharusnya pertanyaannya dikembalikan, apakah ini memang PKS yang sedang
menghadapi dilema, atau malah Burhan yang gamang dan bingung menyaksikan aksi
akrobatik PKS. Cermin yang diletakan Burhan untuk melihat keseluruhan
tubuh PKS terlalu kecil, sehingga tidak tampak seluruh wajah dan badannya.
Kegagalan “menyalin” juga terlihat dalam
buku ini, di halaman 38 Burhan menulis hubungan antara melambungnya harga
minyak pada thn 1970an dengan hubungan Rabithah-DDII (Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia) yang semakin erat. Sulit dicerna karena tidak adanya penjelasan
antara harga minyak yang melonjak dengan hubungan Rabitah-DDII. Memang harga
minyak pada 1970 meningkat tajam karena iklim politik ekonomi, Libya mengurangi
produksi minyak lebih dari 1Juta Barrel per Hari dan Aljazair menasionalisasi
perusahaan minyak dan menentukan harga minyak sendiri. Tapi perlu diingat,
konsumsi minyak saat itu terus turun akibat konservasi energi yang menyebabkan
OPEC dan Arab Saudi berada dalam keadaan sulit. Tidak adanya penjelasan yang
rasional (meskipun hanya sedikit) membuat “salinan” Burhan terkesan “tidak
nyambung.”
Dalam membandingkan perbedaan Hizbut
Tahrir (HT) dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Burhan juga terkesan tidak
proporsional dan melupakan konteks kekinian. Penjelasan tentang aktifis LDK
yang percaya bahwa demokrasi bisa jadi solusi menegakan Negara Islam, memang
sudah wacana yang juga diakui dikalangan Muhammadiyah misalnya. Namun
mengatakan HT sangat keras menolak gagasan sistem demokrasi karena dinilai
buatan manusia (halaman 41), harusnya informasi Burhan tidak berhenti disini,
karena sekarang ini HT justru yang paling rajin berdialog dengan DPR hasil
demokrasi yang dianggapnya bertentang dengan nilai-nilai HT sendiri. Penggalian
lebih jauh harusnya dengan mewawancarai tokoh HT, sehingga tidak
kontraproduktif terhadap LDK maupun HT.
Sebagai buku yang menggunakan
metodologi & sintesa pendekatan dengan teori gerakan sosial, Burhan justru
tidak jelas menyebut dari mana asal usul penamaan “Jamaah Tarbiyah” sebagai
gerakan sosial yang menjadi cikal bakal PKS. Padahal jika ia memanfaat sisi
insidernya (yaitu mencari informasi dari istrinya yang kader PKS), seharusnya
bisa didapat informasi yang lebih jernih. Referensi yang diambil Burhan untuk
menjelaskan penamaan/penyebutan Jamaah Tarbiyah justru diambil dari outsider
dan pengarang-pengarang barat. Entah diketahui atau tidak oleh sang istri, di
internal sendiri sebenarnya jarang bahkan hampir tidak pernah menyebut
Jamaah Tarbiyah dalam rangkaian satu kata.
Kekeliruan Burhan juga terlihat di
halaman 45, dengan menyebut Ikhwan dan offshotsnya (cabangnya) menganut
pandangan yang sama dibanyak tempat, yaitu “Al-Jamaah hiya al-hizb wa al-hizb
huwa al-jama’ah.” Kalau Burhan mau teliti lagi, konsep “Al-Jamaah hiya al-hizb
wa al-hizb huwa al-jama’ah” hanya ada di Indonesia. Sehingga Burhan terlalu gegabah
dalam mengungkapkan keinginannya untuk menghubungkan PK & PKS dengan Jamaah
Ikhwan & kelompok Islam Mesir.
Membandingkan PK dengan PKS dalam
hal capaian electoral, Burhan juga tidak melakukan komparasi apple to apple,
bahwa PK di Pemilu 1999 baru berusia 2 tahun, sedangkan PKS di Pemilu 2004 sudah
berumur 7 tahun, sehingga jelas perbedaan Partai yang sudah bekerja 7 tahun dengan
2 tahun akan memiliki performa dan result yang berbeda. Ini tidak
diinformasikan Burhan, justru dia menulis strategi PKS menempuh jalur
non-Islamis dengan memainkan isu anti korupsi dan slogan “bersih dan peduli.”
Dengan menyebut “bersih dan peduli”
sebagai strategi non-islamis, seolah Burhan lupa bahwa Islam mencintai
kebersihan sebagaimana hadits “Kebersihan adalah sebagian dari Iman,” serta kisah
seorang Preman yang baru masuk Islam kemudian Rasulullah SAW katakan “Yang
pertama engkau lakukan adalah jujur.” Demikian juga dengan kepedulian yang
merupakan substansi dari ajaran Islam.
Kajian yang ahistoris juga mencuat
dalam buku ini, misalnya dengan menyebut tokoh pendiri KAMMI hanya (dimisalkan)
Fahri Hamzah, sama sekali tidak disebut Mustafa Kamal misalnya. Atau di halaman
45, karena terlalu berkeinginan menyambungkan KAMMI dengan PKS, Burhan seakan
bernafsu mencari tali simpul dengan menyebut Ketua KAMMI Fahri Hamzah dan ketua
KAMMI berikutnya Andi Rahmat, padahal sebelum Andi Rahmat ada Fitra Arsil,
mungkin karena Fitra tidak jadi anggota DPR sehingga tidak diakomodir dalam
pembahasan.
Kalau Burhan berniat serius
menghubungkan Ormas dengan Partai, seperti yang dilakukannya di halaman 45
tersebut dengan menghubungkan KAMMI dengan PKS, apa yang dilakukan Burhan dalam
buku ini sangatlah tidak optimal. Harusnya Burhan menjelaskan juga bagaimana korelasi
Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan PKS. Untuk melakukan ini sebenarnya sangat
mudah, Burhan tinggal mengklik google search dengan kata “tokoh PII dan PKS”
maka akan muncul nama-nama seperti Mutammimul Ula, Dani Anwar, Nurmahmudi
Ismail dan Tifatul Sembiring, sebagai tokoh PII yang juga tokoh PKS. Bila ini
dilakukan, tentu akan lebih fair dan bermakna, dengan menggambarkan lebih
komprehensif seperti apa kaitan KAMMI dengan PKS dan PII dengan PKS, sehingga
analisanya tidak terkesan “tendensius.”
Yang juga terlihat mencolok, adalah kajian
terhadap wacana partai terbuka dalam buku ini menggunakan sumber yang nyaris
tunggal, dengan hanya menyediakan kolom dan statemen bagi beberapa tokoh yang
mengusulkan wacana/isu keterbukaan saja, sementara tidak cukup ruang bagi tokoh
lain baik internal maupun eksternal Partai yang disediakan dalam buku ini. Sehingga
asas penulisan buku cover both side tidak mendapat perhatian memadai oleh
Burhan. Substansi isu keterbukaan itu sendiri tidak begitu detail / mencuat
dibahas di buku ini. Karena itu, kesan buku ini merupakan pesan sponsor menjadi
sangat kuat. #
2 comments:
Ustadz, mohon izin. Ana ingin copas tulisan ustadz di blog pribadi ana.
Tlg infokan secepatx di sini atw via sms ke 08567206850
Maaf hadist riwayat siapa yang menyebutkan Kebersihan sebagian dr Iman??trims atas penjelasannya...^^,
Post a Comment