Wednesday, October 27, 2010

INDONESIA BUTUH PEMIMPIN MUDA

“Berikan kepadaku 1000 orang tua, aku sanggup mencabut Semeru dari uratnya. Tapi berikan kepadaku 10 pemuda, maka aku sanggup menggoncangkan dunia,” demikian kutipan pernyataan yang sangat populer dari Mantan Presiden RI Soekarno. Pernyataan yang sangat abadi dan tak lekang oleh waktu, terus dikenang hingga sekarang.

Pernyataan Bung Karno ini menyiratkan begitu pentingnya sosok pemuda dalam membangun kejayaan bangsa. Sebab, pemuda telah terlepas dari dua kelemahan mendasar, yaitu kelemahan akal pada masa anak-anak dan kelemahan fisik pada masa tua. Ibarat cahaya matahari, sinarnya di siang hari, pastinya lebih kuat dibanding di pagi dan senja hari.

Dalam sejarah agama, fenomena anak-anak muda telah menggoreskan lembaran sejarah dengan tinta emas. Sebutlah kisah heroik sejumlah pemuda kahfi yang diabadikan Al-qur'an dalam sebuah surat, yang disebut Surat Al-Kahfi. Atau kisah para Nabi dan Rasul yang berasal dari kalangan muda terpilih. Demikian juga Kisah Ashabul Ukhdud, yang menceritakan seorang pemuda yang awalnya akan dikader menjadi ahli sihir, ternyata pemuda tersebut menyeru sang Raja dengan gagah berani dan mempengaruhi seluruh penduduk di negeri itu agar kembali kepada kebenaran. Saking besarnya pengaruh pemuda tersebut, seluruh rakyat pun rela mati mencebur kedalam parit dengan api yang membakar, meski sang pemuda tersebut telah mati. Sebuah negeri berguncang, hanya karena satu orang pemuda saja, yang hidup dimasa antara Nabi Isa a.s dan Nabi Muhammad SAW.

Sekarang kita lihat sejarah bangsa kita. Maka kita akan menemukan bahwa “The Founding Fathers” bangsa ini memproklamirkan Kemerdekaan dan Eksistensi Bangsa pada usia muda. Bung Karno menjadi Presiden pada usia kurang lebih 44 tahun dan Bung Hatta saat itu berusia 43 tahun. Sebelumnya kita mengenal tokoh pergerakan Budi Oetomo, seperti dr Sutomo dan dr Wahidin Sudirohusodo, serta pendiri Sarekat Islam, HOS Cokroaminoto, adalah orang-orang muda pada zamannya.

Kenapa memilih pemuda ?
Secara umum, masa muda merupakan jenjang kehidupan manusia yang paling optimal. Adanya kematangan akal, jasmani, dan perasaan, sangat wajar bila pemuda memiliki potensi besar dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Pemikiran yang kritis banyak dimiliki anak muda. Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sangat didambakan rakyat. Ibarat katalis yang dapat mempercepat perubahan, atau arsitek yang akan membangun peradaban masa depan. Menjadi Gen Rekombinan yang mampu membuat pembaharuan bagi masyarakat yang berkembang atau memberi jalan untuk memajukan masyarakat yang hidup terkebelakang.

Seorang pemuda akan selalu bicara mengenai semangat, antusiasme, idealisme, perjuangan, kepahlawanan, patriotisme, kerja keras, dan pantang menyerah. Dalam berbagai teori dan makalah, mereka disebut sebagai unsur perubah (agent of change) yang akan melepaskan bangsa yang terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Dan pada saat yang sama, mereka adalah motor penggerak kemajuan ketika negara melakukan proses pembangunan. Baik buruknya nasib bangsa, bergantung pada kondisi pemuda di negeri itu. Bahkan peralihan suatu peradaban, juga ada di pundak mereka.

Bila seorang pemuda memimpin, maka ia akan memimpin dengan pengaruh, bukan memimpin dengan kewenangan & jabatan (otoritas). Itulah alasan mengapa seorang pemuda yang menjadi pemimpin, biasanya akan memiliki pengaruh yang sangat luas, menjadi fenomena populer dikalangan rakyat, sehingga “umur kepemimpinannya” akan berlangsung lama. Sebutlah Presiden Soeharto ketika pertama kali memimpin bangsa ini pada usia 46 tahun, atau Presiden Iran sekarang, Mahmoud Ahmadinejad yang memimpin Iran diusia 40 tahun. Atau Presiden Venezuela Hugo Chavez yang berusia 46 tahun. Atau John F. Kennedy yang menjadi Presiden Amerika saat berusia 46 tahun. Ditaati karena kuat pengaruhnya, sehingga rakyat sayang padanya. “They follow you because they want to, they love to, or because what you have done for them.”

