Thursday, June 24, 2010

Seni Berdakwah ala PKS

Berbagai “nada“ bermunculan terkait kebijakan mengakomodir kalangan non-muslim dalam keanggotaan PKS. Ada nada menolak, nada mempertanyakan, merisaukan, menertawakan, menyesalkan sampai tentunya ada juga yang mendukung.

Rasanya memang seperti itu juga yang diharapkan PKS. Jadi berita dibanyak media, mencuat ke permukaan, dan yang pasti, menguntungkan secara politis. Tinggal bagaimana nada-nada itu dipadukan dalam suatu pertunjukan musik ala PKS sehingga bisa terdengar merdu.

Sebenarnya sulit membayangkannya… Bagaimana mungkin sebuah grup musik band yang sudah beranggotakan drum dan gitar, akan ditambah lagi dengan Biola, Seruling, Kecapi, Tamborin, Gamelan, Sasando, Saxophone atau Vuvuzela (Terompet yang digunakan rakyat Afrika di Piala Dunia 2010). Seperti halnya keanggotaan PKS yang berasal dari kalangan muslim, baik NU, Muhammadiyyah, Persis, dll. Lalu akan ditambah dari umat Nasrani, Hindu, dan Budha.

Inilah justru tantangannya Bagaimana memetik biola sambil memukul Rebana, bagaimana memetik piano sambil meniup seruling. Kalau nada dan iramanya berhasil, ini bisa jadi pertunjukan musik paling dasyhat abad ini.

Statement yang paling sering muncul dimedia adalah : PKS mulai bergerak ke tengah (maksudnya dari kanan – ideologi Islam – ke arah tengah/moderat) . Hampir sama dengan apa yang dilakukan PDIP ketika membentuk Baitul Muslimin. Hanya bedanya, PDIP bergeser dari ekstrem kiri ke tengah, atau 'mencampakan' ideologi kirinya, dengan maksud untuk merangkul kaum muslimin.

Namun sepertinya kurang tepat bila PKS disebut bergerak dari “sayap kanan” ke tengah. Lebih enak kalau disebut PKS melebarkan sayap sampai ke tengah dan berupaya menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, tanpa meninggalkan asas Islam, tanpa menanggalkan komitmen dakwah, tapi melebarkan sayapnya sampai titik tengah yang paling moderat, seimbang dan menaungi semua kepentingan.

Ada yang membandingkan keberadaan Partai Islam sekarang dengan kejayaan Masyumi masa silam. Dulu, Masyumi dengan jargon “Kembali ke Syariah Islam “ berhasil menghimpun suara lebih dari 20%. Tapi kini, dengan kondisi masyarakat yang sudah jauh berubah, jualan seperti itu hanya “malapetaka “ bagi eksistensi partai Islam. Hampir sama seperti jualan kuda untuk alat transportasi, disaat sudah ada motor & mobil.

Buktinya, Partai Bulan Bintang yang jualan jargon itu, terseok-seok bahkan harus “angkat koper“ dari Percaturan Politik nasional, karena tidak lolos electoral threshold (ambang batas) perolehan suara 3%.

Meski demikian, sampai sekarang essensi dan eksistensi kuda tersebut tetap sesuai manfaat dan fungsinya. Tidak punah ditengah modernisasi kehidupan. Layaknya sebuah partai meskipun tidak lagi menonjolkan simbol-simbol Islam dalam spanduk spanduknya, tapi yang pentingnya substansinya cing…. tetap menjadikan asas Islam sesuai koridor dan fungsinya.

No comments: