Wednesday, May 02, 2012

Koreksi terhadap Buku Dilema PKS


Hingga saat ini, fenomena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sering menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak pihak, baik penulis, peneliti, pengamat dan lain sebagainya. Setidaknya berbagai kajian baik berupa buku maupun karya ilmiah tentang PKS sudah sangat banyak dan selalu menjadi topik hangat dikalangan publik.

Diantara berbagai kajian itu, yang paling mutakhir adalah sebuah buku berjudul Dilema PKS, ditulis oleh Burhanudin Muhtadi. Namun sayang, terdapat berbagai kelemahan dan kekeliruan mendasar dalam buku ini, boleh jadi karena ketergesaan Burhanudin membuat tali simpul antara berita yang “menghantam” PKS diberbagai media dan peristiwa, dengan kenyataan internal yang sesungguhnya terjadi dalam tubuh PKS itu sendiri.

Dari keseluruhan isi buku tersebut, masalah dilema yang dihadapi PKS hanya dibahas 1 bab saja (yaitu di bab 7) yang porsinya hanya 50an halaman atau hanya 20% dari keseluruhan isi buku. Sedangkan isi buku atau bab-bab lainnya yang mewarnai buku ini justru seputar asal usul kelahiran PKS, keberhasilan PKS membingkai isu-isu transnasional Islamis, serta sepak terjang dan tantanganya dimasa depan, sehingga keterkaitan antara judul dan pesan yang ingin disampaikan buku ini menjadi tidak nyambung / kabur, Justru seharusnya pertanyaannya dikembalikan, apakah ini memang PKS yang sedang menghadapi dilema, atau malah Burhan yang gamang dan bingung menyaksikan aksi akrobatik PKS. Cermin yang diletakan Burhan untuk melihat keseluruhan tubuh PKS terlalu kecil, sehingga tidak tampak seluruh wajah dan badannya.

Kegagalan “menyalin” juga terlihat dalam buku ini, di halaman 38 Burhan menulis hubungan antara melambungnya harga minyak pada thn 1970an dengan hubungan Rabithah-DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang semakin erat. Sulit dicerna karena tidak adanya penjelasan antara harga minyak yang melonjak dengan hubungan Rabitah-DDII. Memang harga minyak pada 1970 meningkat tajam karena iklim politik ekonomi, Libya mengurangi produksi minyak lebih dari 1Juta Barrel per Hari dan Aljazair menasionalisasi perusahaan minyak dan menentukan harga minyak sendiri. Tapi perlu diingat, konsumsi minyak saat itu terus turun akibat konservasi energi yang menyebabkan OPEC dan Arab Saudi berada dalam keadaan sulit. Tidak adanya penjelasan yang rasional (meskipun hanya sedikit) membuat “salinan” Burhan terkesan “tidak nyambung.”

Dalam membandingkan perbedaan Hizbut Tahrir (HT) dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Burhan juga terkesan tidak proporsional dan melupakan konteks kekinian. Penjelasan tentang aktifis LDK yang percaya bahwa demokrasi bisa jadi solusi menegakan Negara Islam, memang sudah wacana yang juga diakui dikalangan Muhammadiyah misalnya. Namun mengatakan HT sangat keras menolak gagasan sistem demokrasi karena dinilai buatan manusia (halaman 41), harusnya informasi Burhan tidak berhenti disini, karena sekarang ini HT justru yang paling rajin berdialog dengan DPR hasil demokrasi yang dianggapnya bertentang dengan nilai-nilai HT sendiri. Penggalian lebih jauh harusnya dengan mewawancarai tokoh HT, sehingga tidak kontraproduktif terhadap LDK maupun HT.

Sebagai buku yang menggunakan metodologi & sintesa pendekatan dengan teori gerakan sosial, Burhan justru tidak jelas menyebut dari mana asal usul penamaan “Jamaah Tarbiyah” sebagai gerakan sosial yang menjadi cikal bakal PKS. Padahal jika ia memanfaat sisi insidernya (yaitu mencari informasi dari istrinya yang kader PKS), seharusnya bisa didapat informasi yang lebih jernih. Referensi yang diambil Burhan untuk menjelaskan penamaan/penyebutan Jamaah Tarbiyah justru diambil dari outsider dan pengarang-pengarang barat. Entah diketahui atau tidak oleh sang istri, di internal sendiri sebenarnya jarang bahkan hampir tidak pernah menyebut  Jamaah Tarbiyah dalam rangkaian satu kata.