Perbedaaannya begini, pemimpin yang punya pengaruh kuat, akan muncul karena orang merasa ia layak dicintai dan dihormati. Itu karena ia sering berbuat baik padanya, berkata jujur, dan ia menunjukkan performa yang mengesankan. Ini yang terjadi diawal masa kepemimpinan Pak Harto. Tentu posisi ini berbeda dengan karakter pemimpin lain yang tegas, namun selalu berkata, “Kalau saya tidak beri persetujuan, lalu apa yang anda inginkan?” Orang terpaksa mengikutinya karena keharusan, atau karena kewenangan pemimpin itu, atau karena pemimpin itu punya hak membuat keputusan dan legalitas, seperti kata Jhon Maxwell, ”They follow you because they have to.”

Pemimpin muda yang terpilih karena pengaruh dan kharisma yang kuat, akan bercita-cita menjadikan anak buahnya menjadi pemimpin kelak ketika ia sudah tua nanti. Baginya “leaders create other leaders.” Karena prinsip yang digunakan adalah “seorang pemimpin yang sukses akan melahirkan pemimpin baru.” Sedangkan pemimpin yang menjalankan masa kepemimpinan karena kewenangan dan jabatannya, akan cenderung diktator dan kejam, sehingga hanya menjadikan anak buahnya sebagai pengikut. Selalu sebagai pengikut saja. “Leaders create followers.” Karakter pemimpin seperti ini tak akan lama, sehingga sulit mengatakan “ada generasi penerusnya”, seperti sejarah Hitler atau Mussolini.

Apa yang terjadi di Rusia belakangan ini, layak kita cermati untuk jadi pelajaran berharga tentang regenerasi kepemimpinan. Dmitry Anatolyevich Medvedev, adalah kader yang menjadi generasi penerusnya Presiden Vladimir Putin. Mulai dari menjadi konsultan hukum di beberapa institusi Pemerintah, lalu menjadi Walikota Leningrad, hingga menjadi Manajer Kampanye bagi Vladimir Putin, Wakil Kepala Badan Administrasi Kepresidenan dan Wakil Pertama Perdana Menteri. Kini, Medvedev pun telah menjadi Presiden Rusia, tentu di usia yang masih muda, 45 tahun.

Mencari Pemimpin Muda, bukan Pimpinan Muda
Produk zaman feodal adalah kepemimpinan ortodoks, yang menganggap dirinya sebagai seorang pimpinan. Seluruh perkara akan diselesaikan seperti di hutan rimba. Yang kuat yang menang, yang punya duit yang berkuasa. Semua timbangan dilihat dalam satu perspektif, menguntungkan secara politis, bagi-bagi kekuasaan, sehingga melanggengkan eksistensi kepentingan pribadi. Karena itu, mereka disebut pimpinan dan bukan seorang pemimpin.

Pemimpin dan pimpinan adalah dua kata berbeda. Karena pemimpin bukanlah sinonim dari pimpinan. Jika kita mendefinisikan hal yang sama terhadap dua hal ini, maka sesungguhnya kita sendiri telah merusak makna posistif dari istilah kepemimpinan itu. Karena pemimpin adalah seorang leader, tapi pimpinan adalah seorang manajer. Seorang pimpinan hanya mampu mengatur apa yang dipimpinnya, mengorganisasi, dan menjadi ketua untuk tujuan tertentu saja. Namun, seorang leader atau pemimpin adalah seorang pimpinan, tapi ia juga pabrik semangat, pemompa potensi “rakyat” yang dipimpinnya, pelayan untuk tercapainya tujuan, serta tempat berlindung orang-orang yang dipimpinnya. Ia berkomunikasi dan mengatur segala sesuatu untuk mengerjakan apa-apa yang terbaik bagi anggotanya dan timnya.

Hal ini yang menjadi titik referensi kita bahwa yang dicari adalah pemimpin. Terlebih lagi bila digabungkan dengan sosok yang sedang dicari, yaitu pemuda. Ekspektasinya adalah terciptanya pemimpin muda yang memiliki karakter sebagai pembelajar sejati, yang mampu mengambil manfaat dari suatu pengalaman yang ia lewati (baik ataupun buruk), dari tindakan yang pernah ia putuskan, serta tidak akan berhenti untuk menambah wawasan dan ilmunya. Ini yang rasanya “tak mungkin” dilakukan oleh seorang pimpinan, atau seorang “pemimpin tua.”
Itulah mengapa pemimpin muda itu, denyut jantungnya bagai tak berhenti, semangatnya seakan selalu meletup-letup. Meski jasad mereka telah terkubur, namun jiwanya seolah masih hidup.

Ini Mutlak, Regenerasi Kepemimpinan untuk Pemimpin Muda
Bila kita cermati sejarah kepemimpinan di Indonesia, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, maka akan terlihat bahwa masalah terbesar dalam institusi negara, pemerintahan, dan partai politik di Indonesia adalah rotasi kepemimpinan yang berjalan lambat. Penyebabnya, tingkat ekonomi, sosial, dan pendidikan masyarakat masih mengalami keterbelakangan, sehingga masyarakat masih akan menggantungkan pilihan pemimpinnya pada figur yang sudah dikenal.

Contohnya Pemilu 2009 lalu, Kandidat Presiden masih di dominasi wajah lama, yang usianya sudah menginjak 60 tahun. Sebutlah Megawati, Yusuf Kalla, atau Wiranto, masih menjadi figur yang sulit dicari “tandingannya.” Opini yang sering dipakai adalah sulitnya mengandalkan platform saja untuk meyakinkan rakyat, itu sangat abstrak, publik sulit memahami, sehingga tetap dibutuhkan pemimpin “wajah lama yang sudah populer” sebagai simbol dan bentuk perwajahan dari sebuah gagasan yang ditawarkan.

Kondisi ini yang menyebabkan sulitnya lahir pemimpin baru karena tidak populer, tidak jelas apa yang dibawanya, tidak tentu dari mana asalnya, atau ideologinya. Karena tidak dikenal dimata rakyat, akhirnya diragukan kapabilitasnya.

Padahal di negeri lain, trend pemimpin muda sudah jadi langganan Pemilu. “The Rising Star” dari kaum muda bermunculan silih berganti. Meski termasuk negara kecil, Bhutan telah memunculkan sosok pemimpin muda, Jigme Khesar Namgyel Wangchuck (lahir 21 Februari 1980) adalah Raja Dragon Bhutan kelima dan kepala dinasti Wangchuck. Ia juga menjadi kepala negara termuda di dunia.

Atau Andry Nirina Rajoelina, Presiden Madagaskar yang berusia 34 tahun. Padahal Rajoielina bukan hanya tidak dikenal di Madagaskar (dia hanya dikenal di kota Antanarivo), tapi juga tidak populer karena ditolak oleh Uni Eropa dan Uni Afrika, serta pengambilan sumpahnya sebagai Presiden baru tidak dihadiri oleh Negara Sahabat. Lebih jauh lagi, mantan walikota Antanarivo ini juga menabrak konstitusi yang berlaku disana, yang menyatakan usia Presiden minimal adalah 40 tahun.

Namun reaksi cepat Rajoelina untuk mengurangi kemiskinan dengan menjual pesawat kepresidenan Air Force One yang belum lama dibeli Marc Ravalomanana (Presiden sebelumnya), disambut meriah penduduk negeri Madagaskar, seolah-olah Konstitusi tentang batas umur Pemimpin mereka tidak berlaku lagi.

Itu baru sebagian, belum lagi cerita pemimpin muda dibelahan dunia lainnya saat ini, sebutlah Lee Myung Bak di Korea, Lee Hsien Long di Singapura, Ma Ying Jeou di Taiwan, Abhisit di Thailand, Timoschecko di Ukraina, dan juga tentunya Barrack Obama, yang memimpin Amerika di usia 46 tahun.

Sejarah Revolusi juga mencatat kaum muda sebagai pelopor yang menumbangkan pemimpin diktator. Sebutlah Revoulsi Perancis yang menumbangkan kekuasaan monarki dan gereja yang dipelopori oleh kaum intelektual muda. Atau Revolusi Hongaria meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa yang menentang pendudukan Uni Soviet dan pemerintahan boneka. Termasuk juga Eropa Barat yang menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang tahun 60-an, atau pemuda Spanyol yang bangkit menentang diktator Jenderal Franco pada 1965.

Di dunia Islam Asia-Afrika, para pemudalah yang terlibat dalam Revolusi Aljazair 1954, mengenyahkan penjajahan Perancis dari tanah air mereka. Para pemuda juga berhasil mengusir Inggris dari Mesir. Bahkan di Palestina, anak-anak muda dari mulai yang masih bocah, telah meletuskan gerakan intifadhah melawan penjajahan Israel.