Kekeliruan Burhan juga terlihat di halaman 45, dengan menyebut Ikhwan dan offshotsnya (cabangnya) menganut pandangan yang sama dibanyak tempat, yaitu “Al-Jamaah hiya al-hizb wa al-hizb huwa al-jama’ah.” Kalau Burhan mau teliti lagi, konsep “Al-Jamaah hiya al-hizb wa al-hizb huwa al-jama’ah” hanya ada di Indonesia. Sehingga Burhan terlalu gegabah dalam mengungkapkan keinginannya untuk menghubungkan PK & PKS dengan Jamaah Ikhwan &  kelompok Islam Mesir.

Membandingkan PK dengan PKS dalam hal capaian electoral, Burhan juga tidak melakukan komparasi apple to apple, bahwa PK di Pemilu 1999 baru berusia 2 tahun, sedangkan PKS di Pemilu 2004 sudah berumur 7 tahun, sehingga jelas perbedaan Partai yang sudah bekerja 7 tahun dengan 2 tahun akan memiliki performa dan result yang berbeda. Ini tidak diinformasikan Burhan, justru dia menulis strategi PKS menempuh jalur non-Islamis dengan memainkan isu anti korupsi dan slogan “bersih dan peduli.”

Dengan menyebut “bersih dan peduli” sebagai strategi non-islamis, seolah Burhan lupa bahwa Islam mencintai kebersihan sebagaimana hadits “Kebersihan adalah sebagian dari Iman,” serta kisah seorang Preman yang baru masuk Islam kemudian Rasulullah SAW katakan “Yang pertama engkau lakukan adalah jujur.” Demikian juga dengan kepedulian yang merupakan substansi dari ajaran Islam.

Kajian yang ahistoris juga mencuat dalam buku ini, misalnya dengan menyebut tokoh pendiri KAMMI hanya (dimisalkan) Fahri Hamzah, sama sekali tidak disebut Mustafa Kamal misalnya. Atau di halaman 45, karena terlalu berkeinginan menyambungkan KAMMI dengan PKS, Burhan seakan bernafsu mencari tali simpul dengan menyebut Ketua KAMMI Fahri Hamzah dan ketua KAMMI berikutnya Andi Rahmat, padahal sebelum Andi Rahmat ada Fitra Arsil, mungkin karena Fitra tidak jadi anggota DPR sehingga tidak diakomodir dalam pembahasan.

Kalau Burhan berniat serius menghubungkan Ormas dengan Partai, seperti yang dilakukannya di halaman 45 tersebut dengan menghubungkan KAMMI dengan PKS, apa yang dilakukan Burhan dalam buku ini sangatlah tidak optimal. Harusnya Burhan menjelaskan juga bagaimana korelasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan PKS. Untuk melakukan ini sebenarnya sangat mudah, Burhan tinggal mengklik google search dengan kata “tokoh PII dan PKS” maka akan muncul nama-nama seperti Mutammimul Ula, Dani Anwar, Nurmahmudi Ismail dan Tifatul Sembiring, sebagai tokoh PII yang juga tokoh PKS. Bila ini dilakukan, tentu akan lebih fair dan bermakna, dengan menggambarkan lebih komprehensif seperti apa kaitan KAMMI dengan PKS dan PII dengan PKS, sehingga analisanya tidak terkesan “tendensius.”

Yang juga terlihat mencolok, adalah kajian terhadap wacana partai terbuka dalam buku ini menggunakan sumber yang nyaris tunggal, dengan hanya menyediakan kolom dan statemen bagi beberapa tokoh yang mengusulkan wacana/isu keterbukaan saja, sementara tidak cukup ruang bagi tokoh lain baik internal maupun eksternal Partai yang disediakan dalam buku ini. Sehingga asas penulisan buku cover both side tidak mendapat perhatian memadai oleh Burhan. Substansi isu keterbukaan itu sendiri tidak begitu detail / mencuat dibahas di buku ini. Karena itu, kesan buku ini merupakan pesan sponsor menjadi sangat kuat. #

2 comments:

jodiprakoso said...

Ustadz, mohon izin. Ana ingin copas tulisan ustadz di blog pribadi ana.
Tlg infokan secepatx di sini atw via sms ke 08567206850

cyb3rmoslem said...

Maaf hadist riwayat siapa yang menyebutkan Kebersihan sebagian dr Iman??trims atas penjelasannya...^^,