Menerobos Stagnasi, Membangkitkan “Batang Terendam”
Memang, ada statemen yang “melecehkan” kepemimpinan muda, dengan berkaca pada pernak-pernik sejarah yang mengungkapkan bahwa pelaku korupsi sekarang ini adalah mereka yang sejak muda duduk di Parlemen, menjadi Menteri, sehingga leluasa mengeruk kekayaan Negara. Padahal mereka itulah yang dulunya demonstrasi menggulingkan rezim Soeharto, dan “memaksakan” pergantian kepemimpinan yang sudah cenderung korup.

Setelah itu, kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat eksekutif dan legislatif, ternyata melibatkan tokoh-tokoh muda tadi. Kinerjanya juga tak jauh berbeda dengan kalangan politisi senior. Bahkan terbongkarnya beberapa skandal suap di DPR atau korupsi berjamaah yang marak di DPRD-DPRD diberbagai daerah pada awal reformasi misalnya, juga melibatkan tokoh-tokoh muda. Di awal Orde Baru, banyak tokoh muda menjadi legislator di Senayan maupun masuk menjadi anggota Kabinet, namun sebagian besar mereka “melebur” di dalam sistem korup. Di masa reformasi, lapisan tokoh muda yang berkiprah di legislatif dan eksekutif juga “terjebak oleh sistem”, ikut memanfaatkan realitas hukum yang kacau dan masyarakat yang bodoh secara politik, terutama di daerah-daerah tertinggal. Belakangan, sebagian mereka juga tampil dalam pertarungan politik dengan mengandalkan “industri pencitraan politik”, seperti tercermin dari iklan-iklan politik, memanfaatkan jaringan dengan deal-deal politik dagang sapi, yang miskin visi dan substansi. Boro-boro maju, Reformasi yang diidam-idamkan pun jalan ditempat, stagnan.

Ini seperti sebuah keniscayaan sejarah yang berulang, tokoh-tokoh senior yang dituding korup di masa Orde Baru dan era reformasi, pada mulanya juga tampil sebagai tokoh muda.
Namun harapan bukan hanya sebatas harapan. Kenyataan seperti itu bukan sesuatu yang patut diherankan. Begitupun dengan wacana kepemimpinan muda bukan hanya sebatas postulat yang di “kuliahkan” di Kampus-kampus atau di ceramahkan di mimbar-mimbar. Namun, dibutuhkan ruang diskusi untuk berkumpul dan bertukar pikiran, karena pemimpin muda tidak tumbuh sendiri. Ada kawanan “serigala” yang menginginkan kaderisasi “tikus-tikus” Parlemen, sehingga mempertajam “taringnya” untuk menerkam “domba.”

Ibarat pedang yang tajam, ketajamannya tidak menjadi penentu bermanfaat-tidaknya pedang tersebut. Orang yang menggenggam pedang itulah yang menentukannya. Pedang yang tajam terkadang digunakan untuk menumpas kebaikan dan mengibarkan kemaksiatan, jika dipegang oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, ketajaman pedang itu akan membawa manfaat, jika berada di tangan orang yang benar.

Demikian juga dengan potensi pemuda. Potensi yang begitu hebat itu bisa dipergunakan untuk menjunjung tinggi kebaikan, bisa juga untuk memperkokoh kejahatan dan kedurjanaan. Itulah jawaban mengapa begitu banyak contoh pemuda yang berjasa menjadi pilar penentu kemajuan suatu peradaban, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi peradaban, dan menghancurkan kemuliaan suatu tatanan kehidupan.

Pandangan skeptis akan sebuah potensi pemuda tentu tak boleh dipelihara. Betapapun, bangsa kita masih menyisakan kelompok-kelompok muda progresif dan visioner. Harapan tercurah kepada mereka untuk membangkitkan “batang terendam” (Istilah dalam bahasa Melayu yang berarti Tak Layu ditelan Zaman). Banyak potensi-potensi pemuda yang belum tergali, bakat-bakat yang masih terpendam. Seperti dalam cerita-cerita kemenangan seorang atlet dalam pertandingan Olahraga, kadang kita terkaget dengan keberhasilan seorang atlet yang bisa menjadi Juara ditengah atlet-atlet favorit Juara. Lalu kita pun menyebutnya “Dia (atlet itu) ternyata punya bakat terpendam”.

Bila “batang terendam” itu sudah muncul ke permukaan, maka hanya ada 3 solusi untuk mengatasi masalah kepemimpinan nasional sekarang ini, yaitu Pemimpin Muda, Pemimpin Muda, dan Pemimpin Muda. #

No comments: